Warga Rohingya Siap Direlokasi dari Bangladesh ke Pulau Lain

Para pengungsi Rohingya menyatakan siap untuk direlokasi ke pulau lain.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 21 Okt 2019, 09:01 WIB
Anak-anak pengungsi Rohingya bermain sepak bola di Kamp Pengungsian Kutupalong, Ukhia, Bangladesh, Jumat (13/9/2019). Kamp ini didirikan secara tidak resmi pada tahun 1991 setelah ribuan orang Rohingya melarikan diri dari Operasi Pyi Thaya yang dilancarkan militer Burma. (MUNIR UZ ZAMAN/AFP)

Liputan6.com, Dhaka - Komisioner pengungsi Bangladesh mengatakan ribuan warga suku Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsi Bangladesh telah setuju untuk pindah ke sebuah pulau di Teluk Benggala meskipun ada kekhawatiran bahwa situs itu rawan banjir.

Dilansir dari Al Jazeera, Minggu (20/10/2019), sekitar 740.000 warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar pada Agustus 2017 saat menghadapi tindakan keras militer, dan bergabung dengan 200.000 pengungsi lain yang sudah berada di pemukiman darurat di Cox's Bazar.

Dhaka telah lama ingin memindahkan 100.000 pengungsi ke pulau itu. Hal itu lantaran wilayah yang kini ditempati pengungsi sudah terlalu padat. 

"Sekitar 6.000 hingga 7.000 pengungsi telah menyatakan keinginan mereka untuk dipindahkan ke Bhashan Char [pulau]," ujar pejabat Bangladesh Mahbub Alam kepada kantor berita AFP dari Cox's Bazar, menambahkan bahwa para pengungsi "jumlahnya meningkat".

Dia tidak mengatakan kapan para pengungsi akan dipindahkan, tetapi seorang perwira senior Angkatan Laut yang terlibat dalam pembangunan fasilitas di pulau itu mengatakan relokasi dapat dimulai pada bulan Desember, dengan sekitar 500 pengungsi dikirim setiap hari.

Bangladesh telah merencanakan sejak tahun lalu untuk merelokasi Rohingya ke lokasi rawan banjir yang sepi, yang berjarak satu jam dengan kapal dari daratan.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah memperingatkan bahwa pulau tersebut, yang muncul dari laut hanya sekitar dua dekade lalu, kemungkinan tidak dapat menahan badai hebat selama musim hujan tahunan.

Warga dari Pulau Hatiya yang terdekat mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa pulau itu tidak layak huni.

"Sebagian pulau terkikis oleh musim hujan setiap tahun," kata seorang pria. "Pada waktu itu, kita tidak pernah berani pergi ke pulau itu, jadi bagaimana ribuan Rohingya akan tinggal di sana?"

Dalam setengah abad terakhir, topan besar telah menewaskan ratusan ribu orang di muara Sungai Meghna di mana pulau itu berada.

"Para pemimpin Rohingya akan dibawa ke Bhashan Char untuk melihat fasilitas dan kondisi kehidupan di sana," papar Alam.

 

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Sangat Padat

Suasana lokasi pengungsian warga Rohingya di Kamp Kutupalong, Ukhia, Bangladesh, Jumat (13/9/2019). Kamp ini didirikan secara tidak resmi pada tahun 1991 setelah ribuan orang Rohingya melarikan diri dari Operasi Pyi Thaya yang dilancarkan militer Burma. (MUNIR UZ ZAMAN/AFP)

Fasilitas keselamatan yang dibangun di pulau itu termasuk tanggul setinggi sembilan kaki (tiga meter) di sepanjang perimeter untuk mencegah gelombang pasang selama topan, dan gudang untuk menyimpan ransum berbulan-bulan, tambahnya.

Seorang ayah dengan empat anak, Nur Hossain, 50, mengatakan ia dan keluarganya setuju untuk pindah ke Bhashan Char setelah mereka diperlihatkan rekaman video tempat penampungan.

"Saya setuju untuk pindah. Kamp di sini [di Leda] sangat padat. Ada masalah pangan dan papan," kata pria berusia 50 tahun itu kepada AFP.

Tidak ada komentar langsung dari PBB, meskipun pejabat Bangladesh mengatakan mereka mengharapkan delegasi akan mengunjungi pulau itu dalam beberapa minggu ke depan.


Upaya Repatriasi Gagal

Sekitar 200.000 Rohingya berunjuk rasa di kamp pengungsian Bangladesh memperingati 'Hari Genosida'. (AFP)

Bangladesh dan Myanmar menandatangani perjanjian pemulangan dua tahun lalu, tetapi sebenarnya tidak ada pengungsi yang kembali hingga kini, dengan penyelidik PBB menggambarkan kondisi di Myanmar sebagai tempat yang "tidak aman, tidak berkelanjutan dan tidak mungkin".

Hampir 3.500 Rohingya di Bangladesh pada Agustus menolak upaya yang dipimpin PBB untuk memulangkan mereka ke Myanmar karena masalah keamanan.

Para pengungsi dibebaskan untuk repatriasi setelah latihan bersama yang dipimpin oleh Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) dan pemerintah Bangladesh.

Myanmar menolak untuk mengakui Rohingya, minoritas Muslim yang sebagian besar tinggal di negara bagian Rakhine, meskipun telah tinggal di sana selama beberapa generasi. Mereka telah ditolak kewarganegaraannya dan dianggap tidak memiliki kewarganegaraan.

Sebuah laporan PBB bulan lalu mengatakan Rohingya yang tersisa di negara bagian Rakhine menghadapi "risiko serius genosida", memperingatkan bahwa pemulangan satu juta lainnya tetap "tidak mungkin".

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya