WNI di Australia Kecewa pada Jokowi Soal UU KPK hingga Isu HAM RI, tapi...

Banyak di antara mereka mengaku sebagai "pemilih yang rasional", sehingga merasa perlu memberikan kritikan yang membangun kepada pemerintahan baru.

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Okt 2019, 13:00 WIB
Pasangan Presiden dan Wapres terpilih, Joko Widodo atau Jokowi dan Ma'ruf Amin memberikan sambutan pada Rapat Pleno Terbuka Penetapan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Pemilu 2019 di Gedung KPU, Jakarta, Minggu (30/6/2019). (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Canberra - Sejumlah warga Indonesia di Australia yang mendukung Presiden Joko Widodo merasa kecewa dengan presiden ke-7 RI tersebut.

Tapi, mereka tidak menyesal telah kembali memilih Jokowi untuk menjabat pada periode keduanya, beralasan bahwa banyak hal positif pula yang telah dilakukan sang presiden pada periode pertamanya.

Banyak di antara mereka mengaku sebagai "pemilih yang rasional", sehingga merasa perlu memberikan kritikan yang membangun kepada pemerintahan baru.

Salah satunya adalah Suprapti McLeod, warga Indonesia di Canberra yang pernah aktif terlibat kampanye dukungan terhadap pasangan Joko Widodo - Ma'ruf Amin.

"Saya kecewa," kata Suprapti kepada ABC Indonesia, dikutip pada Jumat (18/10/2019).

"Kekecewaan saya lebih disebabkan karena rencana perubahan sejumlah undang-undang soal KPK," lanjutnya.

Suara Jokowi - Ma'aruf Amin menang telak di hampir seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Australia, saat pemilihan presiden RI berlangsung 17 April lalu

Antusiasme warga Indonesia di Australia untuk bisa mencoblos saat itu sangat tinggi dan belum pernah terjadi sebelumnya, bahkan banyak yang merasa kecewa karena tidak bisa memilih, seperti yang terjadi di Sydney.

Bulan lalu, serangkaian unjuk rasa untuk menyampaikan kekecewaan atas "reformasi dikorupsi" dan tuntutan untuk pembatalan sejumlah RUU digelar di sejumlah daerah di Indonesia.

Aksi yang kebanyakan diikuti oleh mahasiswa dan pelajar tersebut berakhir ricuh dan menyebabkan puluhan pengunjuk rasa terluka.

Presiden Jokowi telah meminta DPR untuk menunda pengesahan Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP), karena belum "mendapat penjelasan yang komplit."


WNI di Australia: Jokowi Pragmatis, Kurang Ngotot

Demo mahasiswa di depan Istana meminta Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu KPK.(Liputan6.com/Ady Anugrahadi)

Amrih Widodo, warga Indonesia lainnya di Canberra mengatakan sosok Presiden Joko Widodo sebagai "pragmatis" dan masih "kurang memiliki visi dan kurang 'ngotot'.

Ia membandingkannya di tahun 2014, saat Presiden Jokowi membentuk kabinet pertamanya, yang pertama kali dihubunginya untuk konsultasi adalah KPK.

"Sekarang ia malah kemungkinan akan menyetujui undang-undang yang berpotensi melemahkan KPK," kata Amrih yang juga peneliti di School of Culture, History and Language di Australian National University.

"Dan menjadi sesuatu yang bersejarah dan aneh dengan masuknya Gerindra ke pemerintahan."

Suprapti dan Amrih masih optimis jika pemerintahan baru di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo akan membawa perubahan.

Bagi Amrih, harapan terbesar adalah rakyat sendiri, setelah melihat banyaknya anak-anak muda yang menjalankan bisnis tapi tetap berkontribusi pada kegiatan sosial.


WNI di Australia: Jokowi Perlu Perhatikan Isu HAM

Presiden Joko Widodo didampingi Kepala Staf Kepresiden Moeldoko dan Mensesneg Pratikno menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019). Jokowi menyatakan mendukung sejumlah poin dalam draf revisi UU KPK. (Liputan6.com/HO/Kurniawan)

Sementara itu, Suprapti McLeod juga mengatakan bahwa Jokowi harus tetap mendengarkan suara rakyat dan sebaiknya "tidak mengurus urusan pribadi" warganya dengan pengesahan RUU KUHP, yang mengandung peraturan soal perzinahan dan kumpul kebo.

Sepanjang tahun lalu, Indonesia telah dianggap kurang melindungi hak-hak warganya, terutama masalah intoleransi dan kebebasan mengeluarkan pendapat, seperti yang dilaporkan lembaga Human Rights Watch.

Karenanya menurut Yuniar Aristia, mahasiswi S3 Kriminologi di RMIT University, Melbourne, masalah hak asasi manusia perlu lebih diperhatikan oleh pemerintahan baru.

"Masalahnya sekarang banyak sekali penindakan atas kasus kriminal yang tidak disertai upaya preventif dari akar untuk mencegah kejahatan atau [tindakan] kriminal itu terjadi," ujarnya.

Sejumlah nama telah dijatuhi pasal pencemaran baik saat mencoba mengkritik pemerintah atau pejabat, terutama menjelang Pemilihan Umum 2019, diawali dari perdebatan di jejaring sosial yang juga berujung pada perpecahan di kalangan pertemanan dan keluarga.


WNI di Australia: Jokowi Harus Membangkitkan Semangat Persatuan

Presiden Joko Widodo atau Jokowi foto bersama perwakilan anak-anak sekolah dasar dari Papua di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019). Perwakilan anak-anak sekolah dasar dari Papua tersebut akan diajak jalan-jalan keliling Jakarta didampingi oleh staf Istana. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Hendro Fujiono, warga Indonesia di Australia Barat, membangkitkan semangat persatuan harus menjadi prioritas pemerintahan baru.

Hendro yang bekerja sebagai konsultan manajemen di kota Perth juga mengaku seringkali mengalami kesulitan untuk meyakinkan calon investor Australia untuk berinvestasi di Indonesia.

"Meningkatkan iklim berinvestasi yang baik dimulai dengan memiliki narasi yang jelas dan terfokus mengenai apa yang Indonesia tawarkan," ujarnya saat ditanya harapan pada Presiden Joko Widodo.

Presiden Joko Widodo telah diakui banyak warga dengan keberhasilannya dalam pembangunan, khususnya infrastruktur, tetapi sebagian masih merasa kualitas pembangunan terhambat oleh lemahnya sumber daya manusia.

"Yang harus ditingkatkan adalah kecerdasan sosial, masyarakat harus lebih banyak di-edukasi soal keuangan, cara mencari uang," kata Immanuel Bryan Kafa, mahasiswa Indonesia di Kaplan Business School, Sydney.

Presiden Joko Widodo akan dilantik pada hari Minggu (20/10/2019) yang juga dilaporkan akan dihadiri sejumlah pemimpin dunia, termasuk Perdana Menteri Australia Scott Morrison.

Kehadiran Perdana Menteri Australia di pelantikan Presiden RI telah menjadi sebuah tradisi sejak pemerintahan PM John Howard yang datang ke pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2004.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya