Cerita Rakyat Sawunggaling dari Surabaya (2)

Salah satu cerita rakyat dari Surabaya adalah kisah Sawunggaling. Ia merupakan tokoh cerita rakyat yang berjuang membela kebenaran dan ibu pertiwi khususnya Surabaya.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Okt 2019, 06:00 WIB
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya akan menggelar pentas seni bertajuk Sawunggaling (Foto: Humas Pemkot Surabaya)

Liputan6.com, Jakarta - Salah satu cerita rakyat dari Surabaya, Jawa Timur adalah kisah Sawunggaling. Ia merupakan tokoh cerita rakyat yang berjuang membela kebenaran dan ibu pertiwi khususnya Surabaya.

Sebelumnya, dikisahkan Sawunggaling atau Jakah Derek adalah anak seorang adipati Surabaya yaitu Adipati Jayengrana. Setelah terpisah sejak kecil, akhirnya Jaka Derek berhasil bertemu dengan ayahnya di Kadipaten Surabaya

Berikut adalah kisah lanjutan Sawunggaling yang Liputan6.com rangkum dari cerita bergambar karya Yustina Hastrini Nurwanti dan Th. Esti Wuryansari: 

Sawunggaling Berhasil Memenangkan Sayembara

Walau senang karena telah bertemu Jaka Berek, Adipati Jayengrana sebenarnya sedang dilanda kesedihan dan kekhawatiran. Rasa itu terkait dengan sayembara yang daiadakan dalam rangka mahargya jumenengan Sinuwun Paku Buwana. 

"Anak-anakku tujuan kita ke Kartasura bukan untuk main-main. Berat tanggung jawab yang harus kalian pikul. Namun akan menjadi pembuktian, seberapa besar kemampuan para satria dari Surabaya,” ucap Adipati Jayengrana dalam iring-iringan kereta menutu Kartasura. 

Setibanya di sana, berkumpul para peserta sayembara dari segala penjuru kerajaan. Di tengah alun-alun terdapat panjer yang puncaknya tedapat selembar cindhe puspita berkibar dengan gagahnya. 

Setelah satu per satu sayembara maju, belum ada yang berhasil menyambar cindhe. Hingga tiba giliran dari Kadipaten Surabaya. Adipati Jayengrana dan Patih Sudermana menahan nafas resah. 

Satu persatu bagian dari mereka maju, namun belum ada yang berhasil. Hingga tiba saatnya Sawunggaling dipanggil untuk masuk dalam kalangan. Ia mulai merentangkan tali, dan matanya ditujukan pada pucuk panah. Ia juga sempat mengucapkan doa restu dari ibunya.

Panah pun melesat cepat dan tali cindhe puspita berhasil melayang putus. Sorak sorai sontak memenuhi alun-alun Kartasura. 

 

 

*** Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Kabar Mengejutkan

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Surabaya akan menggelar pentas seni bertajuk Sawunggaling. (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Kabar Mengejutkan untuk Sawunggaling 

Atas keberhasilannya tersebut, Sawunggaling menjadi calon Adipati Surabaya. Mengetahui hal itu Eyang Wangsadrana memberikan banyak nasihat untuk Sawunggaling saat sedang berkunjung ke desa kelahirannya. 

Ketika Sawunggaling sedang di Desa Lidah Donowati, tiba-tiba Patih Suderma datang menyusul. Patih datang untuk mengabarkan berita Adipati Jayengrana yang pergi ke Kartasura secara mendadak tanpa ada pengawal yang menemani. 

"Adipati naik kereta utusan dari Sinuwun Paku Buwana. Di belakangnya diiringi beberapa prajurit dan tentara Belanda. Kejadian yang jarang terjadi,” ucap Patih Suderma. 

Akhirnya Sawunggaling kembali ke Surabaya. Belum ada kabar akan keberadaan ayahnya. Hari berikutnya Patih Suderma datang membawa surat pada Sawunggaling. 

Sawunggaling segera membaca surat tersebut. Air mata Sawunggaling dan Patih Suderma menetes. Adipati Jayengrana  sudah meninggal dan dimakamkan di Surakarta. 

Tak hanya itu, terdapat surat kedua untuk Sawunggaling. Surat kedua itu datang dari Sinuwun Paku Buwana. Surat tersebut berisi pengangkatan Sawunggaling menjadi Adipati Surabaya. 

"Hatiku sedih paman. Tidak terhibur dengan pengangkatan ini. Apalagi mengingat meinggalnya ayah karena perbuatan mereka. Hatiku tidak terima!” ucap Sawunggaling. 

Belanda Ingin Menggagalkan Pengangkatan Sawunggaling

Belanda berkeinginan menggagalkan pengangkatan Sawunggaling menjadi Adipati Surabaya. Belanda mewujudkan keinginannya itu dengan mengadakan pesta. 

Pesta itu dihadiri oleh Kapten Hogendorp, Knol dan Couper. Pesta tersebut hanyalah dalih untuk merayakan kemenangan Sawunggaling setelah melawan Kerajaan Tambaskelingan.

Tanpa sepengetahuan Sawunggaling, minuman miliknya telah dicampuri racun. Namun, karena tindakan itu diketahui oleh Adipati Cakraningkrat, Ia segera menghempaskan minuman itu dari Sawunggaling. 

Sawunggaling sempat marah, namun kemudian Adipati Cakraningkrat menjelaskan rencana busuk Belanda. Seketika itu juga Sawunggaling meloncat ke arah Kapten Hogendorp dan menusukkan keris pada orang Belanda itu. Kapten Hogendorp pun seketika tewas. 

 


Belanda Menyerbu Surabaya

Belanda Menyerbu Surabaya

Peristiwa tewasnya Kapten Hogendorp membuat Kota Semarang bergolak. Sawunggaling telah meramalkan  kekacauan di Semarang akan berlanjut ke Surabaya. 

Prediksi Sawunggaling pun benar terjadi. Tentara Belanda datang menyerbu Surabaya. Terjadilah perang dahsyat di Surabaya. Banyak prajurit yang gugur di medan perang. 

Akhirnya setelah prajurit Surabaya mulai terdesak, Adipati Sawunggaling memberikan aba-aba kepada pasukannya untuk mundur. Sebagian pasukan bergabung dengan Patih Suderma dan sebagian lagi dengan Pangeran Umbulsanga. 

Sawunggaling akhirnya ingin meminta bantuan kepada Adpati Cakraningkrat yang ada di Madura. Sebelum Ia pergi, Sawunggaling berpesan pada prajuritnya, Ia akan tetap setia pada Surabaya. 

"Prajuritku, aku meninggalkan Surabaya bukan berarti aku ingin menghindari kematian. Aku akan kembali untuk berjuang bersama kalian. Bila harus musnah, aku ingin mati di tengah-tengah prajuritku," pesan Adipati Sawunggaling. 

Akhir Cerita Adipati Sawunggaling

Sejak menjadi adipati, Sawunggaling tidak mau tunduk dengan Belanda. Dengan bersenjatakan keris, Sawunggaling terus melakukan perlawanan Belanda untuk membela kebenaran dan ibu pertiwi. 

"Ragaku akan mati tetapi semangatku membela kebenaran dan membela ibu pertiwi akan tetap lestari. Tidak akan mati, kalian tidak akan bisa menumpas. Semangatku akan terus hidup di Surabaya!” ucapnya lantang. 

Tak lama setelah itu, senjata api merobohkan tubuh Sawunggaling. Ia pun gugu r dalam pertempuran melawan Belanda. Jasadnya kemudian dimakamkan di tempat kelahirannya yakni Desa Lidah Donowati. Kini desa tersebut lebih dikenal dengan Lidah Wetan Surabaya. 

 

(Kezia Priscilla)

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya