Liputan6.com, Jakarta - Laporan Ease of Doing Business 2020 Bank Dunia menyebut ada 5 negara Asia Timur dan Pasifik yang berada di antara 25 negara dengan pencapaian tertinggi secara global.
Mereka adalah Singapura (ke-2), Hong Kong China (ke-3), Malaysia (ke-12), Taiwan (ke-15) dan Thailand (ke-21). Adapun Tiongkok adalah salah satu negara yang masuk 10 teratas dalam melakukan perbaikan selama 2 tahun berturut-turut.
"Kemajuan berkelanjutan adalah kunci untuk meningkatkan iklim usaha domestik. Dorongan reformasi di kawasan Asia Timur dan Pasifik terus berlanjut, dengan perbaikan signifikan yang dilakukan oleh beberapa negara, seperti Tiongkok," ungkap Manager of the World Bank's Global Indicators Group, Jumat (25/10/2019).
Untuk perbaikan reformasi iklim usaha, China membantu perusahaan kecil dan menengah mengakses pasar internasional dengan menerapkan deklarasi kargo di muka, meningkatkan infrastruktur pelabuhan, mengoptimalkan administrasi bea cukai dan mempublikasikan jadwal biaya.
Baca Juga
Advertisement
Selain itu, konstruksi di Tiongkok juga sekarang lebih aman karena persyaratan yang lebih ketat bagi para profesional yang bertanggungjawab melakukan inspeksi teknis.
Di sisi lain, China juga menyederhanakan persyaratan untuk konstruksi berisiko rendah dan menjadikan proses lebih efisien untuk mendapatkan sambungan air dan drainase, mengurangi waktu tunggu untuk semua izin wajib sebanyak 44 hari.
Adapun secara keseluruhan, ekonomi kawasan memfokuskan upaya reformasi pada peningkatan di bidang izin konstruksi dan memulai usaha dengan memberlakukan masing-masing tujuh dan lima reformasi.
Kendati demikian, menurut studi Doing Business 2020 dari Grup Bank Dunia memang melaporkan laju reformasi iklim usaha secara keseluruhan tengah mengalami perlambatan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Asia Timur dan Pasifik Melambat
Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik melambat dari 6,3 persen pada 2018 menjadi 5,8 persen pada 2019. Perlambatan ini juga akan berlanjut menjadi 5,7 persen pada 2020 dan 5,6 persen pada 2021.
Menurut laporan Weathering Growing Risk (laporan East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2019), melemahnya permintaan global dan meningkatkan tensi perang dagang AS dengan China menyebabkan penurunan ekspor dan pertumbuhan investasi di negara berkembang.
"Ketika perusahaan mencari cara menghindari tarif (impor), akan sulit bagi negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik untuk menggantikan peran Tiongkok dalam rantai produksi global dalam jangka pendek karena infrastruktur yang belum memadai dan skala produksi yang kecil," ujar Andrew Mason, Ekonom Utama Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik dalam telekonferensi dari Bank Dunia Bangkok, Kamis (10/10/2019).
Di Indonesia sendiri, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan melambat dari 5,2 persen pada 2018 menjadi 5,0 persen pada 2019, namun meningkat menjadi 5,1 persen pada 2020 dan 5,2 persen pada 2021.
Sementara, pertumbuhan konsumsi dilaporkan stabil meski lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan di sektor pariwisata, real estate dan ekstraktif juga stabil untuk negara-negara yang lebih kecil di kawasan ini.
Kemudian di beberapa negara, tingkat utang yang tinggi juga turut berpengaruh terhadap kebijakan. Perubahan yang mendadak berdampak pada meningkatnya biaya pinjaman yang akhirnya menekan pertumbuhan kredit dan investasi.
Advertisement