Liputan6.com, Jakarta Temuan dari Amar Law Firm and Public Interest Law Office (AMAR) menunjukkan beberapa institusi akademik telah melakukan pelarangan bagi mahasiswanya untuk mengemukakan pendapat di muka umum.
Selama aksi mahasiswa di bawah bendera #ReformasiDiKorupsi yang digelar di beberapa kota di Indonesia, Amar mendapatkan 72 pengaduan terkait kebebasan berpendapat dan/atau pelanggaran hak atas pendidikan yang tersebar di 15 provinsi.
Advertisement
"Sebanyak 38 pengaduan terkait dengan pelanggaran 37 perguruan tinggi/kampus. Sementara 34 laporan terkait dengan pelanggaran dari 32 sekolah," kata Advokat Amar, Maraden Saddad, saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (17/10/2019).
Menurut Maraden, secara garis besar ada tiga jenis bentuk tindakan yang melanggar kebebasan berpendapat dan hak atas pendidikan yang dilakukan oleh institusi pendidikan. Misalnya saja imbauan yang bersifat pembatasan, yaitu adanya Surat Edaran yang tidak mendukung aksi mahasiswa, pernyataan bahwa nama kampus tidak ingin dilibatkan dalam aksi apapun.
"Surat pemanggilan terhadap peserta didik oleh institusi pendidikan, adanya imbauan dan kunjungan dari kepolisian untuk tidak mengizinkan pelajar mengikuti demonstrasi," ungkap Maraden.
Restriksi aksi mahasiswa, kata Maraden juga ditunjukkan melalui intimidasi, yaitu ancaman drop out, melepas tanggung jawab terhadap peserta didik sepenuhnya maupun ditakut-takuti mengenai bahaya demonstrasi. Juga diancam mendapat nilai jelek pada satu atau seluruh mata pelajaran, dan diancam akan dilaporkan kepada pihak berwajib.
Bukan hanya sampai di situ, menurut Maraden, aparat kepolisian juga berperan aktif dalam membatasi kebebasan berpendapat.
Bahkan mereka mengaku ada yang dijemur, ditangkap dengan sewenang-wemang, dipukul, ditendang, ditoyor, diintimidasi secara seksual dengan ditakut-takuti akan ditahan dan disodomi oleh penghuni tahanan.
"Selain fakta di atas, kami menemukan banyak pengadu yang takut pengaduannya ditindaklanjuti karena khawatir akan menimbulkan masalah lain yang lebih berat, seperti dikeluarkan dari kampus," tutur Maraden.
Amar juga merinci 37 perguruan tinggi yang diadukan kepada mereka, yaitu Universitas Pelita Harapan, STMIK Triguna Medan, Binus Alam Sutera, Binus Bekasi, Binus Kebon Jeruk, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Bakrie, Universitas Gunadarma Depok, Universitas Gunadarma Jakarta Pusat, dan Universitas Gunadarma Bekasi.
Selanjutnya ada President University, Stikes Medistra, UIN Suska Riau, Universitas Tarumanegara, IISIP Jakarta, LSPR, Institus Kalbis, Institut Teknologi Indonesia, Universitas Wahid Hasyim, Universitas Telkom, Universitas Pamulang, UPI, Universitas Widya Mandira, Institut Teknologi Kalimantan, UMN, dan Universitas Dian Nuswantoro.
Kemudian, ada Universitas Surabaya, UPN Jatim, Polban Bandung, Universitas Nusa Cendana, ITHB, ITS, UK Petra, Unika Soegijapranata, Universitas Kristen Krida Wacana, serta STAN.
Hal ini diamini juga oleh Ketua BEM Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Muhamad Abdul Basit. Menurut Ketua BEM yang akrab disapa Abbas itu, pihak universitasnya pernah mengeluarkan surat edaran bernomor B/924/UN39.3/SE/2019. Surat edaran tersebut salah satunya berisikan tidak mendukungnya universitas pada akisi mahasiswa pada 23-24 September lalu.
"Penegasan dari kampus gini, kampus tidak menyarankan ataupun tidak memerintahkan mahasiswa untuk ikut," kata Abbas saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (15/10/2019).
Pasca aksi, Abbas juga pernah dipanggil oleh pihak kampus supaya dirinya memfokuskan diri dalam hal akademik. Dibandingkan mengurusi aksi mahasiswa.
"Kalau intimidasi mungkin sempet-sempet kemarin ya pihak aparat datang ke birokrasi kampus," kata Abbas.
Kata Abbas, aparat datang ke kampusnya usai demostrasi pada 23-24 September. Ia menyebutkan, aparat beralasan bahwa dikhawatirkan aksi mahasiswa itu ditunggangi oleh pihak tertentu untuk menggagalkan pelantikan presiden.
Sementara Dody selaku Humas Universitas Bakrie yang menjadi salah satu kampus yang disebut melakukan pelarangan demonstrasi mengatakan pihaknya tidak dalam posisi melarang maupun mengizinkan.
"Terkait dengan demonstrasi yang telah terjadi sebelumnya, berdasarkan yang tercantum dalam AD/ART Senat Mahasiswa Universitas Bakrie No. 10 A, bahwa penggunaan jas almamater tidak diizinkan penggunaanya untuk berdemonstrasi," papar Dody saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (15/10/2019).
Bahkan pihaknya juga menegaskan bahwa Universitas Bakrie tidak melakukan intimidasi maupun ancamam terhadap mahasiswanya yang ikut berdemonstrasi. "Kalau dari kampus tidak ada (intimidasi) mas," terang Dody.
Kegagalan Memahami Demokrasi
Kabiro Pemantauan dan Penelitian KontraS, Rivanlee Anandar menilai 37 perguruan tinggi yang melakukan pelarangan atau intimidasi kepada mahasiswa dalam aksi #ReformasiDiKorupsi sebagai bentuk ketidakpahaman mereka terhadap konsep demokrasi.
Institusi yang semestinya menjaga ruh demokrasi justru berbalik menikamnya dengan melakukan pelarangan terhadap kebebasan berpendapat.
"Ini kemunduran buat demokrasi. Ini jelas banget ketika dari universitas itu mahasiswa hendak mengekspresikan pendapatnya justru dilarang. Padahal itu hak yang dijamin oleh konstitusi," jelas Rivanlee saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (15/10/2019).
"Ini cara yang gagal memahami Indonesia sebagai negara demokrasi. Ini jelas kemunduran buat kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat di muka umum," imbuh Rivanlee.
Rivanlee menyebutkan, kendati pelarang itu dikonstruksi di atas dalih keamanan, hal itu tetap saja tidak bisa dibenarkan.
"Itu logika fallacy dari mereka yang berkuasa. Mereka takut bahwa aksi itu sebagai langkah mundur bagi negara," katanya.
Menurut Rivanlee, aksi lalu sama sekali bukan sebuah kemunduran. Justru itu adalah upaya mahasiswa untuk mengingatkan bahwa ada yang tidak baik dari negara dan itu harus diperbaiki.
"Upaya pembatasan itu menurut saya mereka gagal memahami makna dari demonstrasi itu sendiri. Dan gagal memahami konstitusi negaranya sendiri," tutup Rivanlee.
Advertisement