Liputan6.com, Jakarta - Pelantikan Presiden Terpilih Jokowi Widodo-Ma'ruf Amin tinggal dua hari lagi. Pekerjaan rumah seperti makro ekonomi masih terus menggelayuti Indonesia, terutama bagaimana keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi 5 persen.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko) menyebutkan pihaknya akan terus mengkerek pertumbuhan ekonomi RI di tengah perlambatan ekonomi global yang semakin parah.
Seperti diketahui, Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan baru saja memangkas kembali proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 3 persen, yakni terendah sejak krisis keuangan 2008-2009.
Itu dilakukan sebagai imbas melambatkanya ekonomi dunia yang telah menyebabkan sejumlah negara besar di dunia sudah jatuh ke lubang resesi.
"Kita akan tetap terus meneruskan kebijakan reformasi struktural. Ini khususnya mempercepat proses perijinan dengan memperbaiki iklim usaha dengan menyelesaikan omnibus law dan penerapan norma standar prosedur dan kriteria (NSPK) pada online single submission (OSS)," ungkap Deputi Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir kepada Liputan6.com, seperti ditulis Minggu (20/10/2019).
Baca Juga
Advertisement
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia diklaim di tahun-tahun mendatang tak akan mandek di level 5 persen. Sebab, pemerintah saat ini tengah menggodok banyak peraturan dan kebijakan terutama di sektor perizinan investasi.
Dengan ini, pemerintah optimistis sampai akhir tahun pertumbuhan ekonomi RI masih akan bertengger di angka 5 persen, sejalan dengan prediksi pertumbuhan Indonesia oleh Bank Dunia untuk tahun ini.
"Ya kita berharap sih masih 5 persen lah, boleh lah ya," ujar Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution pada Rabu (16/10).
Melanjutkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan pertumbuhan ekonomi hanya akan menyentuh 5,08 persen sampai akhir tahun, meleset dari target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 5,3 persen.
Merespon ini, Direktur Central of Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo mengatakan rencana pemerintah untuk menyederhanakan administrasi memang patut dihargai, apalagi tujuan akhirnya ialah menaikkan pertumbuhan.
Tetapi, dinamika global menurutnya membuat Indonesia limbung dan kehilangan kompas pemandu. Padahal iniprasyarat penting bagi perbaikan sektor fiskal.
Dari dalam negeri, salah satu faktor penyebab kerentanan makro ekonomi terutama dalam sistem perpajakan adalah praktik politik yang tidak sehat, sehingga memaksa Pemerintah terlalu berhati-hati dalam melakukan penegakan hukum.
"Kekhawatiran yang berlebihan akan gaduh politik, meski menemukan alasan pembenar, menjadikan otoritas pajak kita melempem bak macan ompong," ujar dia.
"Lugasnya, pemerintah gagal memanfaatkan potensi hegemonik pajak untuk meraih dukungan publik melalui artikulasi penegakan hukum yang terukur, fair, dan objektif," tambah dia.
* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Insentif Pajak
Faktor berikutnya adalah tarikan kebutuhan insentif pajak. Dalam situasi perekonomian yang lesu dan membutuhkan stimulus, optimalisasi peran pajak sebagai instrumen kebijakan menemukan relevansi dan kemendesakannya.
"Sepanjang pemerintahan Jokowi-JK, berbagai insentif pajak telah diberikan, bahkan terkesan jor-joran dan terlampau murah hati. Cukup pasti rangkaian kebijakan insentif ini tidak keliru, bahkan amat dibutuhkan. Yang kurang diperhatikan adalah mengukur ketepatan bidikan, efektivitas, kemujaraban, dantrade off berupa dampak pengganda bagi perekonomian dan perpajakan," ujarnya.
Dia bilang, masih banyak kebijakan, regulasi, dan praktik perpajakan yang masih luput dari teropong insentif, seperti asimetri kebijakan fiskal Pusat-Daerah, praktik pemungutan Pajak Daerah yang tidak profesional.
"Dengan tarif Pajak Daerah yang tidak seragam dan tak jarang terlampau memberatkan dunia usaha, danpada gilirannya menjadi zero sum game," ungkapnya.
Pihaknya pun menekankan, pajak adalah muara berbagai kepentingan yang amat seksi untuk diperebutkan. Konsekuensinya, proses perumusan kebijakan yangdeliberatif tak kunjung lahir karena banyak aktor kepentingan, seperti dukungan politik dari elite dan oligarki.
"Proyek reformasi yang seharusnya mengandaikan desain besar yang tegas dan peta jalan yang jelas, justru harus berhadapan dengan intervensi-intervensi yang seringkali berada di luar akal sehat teori dan best practice perpajakan," tegasnya.
Asal tahu saja, jika tahun 2018 kita Indonesia membukukan pertumbuhan 16 persen, semester I-2019 RI hanya dapat tumbuh 3,75 persen. Hingga akhir Juni 2019, realisasi penerimaan pajak baru 38,25 persen atau Rp 603,34 triliun dari target Rp 1.572,5 triliun.
Di sisi lain, industri pengolahan yang menyumbang 29,3 persen dari totalpenerimaan tumbuh negatif 2,6 persen, sektor perdagangan yang berkontribusi20,8 persen hanya tumbuh 2,5 persen.
Advertisement