UU KPK Hasil Revisi Resmi Jadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019

Namun, salinan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK itu masih belum dapat disebarluaskan. Berikut penjelasannya....

oleh Rita Ayuningtyas diperbarui 18 Okt 2019, 08:55 WIB
Gedung KPK (Liputan6/Fachrur Rozie)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia resmi mencatat revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) ke Lembaran Negara sebagai UU Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK.

"Revisi UU KPK sudah tercatat dalam Lembaran Negara sebagai UU No 19 Tahun 2019 mengenai Perubahan UU KPK, sudah diundangkan di Lembaran Negara Nomor 197 dengan nomor Tambahan Lembar Negara (TLN): 6409 tertanggal 17 Oktober 2019," kata Direktur Jenderal Perundang-undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana seperti dilansir Antara, Jakarta, Jumat (18/10/2019).

Seharusnya, UU KPK versi revisi otomatis berlaku pada 17 Oktober 2019. Sebab, rapat paripurna DPR yang mengesahkan revisi tersebut berlangsung pada 30 hari lalu atau 17 September 2019.

Ini sesuai dengan Pasal 73 ayat (2) UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jika RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Namun, salinan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK itu masih belum dapat disebarluaskan karena masih diteliti oleh Sekretariat Negara.

"Salinan UU masih diautentifikasi oleh Sekretariat Negara. Setelah itu baru kita publikasikan di website," tambah Widodo.

 


26 Poin Jadi Sorotan

Gedung KPK (Liputan6/Fachrur Rozie)

Sebelumnya, KPK mengidentifikasi 26 hal yang berisiko melemahkan lembaga antirasuah dalam revisi UU KPK tersebut.

Poin pelemahan itu misalnya, KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif yang akan mengurangi independensi KPK. Pegawai KPK juga merupakan Aparatur Sipil Negara, sehingga ada risiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran dan mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya.

Selanjutnya, ada penghapusan tentang pasal yang mengatur pimpinan adalah penanggung jawab. Pimpinan KPK pun bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan projusticia dalam pelaksanaan tugas penindakan.

Dewan Pengawas dinilai lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK, namun syarat menjadi pimpinan KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas.

Potensi pelemahan lain adalah kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Padahal standar larangan Etik, dan antikonflik Kepentingan untuk Dewan Pengawas lebih rendah dibanding Pimpinan dan Pegawai KPK.

OTT menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK; kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi, yaitu pasal yang mengatur kewenangan KPK untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang terhadap instansi yang melakukan pelayanan publik tidak ada lagi dan potensi pelemahan lainnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya