Tangan Cedera Akibat Memasak, Chef Irlandia Tuntut Restoran Tempat Kerjanya

Seorang chef mengatakan pihak restoran mempekerjakannya terlalu berat sehingga menyebabkan ligamen pergelangan tangannya sobek.

oleh Putu Elmira diperbarui 27 Okt 2019, 22:03 WIB
Ilustrasi pastry chef. (dok. unsplash/Novi Thedora)

Liputan6.com, Jakarta - Setiap pekerjaan pasti memiliki risikonya masing-masing, termasuk koki. Beberapa risiko yang mungkin dialaminya adalah teriris pisau, tersembur minyak goreng, bahkan nyeri sendi terutama daerah tangan.

Tapi, baru-baru ini ada seorang chef asal Letterkenny, Irlandia yang menuntut restoran tempat kerjanya yaitu restoran The Fat Duck. Dia mengatakan bahwa restoran tersebut telah menyebabkan dirinya mengalami cedera pergelangan tangan yang parah.

Dilansir dari Independent, 26 Oktober 2019, Sharon Anderson adalah seorang chef berusia 28 tahun yang pernah bekerja di restoran terbaik dunia pada 2015 itu pada Juni 2014 hingga November 2015. Namun sekarang, dia menuntut The Fat Duck hingga 200 ribu euro atau setara dengan Rp3,1 miliar sebagai pertanggungjawaban dari sakit yang dia alami.

Sharon merasa bahwa restoran yang terletak di Bray, Berkshire, Inggris ini memberikan pekerjaan terlalu berat.  Sebagai seorang chef di bidang kue dan makanan manis lainnya, dia harus membuat ribuan kartu berbahan cokelat, memasukkan 400 permen dalam kantong kecil menggunakan pinset dan membuat ratusan permen anggur wiski.

Akibatnya, Sharon mengalami repetitive strain injury (RSI) atau cidera ketegangan berulang pada pergelangan tangannya. Dia merasa bahwa penyakitnya ini disebabkan oleh pekerjaan yang dilakukannya terlalu cepat, sulit dan terus berulang. Hal tersebut juga membuat dia merasa depresi dan gelisah. Dia pun berhenti dari pekerjaannya tersebut.

Sharon menjelaskan bahwa dia bisa menghabiskan empat jam dari pukul 07.00, hanya untuk memasukkan manisan ke kantong plastik satu per satu. Lalu, pada pukul 11.30 hingga 16.00 dia akan membuat kartu berbahan cokelat yang menggunakan cetakan logam dan plastik dengan berat lebih dari satu kilogram. Dia dituntut untuk membuat 180 cokelat per hari.

Pada Januari 2015, dia dipindahkan ke Melbourne, Australia dan dijanjikan sistem kerja yang baru. Namun, ternyata tak ada yang berubah baik di Inggris atau Australia. Bahkan, dia merasa pekerjaannya lebih sulit dan menyebabkan sakitnya semakin parah.

"Per 23 Juni 2015, rasa sakitnya semakin signifikan dan dia pergi ke fisioterapis. Hasilnya, rasa sakit yang dia rasakan didiagnosa berasal dari pekerjaannya yang dilakukan dalam waktu yang lama dan terus berulang," jelas Charles Robertshaw, pengacara Sharon Anderson.

Saat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, ditemukan bahwa ligamen pergelangan tangan kirinya sudah sobek.

Menggunakan rekam jejak medis yang ada, Sharon dan pengacaranya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi London. Secara garis besar, tuntutannya berisi The Fat Duck memaksa kokinya untuk mempersiapkan makanan dengan tekanan yang besar, dan membutuhkan ketangkasan manual.

* Dapatkan pulsa gratis senilai Rp10 juta dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Dilanjutkan Setelah Data Lengkap

Ilustrasi dokumen. (dok. unsplash/Novi Thedora)

Meskipun kejadiannya sudah terjadi pada empat tahun lalu, Sharon masih kerap mengalami rasa sakit di pergelangan tangan saat melakukan aktivitas ringan seperti menyetir dan memasak.

Namun, karena kejadiannya sudah lama, pihak pengadilan membutuhkan pengecekan ulang pada kondisi kesehatan Sharon. Hakim John Leslie mengatakan pada pengecekan lanjutan dibutuhkan untuk mempelajari kondisi cedera yang sebenarnya, sekaligus memvalidasi tuntutan.

Pihak restoran The Fat Duck juga menyangkal tuntutan yang dilimpahkan ke mereeka. Mereka mengatakan bahwa pekerjaan yang diberikan merupakan standar yang umum, dan dipraktikkan pada restoran mewah lainnya.

Pengacara The Fat Duck mengatakan bahwa semuanya sudah berdasar pada standar masakan haute (mewah) di seluruh dunia. Standar tersebut dipercayai tidak akan merugikan dan menyebabkan gangguan pada tubuh bagian atas. Terlebih, tuntutan yang dilakukan dirasa sudah terlambat karena kejadiannya sudah lama.

Setelah melihat situasi yang ada, pengadilan tinggi memutuskan untuk melanjutkan kasus ini pada 2020 mendatang. (Novi Thedora)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya