Liputan6.com, Salatiga - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret Surakarta, Agus Riewanto, menyebutkan ada tiga langkah konstitusional atas UU No. 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan korupsi (UU KPK) yaitu, executive/legislative review, penerbitan Perppu oleh Presiden, dan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Tiga langkah konstitusional ini sah-sah saja diambil. Jika menempuh langkah judicial review, maka ada dua argumen mendasar, yaitu uji secara formil dan materil,” jelasnya dalam diskusi bertajuk 'Langkah Konstitusional Pasca-Permberlakuan UU No.19 Tahun 2019 tentang KPK', di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Senin 21 Oktober 2019.
Baca Juga
Advertisement
Dalam kesempatan yang sama, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Semarang, Muhammad Junaidi mengatakan bahwa saat ini langkah konstitusional yang paling tepat dan efektif untuk diambil adalah judicial review. Perihal mengajukan gugatan melalui JR merupakan hak konstitusional setiap warga negara dan dijamin oleh konstitusi.
"Sebagai kaum intelektual, mahasiswa harusnya berperan menempuh jalur konstitusional seperti JR ini guna menyuarakan keberatannya terhadap UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK. Bukan malah demonstrasi di jalan yang berpotensi ditunggangi ataupun diboncengi," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Direktur PSHTK UKSW Umbu Rauta menggambarkan tahapan-tahapan pembentukan undang-undang, di antaranya; perencanaan, pengusulan, pembahasan (persetujuan), pengesahan, pengundangan.
“Di antara ketiga opsi langkah konstitusional tersebut, langkah yang elok sebagai wujud koreksi publik terhadap tindakan legislator (DPR dan Presiden) yaitu mengajukan judicial review terhadap UU No 19 tahun 2019 ke Mahkamah Konstitusi," tegas Umbu.
Umbu menjelaskan bahwa lebih baik apabila pengujian UU tersebut ke MK lebih diarahkan pada pengujian formil, artinya menguji proses pembentukan UU No. 19 tahun 2019 telah sesuai atau tidak dengan prosedur pembentukan UU.
"Manakala langkah pengujian formil dikabulkan oleh MK, maka seluruh bangunan UU No. 19 Tahun 2019 dicabut sehingga akan kembali ke materi yang diatur dalam UU No 30 Tahun 2002," jelasnya.
Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas Hukum UKSW Jonathan menyampaikan bahwa diskusi ilmiah ini bertujuan untuk merespon adanya problematika dan kontroversi pasca pemberlakuan UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK.
“Harapan kami dari diskusi ini semoga dapat memfasilitasi keresahan-keresahan yang tampak di kalangan mahasiswa/mahasiswi serta masyarakat pada umumnya. Melalui diskusi ini mahasiswa akan memahami peran intelektualitasnya, bukan hanya dengan cara turun ke jalan melainkan juga melalui pendekatan-pendekatan akademis," ujarnya.