Liputan6.com, Burma - Para pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh menemui keterbatasan pada edukasi, yang hanya diberikan sampai tingkat sekolah dasar saja, atau pelatihan keterampilan hidup sebagai alternatif untuk mengisi kesenjangan.
Pengungsi remaja, misalnya, diajar keterampilan yang akan membantu mereka memiliki pendapatan dan mengatasi kesulitan hidup sehari-hari. Separuh dari pengungsi remaja dan anak-anak adalah perempuan.
Ruksana Begum dan teman-teman sekelasnya mengulangi apa yang disampaikan guru mereka: "Saling menghormati." Para siswi ini adalah pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh dari Myanmar.
Baca Juga
Advertisement
Ruksana yang berusia sembilan tahun berharap suatu hari nanti dapat menjadi guru seperti sosok yang mengajar mereka di sekolah pengungsi di Cox’s Bazar.
Padahal, jika saja ia tahu, Shamsuddin --yang mengajarnya di sekolah pengungsi-- sebenarnya tidak memiliki kualifikasi sebagai guru.
Laki-laki berusia 21 tahun itu hanya mengenyam bangu pendidikan SMA dan belum sempat melanjutkan ke perguruan tinggi ketika pecah kerusuhan yang memaksanya melarikan diri ke Bangladesh.
Jean Metenier di UNICEF tahu persis isu kompetensi untuk menjadi guru. Ini merupakan salah satu persoalan yang dihadapi ketika bicara soal pendidikan bagi pengungsi anak-anak.
Itulah sebabnya dikembangkan berbagai pelatihan keterampilan sebagai alternatif. Pengungsi remaja menyambut gembira pelatihan khusus seperti menjahit dan komputer.
Satrifa, gadis berusia 15 tahun, menyambut baik pusat pelatihan itu.
"Di Myanmar, kami tidak dapat melakukan apapun. Tidak ada seorangpun yang mengajari kami. Tapi di sini, ada orang-orang yang mengajari kami banyak hal. Ada yang menyumbangkan mesin jahit sehingga kami dapat membuat pakaian. Kami juga belajar banyak hal lain dan dapat mulai mencari pekerja," ujar Satrifa, dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (19/10/2019).
Agar Bisa Menghidupi Hidup
Sebagian besar keterampilan yang diajarkan dapat membantu remaja-remaja putri dalam kehidupan sehari-hari, mencari pekerjaan dan memperoleh pendapatan.
Nur Kayes, gadis pengungsi Rohingya yang juga berusia 15 tahun, belajar memanfaatkan batere isi ulang dan lampu bertenaga surya mengatakan.
"Ada baiknya jika ada listrik sehingga kita tidak perlu makan dalam gelap. Ini sangat nyaman untuk kita karena jadi tidak perlu melakukan perjalanan jauh untuk membeli gas bagi lentera kita. Juga ketika pergi ke toilet di malam hari. Hal itu jadi tidak berbahaya bagi kami, anak-anak perempuan," kata Nur.
Selain keterampilan kerja, dibangun pula lingkungan yang nyaman bagi para remaja putri ini untuk membahas tantangan budaya yang biasanya sulit dibicarakan di lingkungan rumah. Tasmin, gadis pengungsi berusia 17 tahun mengatakan.
"Hal penting yang saya pelajari adalah untuk tidak kawin pada usia sangat muda, terutama bagi saya yang masih di bawah 18 tahun. Kami tidak tahu apa-apa tentang kehidupan, soal mendapatkan pekerjaan dan memperoleh penghasilan. Banyak anak perempuan yang kawin sebelum berusia 18 tahun. Hidup mereka jadi sulit. Belum lagi harus tetap bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka jadi cepat tua," ungkap Tasmin.
Lebih dari setengah juta pengungsi remaja masih berharap dapat memperoleh pendidikan dengan kurikulum sekolah yang tepat, agar tidak menjadi bagian dari apa yang dikhawatirkan banyak analis, yaitu suatu generasi Myanmar yang hilang.
UNICEF melaporkan lebih dari seperempat juta anak yang berusia hingga 14 tahun kini mendapat pendidikan non-formal di kamp-kamp pengungsi, tetapi lebih dari 25 ribu lainnya tidak mendapat pendidikan atau pelatihan apapun.
Simon Ingram, pejabat UNICEF yang menulis laporan tentang pendidikan bagi pengungsi anak-anak dan remaja di Bangladesh, mengatakan kelompok ini adalah yang paling dirugikan dari konflik dan krisis pengungsi itu. Menurutnya lebih dari 97% anak berusia 15 hingga 18 tahun tidak mendapatkan pendidikan apapun.
"Ketika Anda bertemu dengan para remaja ini di kamp, mereka akan bicara tentang bahaya yang dihadapi, terutama di malam hari, ketika para pengedar narkoba beroperasi dan perkelahian antar geng terjadi secara rutin. Kasus-kasus perdagangan juga dilaporkan terjadi, meskipun sulit mengukur hal ini. Kamp-kamp pengungsian itu bisa sangat berbahaya bagi perempuan dan anak perempuan," kata Ingram.
Advertisement
Kerja Keras UNICEF
UNICEF dan para mitranya telah menyediakan program belajar di lebih dari dua ribu sekolah dan tempat latihan, bagi lebih dari 190 ribu anak Rohingya.
Badan-badan ini menyerukan kepada pemerintah Myanmar dan Bangladesh untuk mengijinkan mereka menggunakan sumber daya pendidikan nasional kedua negara guna memberikan pendidikan yang lebih terstruktur bagi anak-anak Rohingya tersebut.
Ingram mengatakan kepada VOA, UNICEF meminta otorita Myanmar untuk menyedikan pendidikan bagi anak-anak di kamp-kamp pengungsi. Hingga saat ini anak-anak pengungsi itu hanya dididik oleh guru-guru sukarelawan yang sebenarnya juga pengungsi Rohingya.
"Meskipun kita mengupayakan yang terbaik, tentu saja tidak sama dengan keberadaan seorang guru terlatih yang memang berpengalaman menyampaikan kurikulum pendidikan yang telah disusun oleh pemerintah Myanmar. Ini yang kami cari. Ini merupakan pembicaraan kami dengan pemerintah Myanmar. Kami berharap mendapat tanggapan positif," kata Ingram.
Ingram mengatakan penting bagi anak-anak pengungsi Rohingya di Bangladesh ini untuk diajar atau dididik dalam bahasa Myanmar, karena itulah bahasa yang akan mereka butuhkan ketika kembali ke Myanmar kelak.
Meskipun ia mengakui bahwa kembali ke tanah air bukan merupakan hal yang realistis saat ini.