Temanggung - Nasib malang menimpa kapten timnas sepakbola disabilitas Indonesia, Marita Ariyani (26). Warga Jalan Mujahidin RT I RW IV, Kelurahan Giyanti, Temanggung, itu harus bertahan hidup dengan menjadi buruh cuci piring.
Marita Ariyani (26) telah yatim piatu. Dirinya ditinggal kedua orangtua sejak masih TK. Untuk bertahan hidup, pemain bola yang telah mengharumkan nama bangsa di berbagai kompetisi ini, terpaksa menjalani pekerjaan seadanya.
Advertisement
"Keinginan tentu punya usaha, saya ingin ketemu bupati, tapi belum tercapai," kata Marita, seperti dikutip KRJogja, Kamis (18/10/2019).
Tercatat, Marita menjadi kapten timnas sepak bola untuk penyandang disabilitas dengan format lima pemain (Five a Side Game atau Univit) pada sejumlah pertandingan internasional.
Dua di antaranya Asia pasific Spesial Olympic International Footballa Championship (SOIFC) 2019 di Chimney India mendapat medali perak. Pada saat itu timnas Indonesia kalah dengan Ukraina 2-1.
Sedang pertandingan pada Spesial Olympics World Summer Games (SOWSG) 2019 di Abu dhabi Uni Emirat Arab meraih emas, setelah menang 3-1 atas Ukraina pada 2019.
"Kami juga bertanding di Riau dan Malaysia untuk pertandingan Spesial Olympics Internasional Football Championship (SOIFC)," katanya.
Dia mengatakan bakat sepak bola terasah saat berada di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita (BBRSBG) yang sekarang berganti Balai Besar Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Intelektual (BBRSPDI) 'Kartini' selama enam tahun, yakni 2010 - 2016.
Awalnya, terang dia semua ikut untuk atletik karena suka berlari, namun lantas bermain untuk sepak bola, setelah ada guru di BBRSPDI mengetahui dirinya punya bakat menggiring bola. Pelatih timnas mendaulat jadi kapten karena bisa memimpin teman-temannya.
Dia mengemukakan untuk mempertahankan fisik tiap sore berlatih dengan berlari dan menggiring bola di lapangan sepakbola setempat. Namun untuk berlatih sepakbola secara lengkap, tidak bisa dilakukan sebab di lingkungannya tidak ada anak putri yang bermain sepakbola.
Keinginan, ujar dia, punya usaha sendiri dengan mengembangkan ketrampilan yang didapat semasa belajar di BBRSPDI yakni batik ciprat. Sayang, belum punya uang untuk permodalan. "Keingian jika ketemu bupati untuk difasilitas atau mendapat modal dari pemda untuk usaha batik ciprat," katanya.
Sehingga, katanya, bisa menjadi penghidupan tetap dirinya. Beda dengan kehidupan saat ini yang bekerja di sebuah warung tetangga dengan mencuci piring, gelas dan membantu memasak. Kini dirinya hidup bersama nenek Sutinah (81) dan pak dhe, Bandriyanto - Sriyanti di sebuah rumah papan.
Bandriyato mengatakan keponakannya ingin sekali punya usaha sendiri untuk menopang kehidupan, sehingga hasilnya tidak seperti saat ini.
"Prestasi dibidang olahraga memang diharapkan bisa mendongkrak perekonomian dan kehidupannya," katanya.
Baca juga berita KRJogja.com lainnya di sini.