Liputan6.com, Semarang - Lunpia, lumpia atau loenpia dan Semarang adalah dua sisi mata uang. Lepas dari sejarahnya yang menjadi monumen cinta dua etnis dan dua budaya berbeda, oleh-oleh dari bambu muda atau rebung ini banyak mengalami modifikasi juga.
Modifikasi bukan hanya dalam tampilan yang lebih memikat, tapi juga dalam varian rasa. Inilah yang kemudian mendorong praktisi kuliner Supri Harjono untuk mencoba membangkitkan eksistensi orisinalitas loenpia.
"Biar rasa yang ori enggak dilupakan," kata Supri.
Baca Juga
Advertisement
Upaya mengembalikan orisinalitas rasa lunpia itu kemudian diwujudkan dengan membuka gerai di beberapa tempat. Berpusat di Jalan Soegijopranoto 2A Semarang, Supri berupaya mengembangkan sayap dengan menggandeng pusat oleh-oleh artis Baim Wong di Yogyakarta.
Maka, ia mendapat tempat untuk menggelar dagangannya hingga ke Yogya. Upaya ini tak mudah, karena loenpia sudah identik dengan Semarang.
"Setidaknya di Yogya, orang bisa mencicipi dan paham standar cita rasa lidah orang Semarang. Berikutnya, saat ke Semarang bisa memilih mana yang resep orisinil dan mana yang modifikasi," katanya.
Sesungguhnya, modifikasi dalam kuliner itu biasa dan sah. Tapi harus diimbangi dengan upaya menjaga roh dan spirit penciptaan lunpia aslinya. Jika kemudian hanya berorientasi keuntungan, tentu hanya akan dapat keuntungan saja, tapi tanggung jawab edukasi menjadi hilang.
Sejarah Lunpia
Berbekal spirit menjaga orisinalitas rasa itu, Supri mengaku menyiapkan mental untuk tak jadi trendsetter. Apalagi tren wisata milenial lebih banyak mengutamakan kemasan. Untuk hal ini, Supri mengaku bahwa rasa yang orisinal akan memiliki segmen sendiri.
"Enggak papa. Nanti biar semua kebagian, karena tak semua suka dengan yang modifikasi, tapi yang orisinal tetap terjaga. Itu mungkin akan jadi segmen khusus," katanya.
Sejarah lumpia berawal dari kedatangan Tjoa Thay Yoe dari Provinsi Fu Kien, Tiongkok, ke Semarang sekitar akhir tahun 1800. Sebagaimana Tionghoa perantauan, dia ingin mengubah nasib agar lebih mapan secara materi.
Tiba di Semarang, Tjoa mencoba berjualan makanan Cina, yakni sejenis martabak yang diisi rebung dan dicampur daging babi. Makanan itu digulung sebagaimana rollade. Tjoa menyasar segmen konsumen urban dari Tiongkok maupun para peranakan.
Tjoa bersaing dengan Wasi, seorang perempuan Jawa yang berdagang makanan sejenis, tapi berbeda isi. Jika "martabak" buatan Tjoa berisi campuran rebung dan daging babi dan didominasi rasa asin, maka "martabak gulung" buatan Wasi berisi orak-arik, yakni campuran daging ayam, udang dan telur dengan dominasi rasa manis.
Simak video pilihan berikut:
Advertisement
Hasil Kompromi
Sejarawan Semarang, Djawahir Muhammad, menyebutkan persaingan kedua manusia pedagang itu sangat sengit tapi masih dalam koridor persaingan sehat. Pada akhirnya mereka menjadi sahabat dekat.
"Dari persahabatan itu mereka bertukar resep, hingga akhirnya mereka menikah. Sebagai tanda cinta menyatunya dua budaya itu, maka Tjoa dan Wasi kemudian menikah," kata Djawahir.
Setelah menikah pasangan Tjoa-Wasi saling melengkapi. Terciptalah lumpia Semarang yang berbeda dengan loenpia di Fu Kien dan di Jawa.
Resep baru itu menghilangkan semua bahan yang haram, seperti daging babi, minyak babi, dan sejenisnya. Kemudian diganti dengan rebung (khas Cina) yang dicampur dengan udang dan daging ayam (Jawa). Bumbunya juga diubah.
"Kalau loenpia Tjoa asin gurih, loenpia Wasi manis gurih, maka diambil jalan tengah, yakni perpaduan asin, manis, tanpa meninggalkan rasa gurih," kata Djawahir.
Cobalah sesekali menikmati lumpia dengan memperhatikan dan merasakan sensasi historisnya. Persilangan budaya tampak dari isi lumpia. Cara memasak, bentuk, dan nama merupakan ciri hidangan Cina, sedangkan rasa manis dan orak-arik sebagai isi lumpia merupakan ciri khas hidangan Jawa.