Produk Busa Indonesia Tembus Industri Manufaktur Jepang

Dalam dua tahun terakhir tren penggunaan kasur busa semakin mengemuka menggeser produk kasur pegas (springbed).

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Okt 2019, 11:28 WIB
Pekerja menyiapkan busa yang akan dirakit menjadi kasur di salah satu workshop di Tangerang Selatan, Rabu (9/5). Kasur busa kini mulai banyak permintaan karena tren kasur kapuk mulai ditinggalkan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Dalam dua tahun terakhir tren penggunaan kasur busa semakin mengemuka menggeser produk kasur pegas (springbed). Tidak heran, bila belakangan banyak sekali pemain baik produk luar maupun lokal yang meramaikan pasar kasur busa tanah air.

Alhasil, persaingan bisnis di industri kasur busa pun bertambah ketat. Kendati begitu, potensi pasar kasur busa di Indonesia terbilang masih cukup besar terutama untuk segmen menengah yang didominasi generasi milenial. Hal itu, dibuktikan oleh PT Tri Sukses Jaya (TSJ), distribributor brand kasur Inoac.

“Permintaan kasur busa Inoac yang kami pasarkan, dari waktu ke waktu terus meningkat,” kata Direktur Utama TSJ Arif Sukuandi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (28/10/2019).

Arif optimis produk kasur busa akan diterima pasar dengan baik. Untuk itu, pihaknya menargetkan penjualan pada tahun pertama sebesar Rp 5 miliar per bulan.

 

“Strateginya, kami akan lebih gencar memasarkan produk melalui agent-agent besar di seluruh Indonesia,” tutur Arif.

Presiden Director PT Inoac Polytechno Indonesia Fuziansyah Bachtar mengatakan, busa Inoac tidak hanya digunakan untuk kebutuhan material spring bed, tapi juga telah banyak digunakan bagi kebutuhan material jok mobil untuk manufaktur mobil Jepang.

“Di Indonesia juga termasuk pemain awal yang masuk pasar kasur busa karena sudah berdiri sejak 1970,” ungkapnya.

Sebagai informasi, peluncuran inovasi produk kasur busa Mattress Plus Inoac digelar di JHL Solitaire Hotel Gading Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Jumat pekan lalu.

Untuk lebih mendekatkan diri kepada konsumen yang telah menjadi pelanggan setia Inoac, perseroan juga telah membuka showroom dengan konsep Inoac Living, pada Februari silam, di Gandaria Mall, Jakarta Selatan.

“Kami berharap para konsumen bisa langsung melihat beragam produk Inoac yang sudah dikemas dengan bentuk yang lebih simple modern namun tidak meninggalkan kualitas tinggi yang tentunya sesuai dengan keluarga muda Indonesia,” imbuhnya.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Ini Sebab Produk Tekstil RI Kalah dari Vietnam dan Bangladesh

Pekerja memotong pola di pabrik Garmen,Tangerang, Banten, Selasa (13/10/2015). Industri tekstil di dalam negeri terus menggeliat. Hal ini ditandai aliran investasi yang mencapai Rp 4 triliun (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia kalah jauh dibandingkan dengan Vietnam bahkan Bangladesh. Buktinya, ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia hanya sebesar US$ 11,9 miliar, sedangkan Vietnam sudah tembus US$ 30 miliar.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, ada empat hal yang membuat TPT Indonesia sulit bersaing dengan TPT asal Vietnam dan Bangladesh. Pertama, terkait soal energi dengan tarif listrik industri di Indonesia lebih mahal dibandingkan kedua negara tersebut.

‎"Dari segi makro perbaikan ini perlu energi. Karena energi di Indonesia termahal baik dibandingkan Vietnam maupun Bangladesh. Di Indonesia tarif listrik itu US$ 12 sen pe kWh, Vietnam US$ 7 sen, Bangladesh US$ 5 sen per kWh. India hampir sama dengan kita tapi man power dan pelayanan publik lebih kuat," ujar dia di Kantor API, Jakarta, Rabu (12/4/2017).

Kedua, sistem dan biaya logistik Indonesia yang tidak efisien. Ini lantaran tidak ditunjang dengan pembangunan infrastruktur yang memadai.

"Faktor lain menurunnya logistik. Karena tiap tahun penduduk bertambah, kendaraan bertambah dengan jalan yang tidak bertambah sehingga produk logistiknya menurun. Kalau dari Bandung-Jakarta 3 kali angkut per hari, sekarang 1 kali saja berat. Moda transportasi pakai kereta api juga ada keterbatasan, karena harus full container load, nggak bisa less than container load (LCL)," jelas dia.

Ketiga, soal birokrasi dan perizinan di Indonesia yang tidak berpihak pada sektor industri. Sebut saja masalah waktu bongkar muat di pelabuhan (dwelling time), izin impor bahan baku dan lain-lain.

"Ketiga yang namanya persaingan global, untuk menangkan itu perlu efisiensi di segala bidang, kita sudah tidak efisiensi mesin, manageman, energi. Tapi listrik ada di bumn dan logistik ada di pemerintah. Dwelling time, karantina, prosedur ekspor impor bahan baku kita masih lama‎," kata dia.

Keempat, masalah perjanjian perdagangan Indonesia dengan negara tujuan ekspor seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Saat ini tekstil dan produk tekstil Indonesia dikenakan bea masuk sebesar 10 persen-17 persen. Sementara produk TPT Vietnam dan Bangladesh tidak kenakan bea masuk alias 0 persen.

"Di sini kecepatan menjadi hal utama untuk menangkan persaingan, Indonesi ‎letaknya paling jauh dari pasar AS, Uni Eropa, Jepang, Korea, China, paling dekat Australia, tapi penduduk hanya 15 juta.‎ Ke Uni Eropa dan AS kena 10 persen-17 persen bea masuk, Vietnam dan Bangladesh 0 persen. Kita (Indonesia) dianggap negara maju dengan income US$ 3.800. Karena Indonesia masuk ke G20 jadi dianggap negara maju," ujar dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya