Liputan6.com, Jakarta - Kerja lembur atau melebihkan jam kerja dari batas mungkin bisa menguntungkan jika berbicara tentang masalah uang. Tapi, kelelahan fisik mungkin harus menjadi dampaknya. Menurut hasil studi terbaru dari Sungkyunkwan University School of Medicine, Korea Selatan, kerja lebih dari 52 jam dalam seminggu akan meningkatkan risiko kebotakan.
Meskipun dari standar yang ada, kebanyakan menerapkan kontrak untuk kerja 40 jam seminggu. Tapi keluar kantor tepat pada pukul 17.00 tampaknya sulit dilakukan beberapa orang.
Baca Juga
Advertisement
Melansir dari Mirror, 28 Oktober 2019, para peneliti mengaitkan jam kerja dan kerontokan rambut dengan menguji 13 ribu pekerja laki-laki di Korea Selatan.
Selama empat tahun penelitian, peneliti menggunakan responden laki-laki dari usia 20 hingga 59 tahun. Mereka menemukan bahwa stres yang diakibatkan oleh kerja lembur dapat memengaruhi hormon hingga berpengaruh pada kulit kepala dan menghalangi tumbuhnya folikel rambut. Pada penelitian sebelumnya, stres juga bisa menyebabkan sistem imun menyerang folikel rambut.
Dilaporkan, stres juga menyebabkan katagen. Melansir dari laman Ikatan Dokter Anak Indonesia, katagen adalah fase peralihan rambut sebelum menjadi rambut mati. Bila hal ini terus terjadi, rambut bisa berhenti tumbuh dan menyebabkan kebotakan.
"Hasil dari penelitian ini mendemonstrasikan bahwa kerja dalam durasi yang lama itu memengaruhi secara signifikan dengan meningkatnya alopesia areata (kerontokan rambut secara tiba-tiba karena stres) di kalangan pekerja pria," ujar Son Kyung Hun, kepala penelitian ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Butuh Intervensi
Para peneliti mengelompokkan responden dari durasi mereka bekerja, stasus pernikahan, pendapatan hingga kebiasaan merokok. Lalu, ditemukan bahwa kebiasaan-kebiasaan tersebut juga berpengaruh cukup signifikan.
Melihat hasil yang ada, para peneliti menyarankan para pekerja untuk membatasi waktu kerjanya dan kebiasaanya. Tidak hanya karena menyebabkan kebotakan, stres juga bisa memberikan efek negatif lainnya bagi kesehatan karena mengubah hormon tubuh lainnya.
"Campur tangan preventif yang didukung oleh banyak pihak untuk mempromosikan jam kerja yang masuk akal dan sesuai dibutuhkan di kalangan masyarakat kita," tambah Son.
Meskipun tidak memasukkan pekerja wanita sebagai respondennya, para peneliti menambahkan bahwa sudah banyak penelitian serupa tentang bahaya stres terhadap rambut. Bahkan, penelitian pada tikus percobaan juga didapatkan hasil yang sama.
Karenanya, mereka meminta pihak pemerintah bagian legislatif untuk mulai memperhitungkan dan memperketat pendekatan terhadap jumlah jam kerja yang boleh dilakukan. (Novi Thedora)
Advertisement