HEADLINE: Nomenklatur Baru, Kabinet Jokowi Jilid 2 Lebih Ramping dan Efektif?

Presiden Jokowi tak menampik akan ada perubahan nomenklatur dalam pemerintahan jilid 2. Ini dilakukan agar lebih efektif. Akankah demikian?

oleh Putu Merta Surya PutraBawono YadikaYopi Makdori diperbarui 23 Okt 2019, 00:03 WIB
Joko Widodo atau Jokowi (kanan) dan Ma'ruf Amin (kiri) memberi keterangan usai dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024 di Gedung Nusantara, Jakarta, Minggu (20/10/2019). Jokowi dan Ma'ruf Amin terlihat senyum semringah usai pelantikan. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa tokoh berdatangan menyambangi Istana Kepresidenan, Jakarta. Sejak kemarin hingga hari ini, Selasa (22/10/2019), tamu masih terus mengalir ke ruangan Presiden Jokowi. Ada yang berwajah baru dan ada pula yang lawas, alias mantan menteri.

Mereka yang masuk kategori wajah baru di antaranya Mahfud Md, Prabowo Subianto, Erick Thohir, Nadiem Makarim, Syahril Yasin Limpo. Sementara dari wajah lama hadir Sri Mulyani, Basuki Hadimuljono, dan Siti Nurbaya.

Kedatangan mereka ke Istana untuk memenuhi undangan Presiden Joko Widodo atau Jokowi sebagai calon menteri. Tetamu itu hadir mengenakan kemeja putih yang merupakan ciri khas bagi mereka yang terpilih dalam kabinet Jokowi.

Menurut Pengamat Politik Adi Prayitno, ragam latar belakang serta usia yang berbeda dari calon menteri yang dipanggil ke Istana menjadi modal baik bagi Jokowi. Hanya kini Jokowi harus mengombinasikannya dengan tepat agar hasil yang dicanangkan tercapai.

"Tinggal dibuktikan dengan kinerja yang baik. Sangat proporsional," ujar Adi kepada Liputan6.com, Selasa (22/10/2019).

Dalam menjalankan pemerintahan jilid 2, Presiden Jokowi memastikan jumlah Kementerian tetap 34. Namun akan ada perubahan nomenklatur.

Adi pun menilai baik rencana Jokowi itu. Saat ini menurutnya, banyak lembaga yang tumpang tindih dalam menjalankan tupoksinya.

"Perubahan nomenklatur memang untuk merampungkan postur pemerintahan. Karena banyak kementerian yang overlapping yang dalam praktiknya tumpang tindih," kata dia.

Yang harus diperhatikan, lanjut Adi, perubahan nomenklatur ini harus dimaksudkan untuk mempercepat program pemerintah. Bukan malah sebaliknya.

Sementara itu, Pengamat Politik senior dari LIPI, Indria Samego menilai kombinasi antara politisi dan profesional di jajaran kabinet jilid 2 merupakan keinginan Jokowi. Parpol menurutnya, memegang peranan penting dalam keberhasilan Jokowi tetap berada di Istana.

"Profesional itu dimasukkan karena tantangan-tantangan pemerintahan di era yang semakin kompetitif membutuhkan orang yang sudah teruji kematangannya," terang Indria kepada Liputan6.com, Selasa (22/10/2019).

Infografis Kabinet Jokowi Jilid II Lebih Ramping dan Efektif? (Liputan6.com/Triyasni)

Dia menambahkan, kedua elemen itu bisa dipadukan dengan harapan dapat bekerja sama dan profesional. Dengan begitu, susunan kabinet periode ini lebih efektif dari sebelumnya.

"Ya kelihatannya seperti itu. Kabinet pertama kan hasil kompromi Jokowi dengan tim ahlinya yang kemudian ada reshuffle pada babak pertama. Sangat amatiran. Ini periode kedua Jokowi kelihatannya lebih perform," ucap Indria.

Terkait dengan perubahan nomenklatur, dia menilai tak masalah itu dilakukan. Selama tidak melanggar aturan konstitusi. "Jadi tidak semena-mena," ujar dia.

Perubahan nomenklatur, lanjut Indria, disebabkan karena koreksi terhadap nomenklatur pada periode sebelumnya. Sehingga perubahan sisi nomenklaturnya lebih terarah.

"Saya juga sudah lama melihat Menko itu tidak ada dalam UUD. UUD hanya mengatakan presiden dibantu oleh anggota kabinet," ujar dia.

"Tidak efektif ada Menko. Itu hanya warisan Pak Harto untuk teman-temannya yang masih berjasa tapi masih punya tenaga. Habis-habisin budget negara," imbuh Indria.

Ke depan, kata dia, yang paling urgen adalah masalah keamanan. Kekerasan massa yang menimbulkan korban seperti di Papua dan Penajam hendaknya tidak terulang kembali.

"Jangan sampai terjadi. Karena negara melindungi warga negaranya. Baru peningkatan SDM karena kalau tidak, beban pertumbuhan penduduk jadi beban negara, tidak berkualitas," ujar Indria.

Persoalan lainnya yang harus menjadi perhatian pemerintahan Jokowi jilid 2, tentang penegakan hukum dan HAM. Kasus-kasus yang terkait dengan hukum harus diselesaikan.

"Jadi kasus-kasus yang seperti terakhir itu kasus penyiraman air keras ke Novel harus dibuka. Kalau enggak menjadi preseden negara kalah dengan preman," ucap dia.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Kabinet Gemuk atau Ramping, Mana Ideal?

Jokowi-JK dan Menteri Kabinet Kerja Gelar Sesi Foto Terakhir (Foto: Liputan6/Ika Defianti)

Sementara ekonom dan analis menilai, gemuk atau kurusnya kabinet baru Presiden Joko Widodo bukanlah sebuah masalah. Koalisi ramping memang lebih ideal, namun koalisi tambun juga punya sisi stabilitas politik jika diisi dengan sosok berkualitas.

"Masalahnya koalisinya cukup besar bahkan partai yang oposisi ingin masuk juga. Saya rasa ini tak bisa dihindarkan juga," ujar Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal kepada Liputan6.com, Selasa (22/10/2019).

Dia mengingatkan, indeks pemerintahan Bank Dunia memasukkan stabilitas politik sebagai satu indikator positif pemerintah. Dia berharap para calon menteri dari partai politik memiliki kualitas mumpuni menghadapi Revolusi Industri 4.0.

Pasalnya, kementerian di kabinet lalu masih belum terlalu paham soal Revolusi Industri 4.0, seperti Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian. Kehadiran sosok muda seperti Nadiem Makarim, Wishnutama, dan Erick Thohir diharapkan bisa membawa perubahan positif.

"Di periode pertama suatu hal yang kurang di kabinet Jokowi karena terkait ekosistem 4.0 sendiri masib gagap, masih lempar-lemparan," ujar dia.

Sedangkan ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menyebut, koalisi gemuk karena banyak partai politik bukanlah suatu masalah. Hal yang dia tekankan lebih kepada kapabilitas dan kredibilitas menteri.

"Saya pikir kalau dari kalangan politisi profesional kenapa enggak? Asal dia kerja dan punya integritas, bersih dari korupsi," jelas dia.

"Saya pikir sejauh ini orang-orang partai yang dipanggil sudah punya cukup berkompetisi jadi tidak ada masalah," imbuhnya.

Kembalinya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan juga disambut baik kedua ekonom. Bagi Josua, kehadiran Sri Mulyani bisa memberikan sentimen positif dari luar negeri yang menantikan sosok yang kredibel dan prudent dalam mengelola APBN.

Terkait rencana Presiden Jokowi memangkas birokrasi menjadi dua level, Rektor UI Ari Kuncoro menilai positif. Lantaran, daya saing RI bahkan tertinggal dengan negara tetangga seperti Singapura.

"Investor itu yang datang banyak bingung karena paraturan yang sifatnya tumpang-tindih," tuturnya di Gedung BEI, Senin (21/10/2019).

Selain itu, dia juga bilang, pemangkasan eselonisasi akan mengerek kemudahan berusaha atau berbisnis di Indonesia (ease of doing business) dengan meningkatkan kepercayaan bagi pelaku bisnis.

"Kan ranking kita masih jauh untuk ease of doing business. Sifat investor itu nyarinya yang deket-deket. Nggak jauh-jauh," ujarnya.

Sementara itu, Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menuturkan, pemangkasan eselonisasi oleh Jokowi akan membantu upaya reformasi struktural, apalagi jika berpengaruh positif terhadap postur belanja fiskal negara.

"Belanja pegawai porsinya lumayan besar yakni 26 persen dari total belanja Kementerian/Lembaga. Setuju kalau birokrasi dipangkas karena itu sumber lambatnya proses perizinan," ujarnya.

 


Sepakat Perubahan Nomenklatur

Jokowi bersama keluarga bersiap berangkat ke Gedung MPR/DPR/DPD RI Jakarta untuk menghadiri Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 2019. (Liputan6.com/Lisza Egeham)

Tak hanya periode kedua, Jokowi juga mengubah nomenklatur saat berpasangan dengan Wapres Jusuf Kalla. Kala itu Kementerian Kehutanan digabung dengan Kementerian Lingkungan Hidup, menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Menurut Ketua DPR Puan Maharani, hal itu tidaklah masalah. Karena menjadi kewenangan khusus presiden. "Itu hak prerogatif Presiden," ucap Puan di Kompleks DPR, Jakarta, Senin 21 Oktober 2019.

Untuk periode kedua Jokowi ini, Puan mencontohkan, kementerian yang akan digabung di antaranya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Pendidikan Tinggi (Dikti).

Contoh lain, Kementerian Koordinator Bidang Maritim akan ditambah dengan investasi. Sementara itu, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) akan digabung dengan pariwisata.

Dia menegaskan tidak ada kementerian yang dibubarkan. Yang ada berupa penggabungan. Hal ini, menurutnya bukan hal yang krusial.

"Dalam artian akan ada perpindahan yang besar, sistematis atau kemudian akhirnya mengubah suatu kementerian, tidak. Hanya menggabungkan beberapa kementerian menjadi satu, itu pun tidak dibubarkan," kata Puan.

Menurut dia, perubahan nomenklatur periode kedua ini akan berdampak terhadap komisi-komisi di DPR sebagai mitra kerja pemerintah. DPR dan pemerintah telah menyepakati tentang jumlah komisi.

"Ya sudah disepakati, bahwa komisi yang ada di DPR itu saat ini ada sebelas. Kalau pun ada perubahan nomenklatur kementerian, itu harus disesuaikan dengan komisi-komisi yang ada," jelas politikus PDIP ini.

Sementara itu, Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, setidaknya akan ada perubahan pada 10 nomenklatur kementerian di periode kedua pemerintahan Joko Widodo.

"Mudah-mudahan itu tidak ada perubahan lagi. Itu yang diprediksi akan ada nomenklatur baru dari bapak Presiden seperti itu," kata Ngabalin, Senin 21 Oktober 2019.

Mantan Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Presiden ini membeberkan, tiga dari 10 nomenklatur adalah kementerian baru. Yakni ada investasi, pemuda dan olahraga serta lingkungan. 

"Sudah ada beberapa nanti itu, umpama seperti masalah investasi, pemuda dan olahraga, masalah lingkungan. Ada juga badan khusus mengenai olahraga dan beberapa yang lain," jelas Ngabalin.

Menurut Ngabalin tidak tertutup kemungkinan akan ada tambahan perubahan nomenklatur kementerian. "Iya masih bisa bertambah," singkatnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya