Liputan6.com, Jakarta - Presiden Jokowi telah mengajukan nama Komjen Idham Azis sebagai calon kapolri pengganti Tito Karnavian, yang kini menjadi menteri di Kabinet Indonesia Maju (KIM).
Usai melantik para menteri, Jokowi langsung mengumumkan nama Idham sebagai satu-satunya calon kapolri yang diajukan ke DPR.
"Pengganti Kapolri sudah kami ajukan ke DPR, Pak Idham Azis Kabareskrim, ya satu aja," kata Presiden Joko Widodo atau Jokowi di Istana Kepresidenan, Rabu 23 Oktober 2019.
Nama Idham tak asing bagi Jokowi. Idham kerap kali mengantar dan menjemput Jokowi di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Ketika itu, Idham menjabat Kapolda Metro Jaya. Sebagai pejabat yang bertanggungjawab terhadap keamanan Ibu Kota, mengawal setiap kegiatan presiden di Jakarta adalah suatu kewajiban.
Sebelum memimpin Korps Bhayangkara, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri ini akan mengikuti fit and proper test atau uji kelayakan. Rencananya DPR bakal menggelar uji kelayakan calon kapolri pada pekan depan.
"Ya pekan depan," ungkap Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, Rabu 23 Oktober 2019.
Baca Juga
Advertisement
Meski nama kapolri baru telah muncul, DPR belum bisa melakukan fit and proper test lantaran belum terbentuk komisi-komisi.
"Ya nunggu Komisi III disepakati dulu. Kan Komisi III baru minggu depan, setelah itu ya langsung kita adakan fit and proper test. Kan Komisi III-nya belum dilantik," ucap dia.
Anggota DPR Fraksi PPP, Arsul Sani menyebut, pihaknya akan menelusuri kinerja dari Idham Azis selama memimpin Bareskrim dan jabatan-jabatan sebelumnya.
"Itu sesuatu yang nanti kita teliti, masyarakat juga kalau ingin memberi masukan silakan saja," kata Arsul kepada Liputan6.com di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kamis (24/10/2019).
Menurut Arsul, sejauh ini rekam jejak Idham Azis tidak ada yang negatif. Prestasinya juga tidak bisa dianggap remeh. Ia pun berpendapat, Idham merupakan pilihan yang tepat untuk menggantikan Tito.
"Tentu lah, jangan kan (pilih) kapolri, yang lain saja pasti melalui profiling, termasuk kabinet itu. Kalau ada kasus yang serius, itu pasti enggak dipilih," ungkap Arsul.
Namun Arsul mengingatkan, Idham agar tidak melupakan sejumlah kasus yang belum tuntas di era Tito. Menurutnya, kasus-kasus pidana itu harus segera diselesaikan, sehingga tidak menjadi beban di kepemimpinan selanjutnya.
"Memang harus bisa menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan pending ini. Semua harus bisa diselesaikan, karena itu adalah capaian nanti siapapun jadi Kapolri, memang kita dorong selesaikan. Terutama kasus sensitif itu bisa terungkap," terang Arsul.
Hal yang sama juga diutarakan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. Menurut Hamid, Idham Azis merupakan sosok polisi berpengalaman di bidang reserse. Karena itu, ia berharap pengungkapan yang menyangkut dengan HAM bisa dituntaskan.
"Pertama, pengungkapan kasus-kasus serangan terhadap aktivis. Dari mulai Munir, Novel sampai dengan aktivis lingkungan yang belakangan ini diserang," kata Usman kepada Liputan6.com, Kamis (24/10/2019).
Saksikan video pilihan berikut ini:
Kasus Novel dan Pembenahan di Tubuh Polri
Usman mengatakan, pengungkapan kasus penyerangan Novel adalah ujian pertama bagi Idham Azis. Sebab, hingga kini kasus tersebut belum menemui titik terang.
Padahal, pada 19 Juli 2019 lalu, Jokowi memberi tenggat waktu 3 bulan bagi tim teknis bentukan Tito untuk dapat mengungkap kasus Novel. Batas waktu itu sudah mencapai tenggatnya pada 19 Oktober 2019 lalu, atau sehari sebelum Jokowi-Ma'ruf dilantik.
Namun, belum ada perkembangan terbaru terkait kasus Novel dari pihak kepolisian. Beberapa kali Jokowi ditanya mengenai tenggat waktu kasus Novel yang sudah habis. Namun, mantan Gubernur DKI Jakarta itu tak pernah menjawab.
"Idham harus mengambil langkah-langkah signifikan untuk mereformasi kepolisian. Hasil perkembangan tim teknis itu akan menjadi penentu bagi kepemimpinannya ke depan," tutur Usman.
Selain itu, Usman juga berharap, Idham mampu meningkatkan citra kepolisian khususnya dalam menangani perkara pelanggaran HAM kepada masyarakat sipil.
"Termasuk mencegah kriminalisasi terhadap aktivis dan masyarakat lainnya. Sebagaimana terjadi pada Kasus Dandhy Laksono, Ananda Badudu, dan lain-lain," ucap Usman.
Usman juga menyoroti sikap represif aparat ketika mengamankan demonstrasi dan meredam kerusuhan di beberapa wilayah. Akibatnya, korban jiwa berjatuhan.
"Belum lagi, penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya oleh polisi juga lazim ditemukan. Misalnya penggunaan ular di Kepolisian Resor Jayawijaya, Papua untuk memperoleh pengakuan dari orang yang diduga sebagai pencuri pada Februari 2019. Videonya diedarkan melalui media sosial pada awal tahun ini," terang Usman.
Usman berharap, Idham Azis mampu memberikan perubahan. Satu di antaranya dengan mengutamakan pendekatan preventif saat melakukan penindakan hukum, tidak asal tembak, dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
"Polisi mengklaim bahwa semua penembakan itu dilakukan sesuai dengan prosedur operasi internal. Kami ingin kepemimpinannya mengubah pola pendekatan yang cenderung represif," tambah Usman.
Di sisi lain, Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto tak yakin Idham dapat memberi perubahan yang signifikan di tubuh Polri.
Apalagi, Idham dikenal lama berkecimpung di Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, seperti Tito Karnavian.
"Artinya saya menduga bahwa pendekatan-pendekatan yang dilakukan kepolisian dalam kepemimpinannya juga tak lepas dari style penindakan seperti Densus 88. Model tangkap-tangkapan akan terus terjadi," kata Bambang kepada Liputan6.com, Kamis (24/10/2019).
Menurut Bambang, Idham tak harus mengikuti gaya kepemimpinan Tito. Apabila ada tindakan Polri yang dianggap merugikan masyarakat harus segera dievaluasi. Misalnya dengan mengurangi pendekatan represif.
"Pendekatan preventif harusnya ke depan akan lebih dominan. Artinya, tugas polisi bukan hanya melindungi, mengayomi, dan melayani. Tetapi juga memastikan masyarakat terlindungi, terayomi dan terlayani," tambah dia.
Sementara, Bambang berpendapat, banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan Idham saat resmi menjabat kapolri, terutama penuntasan kasus pidana.
Misalnya saja, pengungkapan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan. Ia pun menyayangkan, belum tuntasnya kasus tersebut. Hal ini dikhawatirkan, bisa menjadi beban bagi Idham yang nantinya akan memimpin Polri.
"Alternatif solusinya ya kepolisian harus angkat tangan, dan menutup kasus tersebut untuk dijadikan dark number. Hanya saja, menjadikan kasus Novel Baswedan sebagai dark number, bukan hanya mengurangi poin Pak Tito, tetapi akan jadi catatan negatif pertama bagi kepemimpinan Pak Idham," tutur Bambang.
Selain penuntasan kasus Novel, Idham juga harus mampu melepaskan Polri dari godaan politik. Ia mencohkan bagaimana sejumlah anggota Polri terjun dalam dunia politik. Misalnya saat Pilkada 2018, ada tiga jenderal polisi yang maju sebagai calon gubernur, yakni mantan Kapolda Jawa Barat Irjen Anton Charliyan, mantan Kapolda Kalimantan Timur Irjen Safaruddin, dan mantan Dankor Brimob Irjen Murad Ismail (Maluku). Meskipun, ketiganya kemudian mundur dari Polri.
Tak hanya itu, Bambang juga meminta kepada Idham untuk lebih selektif memilih perwira Polri untuk mengisi jabatan penting di Mabes Polri. Tidak mengutamakan gerbong yang sama, tetapi harus perwira berkompeten.
"Tantangan Polri ke depan akan makin berat, makanya harus mencari terobosan terus untuk berbenah," ucap Bambang.
Terakhir, Bambang berharap Idham bisa menghidupkan kembali Tim Saber Pungli. Sebab, tim ini dianggap cukup efektif menindak praktik pungutan liar, terutama di sektor pelayanan masyarakat.
"Saber Pungli makin ke sini, makin kehilangan gaungnya. Bagaimana peran kepolisian sebagai ujung tombak pemberantasan pungli," terang Bambang.
Advertisement
Rekam Jejak dan Pengalaman
Sosok Komjen Idham Azis tak asing lagi di kepolisian. Berbekal pengalaman di bidang reserse dan anti-teror, mengantarkannya menduduki sejumlah jabatan strategis di Polri.
Bersama Tito Karnavian, Idham kala itu menorehkan prestasi melumpuhkan pentolan teroris Dr Azhari di Batu, Jawa Timur pada 2005 silam. Keduanya juga berhasil mengungkap kasus mutilasi tiga gadis kristen di Poso yang menyita perhatian publik.
Dilansir dari berbagai sumber, lulusan Akpol tahun 1988 itu memulai karirnya sebagai Pamapta di Polres Bandung. Dia menduduki beberapa jabatan di Polres Bandung hingga 1999 hingga akhirnya dimutasi sebagai Kanit di Ditreskrimum Polda Metro Jaya dengan pangkat mayor atau kompol.
Sejak itu, Idham beberapa kali menduduki jabatan di bidang reserse. Pada September 2004, Idham sempat menduduki jabatan Wakapolres Metro Jakarta Barat selama sebulan sebelum akhirnya dimutasi menjadi Inspektur Bidang Operasi di Polda Sulawesi Tengah.
Pria kelahiran Kendari, Sulawesi Tenggara pada 30 Januari 1963 itu kemudian memulai karirnya di Densus 88 Anti-teror pada Juni 2005 dengan jabatan sebagai Kanit Pemeriksaan Subden Investigasi.
Idham bersama Tito yang kala itu sama-sama masih berpangkat AKBP berhasil melumpuhkan otak bom Bali Dr Azahari pada 9 November 2005. Sehari setelahnya, Idham diperintahkan ke Poso mendampingi Tito menuntaskan kasus mutilasi tiga orang remaja perempuan.
Setelah menduduki sejumlah jabatan di Densus 88 Anti-teror, Idham kemudian dimutasi sebagai Kapolres Metro Jakarta Barat pada akhir 2008. Setahun kemudian digeser menjadi Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya.
Pada September 2010, Idham didapuk menjadi Wakil Kepala Densus 88 Anti-teror Polri mendampingi Tito. Jabatan itu diemban selama sekitar 2,5 tahun hingga akhirnya dimutasi menjadi Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri sekaligus mendapat promosi pangkat Brigjen atau jenderal bintang satu.
Kemampuannya di bidang terorisme membuat Idham dipercaya sebagai Kapolda Sulawesi Tengah pada Oktober 2014. Ketika itu, Sulteng merupakan wilayah yang rawan dengan kelompok sipil bersenjata.
Dia kemudian ditarik kembali ke Mabes Polri dengan menjabat sebagai Inspektur Wilayah II Itwasum Polri pada Februari 2016. Belum setahun, dia kemudian dipromosikan sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri pada September 2016 sekaligus naik pangkat menjadi Irjen.
Setahun kemudian dia dipercaya menjadi Kapolda Metro Jaya menggantikan M Iriawan. Kini dia ditunjuk sebagai Kabareskrim Polri menggantikan Komjen Arief Sulistyanto yang dimutasi menjadi Kalemdiklat Polri.
Selain sukses menangani kasus bom Bali II dan mutilasi tiga siswi di Poso, Idham juga terlibat dalam operasi-operasi skala besar. Seperti Operasi Anti-Teror Bareskrim Polri di Poso pada 2005-2007, Operasi Camar Maleo pada 2014-2016, dan Operasi Tinombala pada 2016.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo menegaskan, Polri mendukung penuh Idham Azis sebagai pengganti Tito menjadi Kapolri. Terlebih, dipilihnya Idham Azis sebagai kapolri sudah menjadi keputusan presiden.
"Ya tentunya kita selalu mendukung apa yang sudah menjadi keputusan presiden khususnya Pak Kabareksrim sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia," kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Rabu 23 Oktober 2019.
Menurut Dedi, seluruh personel Polri mulai dari tingkat Polres hingga Mabes Polri mendukung Idham Aziz menjadi Kapolri.
"Semua polri, jajaran mulai tingkat polres, polda, mabes polri mendukung sepenuhnya penunjukan Pak Idham Azis sebagai calon kapolri," tegas dia.
Sedangkan, posisi kapolri yang ditinggal Tito Karnavian akan diisi oleh Komjen Ari Dono Sukmanto sebagai Pelaksana Harian Kapolri.
"Itu hak prerogatif presiden. Jadi pengangkatan menteri, kapolri, panglima TNI. Semuanya hak prerogatif presiden. Jadi tidak ada istilah kekosongan, sambil menunggu pelantikan Pak Wakapolri melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai kapolri," ucap Dedi.
Meski harus menjalani berbagai proses sebelum resmi menjadi kapolri, gebrakan Idham patut ditunggu. Kebijakannya nanti akan menentukan nasib Polri di massa depan. Tetapi yang terpenting, Polri harus mampu menjadi pelindung, pengayom, dan pelayan semua masyarakat, bukan masyarakat tertentu saja.