Liputan6.com, Washington DC - Amerika Serikat, pada 14 Oktober 2019, memberlakukan sanksi terhadap Turki, yang dipicu atas penyerbuan militer Ankara ke Suriah bagian utara dan timur laut.
Sanksi tersebut berlaku untuk individu, entitas atau rekanan pemerintah Turki yang terlibat dalam "tindakan yang membahayakan warga sipil atau mengarah pada kemunduran lebih lanjut perdamaian, keamanan dan stabilitas di Suriah timur laut," kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Al Jazeera, Selasa (15/10/2019).
Baca Juga
Advertisement
Dalam pengumuman sanksi, Presiden AS Donald Trump mengatakan dia menghentikan negosiasi pada kesepakatan perdagangan 100 miliar dolar dengan Turki dan menaikkan tarif baja hingga 50 persen. Presiden juga menjatuhkan sanksi pada tiga pejabat senior Turki dan kementerian pertahanan dan energi Turki.
Dalam sebuah pernyataan yang mengumumkan langkah itu, Trump mengatakan dia "sepenuhnya siap untuk dengan cepat menghancurkan perekonomian Turki jika para pemimpin Turki terus menempuh jalan berbahaya dan merusak ini".
Trump mengatakan ofensif militer Turki "membahayakan warga sipil dan mengancam perdamaian, keamanan dan stabilitas di kawasan itu".
Menurut Departemen Keuangan AS, Menteri Pertahanan Turki Hulusi Akar, Menteri Dalam Negeri Suleyman Soylu, dan Menteri Energi Fatih Donmez ditempatkan dalam daftar hitam sanksi departemen, membekukan aset mereka di Amerika Serikat dan melarang transaksi terkait dengan mereka.
"Saya sangat jelas dengan (Presiden Turki Recep Tayyip) Erdogan: Tindakan Turki memicu krisis kemanusiaan dan menetapkan kondisi untuk kemungkinan kejahatan perang," tambah Trump dalam pernyataannya.
"Turki harus memastikan keselamatan warga sipil, termasuk minoritas agama dan etnis, dan sekarang, atau mungkin di masa depan, bertanggung jawab atas penahanan berkelanjutan teroris ISIS di wilayah tersebut."
Simak video pilihan berikut:
AS Mendesak Gencatan Senjata Turki - Kurdi Suriah
Pada saat yang sama, pemerintahan Presiden Trump juga menyerukan gencatan senjata antara Turki dan Kurdi Suriah yang berkonflik di wilayah itu, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Selasa (15/10/2019).
Trump juga mengatakan akan mengirim Wakil Presiden Mike Pence dan Penasihat Kepresidenan Bidang Keamanan Nasional Robert O'Brien ke Ankara sesegera mungkin untuk memulai negosiasi.
Sementara itu, Mike Pence mengatakan bahwa Presiden Trump telah berbicara langsung dengan presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang berjanji tidak akan menyerang kota perbatasan Kobane.
"Presiden Trump menyampaikan kepadanya dengan sangat jelas bahwa Amerika Serikat ingin Turki menghentikan invasi, menerapkan gencatan senjata segera dan mulai bernegosiasi dengan pasukan Kurdi di Suriah untuk mengakhiri kekerasan," kata Wapres Pence.
Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan sanksi akan melukai ekonomi Turki yang sudah lemah dan Wapres Pence memperingatkan AS akan terus meningkatkan sanksi kecuali Turki "bersedia merangkul gencatan senjata, datang ke meja perundingan dan mengakhiri kekerasan."
Advertisement
Sekilas Perang Turki - Kurdi
Turki melancarkan serangan lintas-perbatasan terhadap Kurdi Suriah pada Rabu 9 Oktober 2019, menyusul langkah AS yang menarik pasukannya dari wilayah itu.
Pasukan AS telah bersekutu dengan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), sebuah milisi pimpinan mayoritas kelompok Kurdi; dan Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG); dalam upaya bersama untuk menumpas ISIS dari wilayah itu, sejak kelompok teroris tersebut merajalela pada 2013 silam hingga kekalahan teritorial mereka tahun ini.
Pada periode tersebut, SDF telah memperluas kontrolnya di Suriah utara dan timur laut, memicu semakin terbelahnya negara beribukota Damaskus akibat perang saudara yang turut melibatkan Tentara Nasional Suriah pimpinan Presiden Bashar al-Assad yang didukung Rusia dan Iran.
Keputusan Trump segera menuai kritik domestik dan internasional, menyebut langkah itu membahayakan stabilitas regional; meninggalkan sekutu AS, SDF, di tengah konflik terbuka dengan Turki (yang juga merupakan sekutu AS di NATO); dan mempertaruhkan kebangkitan ISIS.
Turki dan kelompok Kurdi telah lama berkonflik sejak 1978, dan mencapai episodik tensi terbaru pada 2015, yang dipicu oleh Perang Saudara Suriah; situasi konflik yang multidimensional (kehadiran ISIS, proksi, identitas, dll); hingga ekses dari kegagalan negosiasi damai antara kedua belah pihak sejak pada 2012.