Ini PR Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin di Sektor Pertanian

Berbagai torehan diukirnya, baik positif maupun negatif, bersama seluruh awak pemerintah di setiap kementerian/lembaga, termasuk Kementerian Pertanian.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 20 Okt 2019, 10:00 WIB
Ilustrasi luas lahan yang siap digarap para petani.

Liputan6.com, Jakarta - Tak terasa 5 tahun sudah berlalu, Pemerintah RI kini memasuki babak baru bersama pasangan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Banyak cerita tersisa ketika Presiden Joko Widodo atau Jokowi memimpin negara dalam kurun waktu 2014-2019 bersama Jusuf Kalla (JK).

Berbagai torehan diukirnya, baik positif maupun negatif, bersama seluruh awak pemerintah di setiap kementerian/lembaga, termasuk Kementerian Pertanian (Kementan).

 

Banyak pencapaian yang ditinggalkan Kementan selaku institusi pusat yang mengatur hajat hidup orang banyak lewat ketersediaan pangan selama 5 tahun ini.

Di sisi lain, tetap masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang perlu dibenahi sampai 2024 nanti.

Lantas, apa saja capaian Kementan pada 5 tahun terakhir? Dan apa yang menjadi tugas untuk ke depannya?

 


10 Capaian Strategis

Petani memisahkan bulir padi dari tangkainya saat panen di sawah yang terletak di belakang PLTU Labuan, Pandeglang, Banten, Minggu (4/8/2019). Kurangnya pasokan beras dari petani akibat musim kemarau menyebabkan harga gabah naik. (merdeka.com/Arie Basuki)

Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri menyampaikan kepada Liputan6.com, bahwa pihaknya memiliki 10 capaian strategis sepanjang periode 2014-2019. Mulai dari efisiensi alokasi anggaran, peningkatan Gross Domestic Product (GDP), kontribusi turunkan kemiskinan, investasi, hingga penyediaan dan ekspor berbagai komoditas pangan.

Pertama, dalam pagu APBN, anggaran sejak 2015-2019 terus menurun hingga mencapai 34 persen. Anggaran Kementan pada 2015 sebesar Rp 32,7 triliun, turun menjadi Rp 27,7 triliun pada 2016, jadi Rp 24,2 triliun di 2017, Rp 24,03 triliun pada 2018, dan Rp 21,8 triliun di 2019. Kementan mengklaim, anggaran boleh turun, tapi produksi pertanian tetap naik dengan terobosan kebijakan (291 Permentan dan Perpres dicabut/disempurnakan).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), GDP atau Produk Domestik Bruto Pertanian (PDB) naik Rp 422,3 triliun. Bahkan pada 2017-2018 dapat tumbuh 3,7 persen, melebihi target sebesar 3,5 persen.

Masih berdasarkan laporan BPS, inflasi bahan makanan pada 2017 sebesar 1,26 persen, atau yang terendah dalam sejarah. Data inflasi ini kemudian dipertegas lewat laporan Food and Agriculture Organization (FAO), yang menyatakan Indonesia berada di peringkat nomor 3 inflasi tertinggi dunia pada 2013 yakni 11,71 persen. Pada 2017, negara berhasil memperbaiki diri menjadi bertengger di nomor 15.

Selanjutnya disampaikan, mengacu pada data BPS, ketersediaan dan harga pangan yang stabil berkontribusi signifikan terhadap penurunan kemiskinan. Kontribusi bahan makanan terhadap penurunan kemiskinan mencapai angka 73 persen.

Berikutnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, investasi pertanian meningkat tajam dengan menerapkan Online Single Submission (OSS). Investasi melonjak 110 persen dari Rp 29,3 triliun pada 2013 menjadi Rp 61,6 triliun pada 2018. Kementan bahkan mengklaim, capai tersebut seharusnya bisa meningkat lebih tinggi bila diukung sektor lain.

Dalam hal ekspor pertanian, Kementan juga berhasil meningkatkannya hingga 100 persen. BPS mencatat, ekspor pertanian pada kurun waktu 2009-2014 adalah 0,97 juta ton per tahun. Sedangkan pada 2014-2018, rata-rata peningkatan ekspor pertanian menjadi 1,8 juta ton per tahun. Adapun beberapa komoditas yang hasil ekspornya meningkat tajam antara lain bawang merah (41,2 persen), mangga (121,8 persen), manggis (285,3 persen), nanas (18,8 persen), kelapa (15,74 persen), sawit (23,44 persen), dan kakao (11,4 persen).

Komoditas lain yang juga dianggap masuk ke dalam capaian strategis yakni jagung. Sebab, jagung berhasil diekspor sebanyak 341 ribu ton pada 2018. Di lain sisi, negara juga sukses menyetop impor jagung sebanyak 3,5 juta ton atau setara Rp 10 triliun.

Hal lain yang turut disoroti adalah peningkatan populasi sapi. Pada 2014-2018, populasi sapi tumbuh 4,4 persen per tahun atau 1 juta ekor per tahun. Sementara peningkatan populasi sapi melalui program Sapi Induk Wajib Bunting (SIWAB) sebesar 3,8 juta ekor di 2019, atau setara Rp 76 triliun. Kebijakan terobosan ini dilakukan lantaran anggaran peternakan dipangkas 35 persen. Meskipun demikian, Kementan menyatakan, kebijakan tersebut tetap dapat meningkatkan pendapatan petani Rp 76 triliun.

Peningkatan selanjutnya yakni luas tanam bawang putih. Mengacu pada laporan BPS, kebijakan wajib tanam 5 persen bagi importir mampu meningkatkan luas tanam 243 persen atau setara Rp 646 miliar. Terobosan kebijakan ini juga dilakukan lantaran alokasi anggaran turun 35 persen.

Pencapaian strategis terakhir, Kementan mengabarkan, institusi berhasil memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama 3 tahun berturut-turut (2016, 2017, 2018), atau yang pertama dalam sejarah. Pencapaian lainnya, Kementan juga selama 2 tahun berturut-turut (2017 dan 2018) sukses mendapatkan penghargaan Anti Gratifikasi Terbaik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

 


Kemandirian Pangan

Petani Kalimanah Kulon, Kalimanah, Purbalingga berada di tengah sawah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sementara itu, Kuntoro juga menyatakan bahwa Indonesia sudah mampu mencapai kemandirian pangan dengan swasembada beras. Menurutnya, ini dapat dilihat dari kondisi iklim tak menentu pada kurun waktu 2015 dan 2016, dimana negara tak perlu terlalu banyak mengimpor beras.

"Bencana terparah el nino pada 2015 dan la nina pada 2016 yang melanda Indonesia sekalipun tidak mempengaruhi swasembada kita. Sebagai pembanding apel to apel, pada kondisi iklim ekstrim yang sama, penduduk Indonesia pada 1998 sebanyak 201 juta jiwa, dan pada 2015 telah berjumlah 255 juta jiwa," tutur dia.

"Kondisi iklim 2015 dan 2016 lebih parah dari kondisi 1997 dan 1998. Dengan kalkulasi impor beras di 1998 sebesar 12,1 juta ton, maka ekuivalen atau harusnya pemerintah impor beras pada tahun 2016 sebesar 16,8 juta ton. Tetapi berkat Upaya Khusus (UPSUS) Padi Jagung dan Kedelai, Indonesia ternyata tidak perlu mendatangkan beras seperti di tahun 1998," jelasnya.

Lebih lanjut, ia juga turut mengutip prediksi bahwa Indonesia sampai 2045 memerlukan tambahan lahan kurang lebih 14 juta hektare (ha). Luas penambahan lahan tersebut keluar dengan mempertimbangkan pertambahan penduduk 1,3 persen, alih fungsi lahan rata-rata sekitar 60-90 ribu ha pertahun, serta asumsi produktivitas sekitar 5,3 ton per hektar.

"Program ekstensifikasi Kementan melalui program Perluasan Areal Tanam Baru (PATB) terus dilakukan. Selain itu kita memiliki potensi lahan tidur yang luar biasa. Menurut Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Kementan, potensi lahan kering di Indonesia 10 juta ha. Sementara potensi lahan rawa dan lebak sekitar 10 juta ha. Total keseluruhan ada 20 juta ha," paparnya.

 


PR di Sektor Pertanian

Petani memupuk tanaman padi di Karawang, Jawa Barat, Senin (4/7). Untuk mencapai target swasembada pangan 2016, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 20 triliun. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Berbagai raihan yang dicapai Kementan tersebut bukan berarti 100 persen tanpa catatan. Sebab, masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus dibenahi Kementan. Itu disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), Hermanto Siregar kepada Liputan6.com.

Dia berkomentar, segala pencapaian termasuk peningkatan PDB dan ekspor sebagaimana dinyatakan oleh Kementan memang dapat dipandang sebagai tolak ukur kinerja sukses. Tapi kemudian, ia menyoroti beberapa hal yang masih perlu diperbaiki lagi oleh institusi tersebut.

"Namun yang lebih penting ditekankan ke depan adalah upaya peningkatan kesejahteraan petani. Nilai Tukar Petani (NTP) untuk semua subsektor harus dapat ditingkatkan dengan nyata. Berikutnya adalah luas lahan pertanian yang juga perlu ditingkatkan secara signifikan, terutama di luar pulau Jawa," ungkapnya.

"Selanjutnya adalah sumberdaya manusia petani yang harus ditingkatkan skill dan kompetensinya. Tidak hanya dalam aspek budidaya tanaman, namun juga dalam aspek pengolahan hasil-hasil pertanian," dia menekankan.

Terkait Nilai Tukar Petani atau NTP, Kementan melaporkan hal tersebut konsisten mengalami peningkatan dibawah 1 persen setiap tahun selama beberapa waktu terakhir. Akan tetapi, Hermanto menekankan, kenaikan itu cenderung masih belum signifikan atau nyata.

"NTP tahun 2015 sama dengan 100,02. Empat tahun kemudian yaitu tahun 2019 adalah 102,61. Artinya selama 4 tahun cuma naik sktr 2,5 persen, atau per tahunnya hanya naik sekitar 0,6 persen. Bandingkan dengan laju inflasi yang 3 persen per tahun. Kenaikan NTP tersebut tidak signifikan," tegas dia.

 


Harapan 5 Tahun ke Depan

Ilustrasi – Petani di Cingebul, Lumbir, Banyumas sedang panen padi. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Pemerintah RI kini telah berganti rezim, begitu pula dengan Kementan. Dengan adanya wajah baru tersebut, Hermanto menaruh harapan agar Kementan lebih mau membuka diri dengan perkembangan zaman sehingga menarik perhatian generasi milenial. Tak hanya itu, ia juga mengimbau agar institusi lebih banyak bekerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi untuk melakukan riset dan kajian di sektor pertanian.

"Diperlukan berbagai terobosan agar generasi muda melek teknologi, termasuk aspek-aspek Industri 4.0, mau terjun ke dalam sektor pertanian dalam jumlah yang relatif banyak. Kementan di tingkat pusat dan dinas-dinas pertanian di tataran daerah harus lebih intens bekerjasama dengan perguruan-perguruan tinggi. Itu supaya mendorong generasi muda mau terjun ke pertanian, riset, penyuluhan, dan lain-lain," imbuhnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya