Liputan6.com, Jakarta - Setiap 28 Oktober, Indonesia merayakan Hari Sumpah Pemuda. Pada 2019, Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-91. Peringatan Hari Sumpah Pemuda ini bertema Bersatu Kita Maju pada tahun ini.
Peringatan Hari Sumpah Pemuda merupakan tonggak kesadaran untuk bersatu dalam Tanah Air, Bangsa dan Bahasa. Tak hanya itu, Hari Sumpah Pemuda juga menjadi awal perjuangan untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
Mengutip berbagai sumber, peringatan Sumpah Pemuda ini diawali pada Kongres Pemuda I pada 30 April-2 Mei 1926. Akan tetapi, saat itu rasa persatuan dan kesatuan belum terasa. Kemudian Kongres Pemuda kembali diselenggarakan pada 1928. Kongres Pemuda II digelar pada 27-28 Oktober 2018.
Baca Juga
Advertisement
Pada kongres tersebut, kepanitiaan Kongres Pemuda II dipimpin oleh Sugondo Djojopuspito dari PPPI (ketua), Djoko Marsaid dari Jong Java (wakil ketua), Mohammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond (sekretaris) dan Amir Sjarifudin dari Jong Batak. Pada kongres ini pula terasa rasa persatuan dan nasionalisme.
Pada kongres itu pula menghasilkan keputusan para pemuda berikrar bertumpah darah satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, Bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Lagu Indonesia Raya pun diperdengarkan untuk pertama kalinya di kongres pemuda tersebut. Lagu ini dibawakan langsung oleh penciptanya WR Soepratman dengan menggunakan biola.
Meski ikrar sumpah pemuda sudah berusia hampir satu abad, tampaknya ikrar tersebut masih tetap berlaku hingga kini. Memegang persatuan dan kesatuan merupakan hal sangat penting bagi Indonesia. Generasi muda Indonesia pun diharapkan dapat terus memegang persatuan dan kesatuan tersebut.
Selain itu, menurut Dosen Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, Margaretha P.G, pemuda Indonesia mesti gigih, gesit dan mengambil peran dalam kehidupan berbangsa.
Margaretha menuturkan, ada sejumlah peran yang dapat dilakukan oleh pemuda Indonesia. Pertama, merawat keberagaman. Ini mengingat dunia makin tanpa batas. Ia menambahkan, nasionalisme sempit apalagi sikap primordial berdasarkan suku, agama sangat berlawanan dengan keadaan dan tuntutan zaman global seperti sekarang.
"Karena yang tidak bisa bersama dalam keberagaman akan ketinggalan. Ini tantangan bagaimana keahlian merawat keragaman. Ini sangat penting bagi Indonesia karena anak muda Indonesia juga majemuk,” ujar Margaretha saat dihubungi Liputan6.com, Senin (28/10/2019).
Margaretha menuturkan, untuk merawat keragaman tersebut juga butuh peran dari lingkungan terdekat seperti keluarga dan sosial. Ia mencontohkan lewat mexo system. Sistem tersebut mempengaruhi seseorang dari lingkungan dan nilai-nilai yang dipegang. Misalkan masyarakat Jakarta dan pedesaan akan berbeda. Kalau masyarakat Jakarta yang termasuk perkotaan lebih cuek. Sedangkan masyarakat pedeaan lebih memperhatikan. Selalin itu juga lewat exo system dari kebijakan suatu negara.
"Ini dipengaruhi bagaimana seseorang dibesarkan, informasi sosial yang didapat seperti apa. dan juga dipengaruhi exo system bagaimana kebijakan negara," kata dia.
Lebih lanjut ia menuturkan, tantangan merawat keragaman itu tidak hanya dialami Indonesia tetapi juga negara lain. Untuk melahirkan generasi muda yang mampu menerima dan menghargai perbedaan, Margareta menuturkan, bisa diajarkan sejak dini. Orangtua dapat mengajarkan nilai-nilai tersebut sesuai dengan perkembangan anak.
Kedua, generasi muda juga perlu mengembangkan keahliaan sesuai dengan revolusi teknologi abad ini. Ini karena ada pekerjaan yang punah karena akan digantikan oleh mesin dan komputer. Ia mencontohkan akuntansi, komputasi angka dan neraca, kalau fungsi ketepatan, ketelitian dan kejujuran, komputer akan lebih mampu mengerjakannya dari pada manusia.
"Manusia muda harus mengembangkan dirinya agar punya kemampuan zaman ini. Skill manusiawi yang juga dibutuhkan pada saat ini. Misalkan, akuntan yang bukan hanya kuat di hardskill tapi juga punya softskill kemampuan komunikasi dan orientasi pelayanan tinggi, sehingga bisa memberikan layanan terbaik dan humanis,” tutur dia.
Margaretha menuturkan, kalau hanya bergantung pada hardskill maka komputer bisa lebih hebat. “Cari yang tidak bisa dilakukan komputer agar manusia bisa menempatkan dirinya dalam bidang karya ini,” ujar dia.
*** Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Pelajari Bahasa Revolusi Industri 4.0
Ketiga, menurut Margaretha mempelajari bahasa-bahasa revolusi industri 4.0. Hal itu antara lain bahasa coding dan teknologi digital, ia menilai, ini tuntutan saat ini karena semua berhubungan dengan digital. Margaretha mengatakan, seseorang belajar coding agar tidak hanya jago pemakai tapi juga pembuat teknologi digital.
Selain itu, bahasa internasional seperti Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin. "Jangan sampai pintar tapi hanya jago kandang,” ujar dia.
Lalu bahasa data. "Banyak bahasa data disajikan zaman ini. Lalu apa artinya? Maka perlu banyak mempelajari ilmu tentang data science dan statistik,” kata dia.
Keempat, merawat kemanusiaan. Margaretha menuturkan, merawat kemanusiaan dengan berpikir kritis sehingga perlu banyak baca dan berdiskusi. Hal ini agar tidak mudah dibohongi dan dikendalikan data bohong.
Kemudian humanis. Hal ini yang membedakan manusia dengan mesin. Oleh karena itu, generasi muda perlu dilengkapi dengan wawasan dari seni seperti seni, sastra, filsafat, psikologi, ilmu alam dan sosial.”Ini ilmu yang membantu memanusiakan manusia,” kata dia.
Lalu mengolah rasa dan karsa agar bisa menjadi manusia yang bisa berkontribusi ke masyarakat secara humanis, kreatif, sosial hingga spiritual.
Advertisement