KNKT: Masalah Teknis dan Desain Picu Lion Air JT610 Jatuh di Tanjung Karawang

Sejumlah masalah mekanis dan desain berkontribusi pada jatuhnya pesawat Lion Air 737 MAX pada 29 Oktober lalu. Demikian disampaikan penyelidik dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Okt 2019, 15:30 WIB
Pesawat maskapai Lion Air terparkir di areal Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Kamis (16/5/2019). Berdasarkan hasil Rapat Koordinasi antara Kementerian Bidang Perekonomian dan Kementerian Perhubungan memutuskan tarif batas atas tiket pesawat turun sebesar 12-16 persen. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah masalah mekanis dan desain disebut berkontribusi pada jatuhnya pesawat Lion Air JT610 di Tanjung Karawang, yang menggunakan Boeing 737 MAX pada 29 Oktober 2019 lalu. Demikian disampaikan penyelidik dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) kepada keluarga korban menjelang dirilisnya laporan akhir dari investigasi mengenai tragedi tersebut.

Faktor-faktor yang memicu jatuhnya pesawat Boeing 737 seri MAX itu termasuk di dalamnya adalah asumsi yang salah tentang bagaimana cara kerja dari perangkat anti-stall - yang disebut Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) - dan bagaimana pilot menyikapinya, demikian ditampilkan dalam lembar pemaparan (slide) yang ditampilkan pihak KNKT kepada keluarga korban pada Rabu (23/10/2019) di Jakarta.

Presentasi itu juga menunjukkan hal lain yang turut berkontribusi adalah kurangnya dokumentasi tentang bagaimana sistem MCAS akan berperilaku dalam skenario kecelakaan - termasuk pengaktifan perangkat "stick shaker" yang memperingatkan pilot jika pesawat akan kehilangan daya angkat (stal) yang berbahaya.

Sementara faktor lain yang juga turut berkontribusi adalah "kurangnya" komunikasi antar kru penerbangan dan kontrol manual terhadap pesawat, akibat peringatan berulang dan juga gangguan yang terjadi di kokpit.

Laporan itu menyebut kurangnya komunikasi ini sebelumnya telah 'teridentifikasi selama pelatihan", namun KNKT tidak merinci lebih jauh hal tersebut, demikian seperti dikutip dari ABC Indonesia, Kamis (24/10/2019).

Ketergantungan pada sensor angle-of-attack tunggal membuat sistem MCAS lebih rentan terhadap kegagalan, sedangkan sensor angle-of-attack tunggal yang terdapat pada pesawat yang jatuh itu diketahui telah salah dikalibrasi selama perbaikan yang dilakukan sebelumnya.

Laporan akhir ini menurut rencana akan dirilis pada Jumat 25 Oktober 2019.

Seorang juru bicara Boeing menolak mengomentari pemaparan KNKT ini, dengan mengatakan: "Karena laporan itu belum secara resmi dirilis oleh pihak berwenang, masih terlalu dini bagi kita untuk mengomentari isinya."

Perwakilan Lion Air juga menolak berkomentar.

Pesawat Boeing 737 MAX dilarang mengudara di seluruh dunia setelah kecelakaan mematikan kedua terjadi di Ethiopia pada Maret 2019.

Sementara pabrikan Boeing di AS hingga kini masih berada di bawah tekanan untuk menjelaskan apa yang mereka ketahui tentang serangkaian masalah pada pesawat seri 737 MAX sebelum pesawat itu diluncurkan secara komersil.

Ini terutama setelah beredarnya laporan Reuters yang berisi keterangan seorang mantan pilot yang menguji pesawat itu yang menggambarkan perilaku perangkat lunak MCAS yang tidak menentu pada pesawat Boeing 737 MAX.

Dikatakan sebelumnya, pengujian dilakukan dua tahun sebelum pesawat mereka yang dioperasikan oleh Lion Air Indonesia mengalami kecelakaan.

Boeing mengatakan akan mendesain ulang sistem anti-stall tersebut agar bisa mengandalkan lebih dari satu sensor dan untuk membantu mengurangi beban kerja pilot.

Simak video pillihan berikut:


Pengakuan Boeing

Boeing 737 MAX-8 pertama di Indonesia yang dioperasikan oleh Lion Air (Ilyas Istianur Praditya / Liputan6.com)

Otoritas pengatur lalu lintas di Jakarta melaporkan kehilangan kontak dengan pesawat Lion Air JT610 setelah pesawat naas itu mengudara selama 13 menit usai lepas landas menuju Pangkal Pinang pada 29 Oktober 2018.

Pesawat yang sama dilaporkan juga mengalami serangkaian masalah serupa di ruang kemudi sejak 26 Oktober 2018, dan ini memicu keputusan untuk mengubah sensor angle-of-attack sebelum pesawat itu melakukan penerbangan kedua dari Denpasar ke Jakarta.

Selama penerbangan malam hari yang mematikan itu, instrument "Stick shaker' di pesawat itu membuat gagang kemudi yang dikendalikan pilot bergetar, dan mengirim peringatan terjadi stal atau pesawat kehilangan daya angkat selama 13 menit pesawat itu mengudara.

Hal ini didasarkan pada keyakinan peneliti kalau telah terjadi kesalahan data mengenai sudut posisi pesawat ketika mengudara.

Sudut itu menjadi parameter utama dalam sebuah penerbangan dimana posisinya harus tetap cukup tajam untuk mempertahankan daya angkat pesawat dan menghindari stal aerodinamis.

Sistem anti-stal pada pesawat Lion Air JT610 dilaporkan berulang kali mendorong hidung pesawat ke bawah.

Pasca kecelakaan ini Boeing menuai kecaman luas karena terus menekankan kejadian ini pada faktor pengendalian pesawat oleh pilot dan perawatan pesawat dalam sejumlah responnya ke publik menyikapi laporan pendahuluan dari kecelakaan ini.

Komentar Boeing ini juga memicu perselisihan yang sengit dengan pendiri Lion Air, Rusdi Kirana.

Tetapi sejak itu Boeing mengaku system MCAS dan sensor mereka yang bermasalah turut berkontribusi dalam kecelakaan dan meminta maaf atas nyawa yang hilang tanpa mengakui bertanggung jawab secara formal.

Informasi dari kuasa hukum Lion Air di AS menyebutkan bulan lalu pihak Boeing baru saja membayarkan klaim pertama yang berasal dari kecelakaan Lion Air.

Tiga sumber lain mengatakan kepada Reuters bahwa keluarga mereka yang teewas akan menerima dana kompensasi setidaknya masing-masing sebesar $AS 1,2 juta setara hampir Rp 17 miliar.

Pabrikan Boeing menghadapi hampir 100 tuntutan hukum atas kecelakaan yang menimpa Ethiopian Airlines pada 10 Maret, yang menewaskan 157 orang yang berada dalam penerbangan dari Addis Ababa ke Nairobi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya