JFW 2020 Ajak Generasi Milenial Cintai Kain Tradisional

Kain tradisional yang selalu dilabeli kuno, sebenarnya bisa dibuat modern dan dipakai sehari-hari.

oleh Putu Elmira diperbarui 24 Okt 2019, 09:02 WIB
Hartanti Maya Krishna, Monique Hardjoko, Christina Pangaribuan, Lia Candrasari dan Novita Yunus (kiri ke kanan) dalam gelar wicara "Mencintai Kain Tradisional Indonesia" yang dilaksanakan pada Rabu (23/10/2019) di The Hall, Senayan City. (dok. Liputan6.com/Novi Thedora).

Liputan6.com, Jakarta - Jakarta Fashion Week (JFW) 2020 telah berlangsung dari 22 Oktober hingga 28 Oktober 2019. Menghadirkan ribuan koleksi, mereka siap menghadirkan merk lokal untuk bersaing dengan merk internasional.

Diketahui, JFW 2020 menghadirkan lebih dari 270 label dan desainer, baik dari dalam dan luar negeri. Beberapa rancangannya dikatakan merupakan karya dari desainer Indonesia Fashion Foward.

"Fashion industry sangat luas. Kami menjadi katalis mengikat ekosistem untuk memajukan fashion industry Indonesia," kata Svida Alisjahbana, Chairwoman Jakarta Fashion Week sekaligus CEO GCM Group pada pembukaan JFW 2020 di Senayan City pada Selasa, 22 Oktober 2019.

Tak hanya peduli dengan karya desainer Indonesia, mereka juga ingin menyadarkan publik tentang kain tradisional pula. Pada Rabu (23/10/2019), mereka menggelar talkshow "Mencintai Kain Tradisional Indonesia".

Mengundang perancang busana Novita Yunus dan Christina Pangaribuan, pengusaha Lia Candrasari, perwakilan Komunitas Perempuan Pelestari Budaya Indonesia & Pecinta Wastra Nusantara, Monique Hardjoko, mereka menceritakan upaya mereka agar kain nusantara dapat dikenal lebih luas, terutama di generasi milenial.

Mereka menilai bahwa dalam sehelai kain tradisional, bukan hanya unsur warna atau motif yang indah. Tapi, terkandung banyak makna dan rahasia yang menjadikan budaya Indonesia semakin beragam.

Berbagai upaya dilakukan, salah satunya melalui penggunaan gadget dan sosial media. Christina Pangaribuan yang juga menjadi dosen di Sekolah Mode Esmod, mengatakan bahwa kecenderungan mahasiswa kini adalah gemar memotret daripada mencatat sehingga dia menyesuaikan ke dalam cara pengajarannya.

"Kalau saya sebagai dosen, kita diperbolehkan melihat dari sosial media. Aku ingin sampaikan bahwa sosial media ini sangat penting peranannya kepada sosial media, kita harus kenalkan wastra kita lewat sosial media, website," ungkapnya.

Sebagai seseorang yang menyukai kain tradisional sejak kecil, dia merasa bahwa lingkungan dan benda sehari-hari menjadi hal yang penting. Contohnya, dia gemar dengan kain ulos karena sering melihat ibunya memakai kain tersebut. Jika dikaitkan dengan masa sekarang, menurutnya anak muda kini seolah tak bisa lepas dari telepon genggamnya.

"Hal-hal yang berkaitan dan sering kita sentuh sehari-hari, itu dampaknya besar banget bagi kehidupan kita. Dari cara orangtua berpakaian, dari buku yang kita baca, apa yang kita lihat di TV itu ada pengaruh," tutut Christina lagi.

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp10 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Mematahkan Pandangan Kain Tradisional Itu Kuno

Christina Pangaribuan, Hartanti Maya Krishna, Neneng Rahardja, Novita Yunus, Lia Candrasari, Monique Hardjoko (kiri ke kanan) dalam gelar wicara "Mencintai Kain Tradisional Indonesia" yang dilaksanakan pada Rabu (23/10/2019) di The Hall, Senayan City. (dok. Liputan6.com/Novi Thedora).

Monique Hardjoko juga mengungkap cara lain yang dapat dilakukan agar kain tradisional semakin banyak dikenal oleh generasi muda, bahkan bisa digunakan sebagai pakaian sehari-hari. Menurutnya, keunikan dari sebuah kain tradisonal ada pada maknanya, sehingga akan sangat sayang jika dipotong dan dibentuk menjadi sebuah pakaian dengan model tertentu.

"Sebaiknya kalau kita pakai wastra, bagaimana cara kita benar-benar mencintai dan menghargai penenun atau pembatiknya ya sebisanya tidak memotong. Jadi, kita sebisa mungkin menjahit bentuk-bentuk yang tetap modern dan edgy," jelas Monique.

Selain itu, dia juga mengatakan bahwa kesan kain tradisional yang selama ini dianggap kuno sebenarnya bisa menjadi sesuatu yang bagus. Caranya yaitu dengan memadu madankannya antara kain tradisional satu sama lainnya.

Dia mencontohkan pada salah seorang rekannya yang turut hadir pada gelar wicara tersebut, Neneng Rahardja selaku founder dari Jaga Wastra. Di kesempatan tersebut, Neneng mengenakan gaun batik yang dipadankan dengan tenun Dayak Sintang.

"Bisa kelihatan bagaimana wastra yang chic dan modern dan akhirnya buat anak-anak muda gak terkesan ibu-ibu atau tua lagi," tukasnya lagi.

Sedikit berbeda dengan Monique, Lia Candrasari mengatakan bahwa cara dia mengenalkan kain tradisional Indonesia adalah dengan memadankan dengan pakaian yang lebih kekinian. Dia hanya menyelipkan sedikit unsur kain nusantara.

Menurutnya, anak muda kini lebih senang memakai pakaian yang dapat digunakan sehari-hari dan lebih santai.

"Apa yang disenangi anak-anak muda, saya masukkin nih. Mereka juga yang bisa dipakai ke kampus, bisa dipakai untuk hobi. Apa yang saya keluarkan? Ya kemeja dengan satu tambahan wastra nusantara yang mewakili generasi muda," papar Lia saat ditemui sesuai acara.

Lia mengatakan meskipun unsur kain hanya sedikit, pemakainya tetap akan merasa bangga bahwa baju yang dikenakan mengandung unsur pelestarian budaya. Kesederhanaan dapat membuat anak muda dan orang tua lebih fleksibel mengenakannya. Dia mengaku caranya ini hingga membuat permintaan pasar juga meningkat.

"Itu sangat besar, repeat order terus," tambahnya. (Novi Thedora)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya