Donald Trump Ingin Ambil Minyak Suriah, Potensi Kejahatan Perang Menyeruak

Langkah AS untuk 'mengamankan' ladang minyak Suriah berpotensi masuk dalam definisi kejahatan perang.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 29 Okt 2019, 17:00 WIB
Pasukan AS memantau situasi saat patroli gabungan pasukan Turki di Desa al-Hashisha, Tal Abyad, Suriah, Minggu (8/9/2019). YPG membentuk tulang punggung Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang selama ini menjadi mitra kunci Washington dalam perang melawan ISIS di Suriah. (DELIL SOULEIMAN/AFP)

Liputan6.com, Washington DC - Amerika Serikat meningkatkan kehadiran pasukannya di sekitar ladang minyak di Suriah timur. Washington menyebut hal itu sebagai bagian dari operasi anti-terorisme yang masih berlangsung, meski pemimpin ISIS Abu Bakr al-Baghdadi telah dinyatakan tewas di negara tersebut dalam serbuan operasi khusus pada Minggu 27 Oktober 2019 dini hari.

Kepala Staf Gabungan Militer AS (Panglima) Jenderal Mark Milley mengatakan pada Senin 28 Oktober, pasukan AS akan tetap di Tanf di sepanjang perbatasan Irak-Suriah, dan lebih banyak lagi dikirim ke ladang minyak yang dioperasikan oleh perusahaan energi AS ConocoPhillips di sekitar Deir Ezzor di Suriah timur, demikian seperti dikutip dari the Guardian, Selasa (28/10/2019).

Rekaman video dari wilayah tersebut menunjukkan konvoi militer AS memasuki kembali Suriah, beberapa hari setelah Presiden Donald Trump memerintahkan mereka keluar sebelum invasi Turki.

Dilaporkan ada perubahan keputusan, setelah pejabat Kementerian Pertahanan membujuk presiden bahwa penting untuk melindungi sumber daya minyak Suriah timur.

"Amankan minyak, saya selalu mengatakan itu. Kami telah mengamankan minyak," Trump mengatakan pada konferensi Senin 28 Oktober.

Presiden mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk mengamankan bagian AS dari total produksi minyak Suriah.

"US$ 45 juta per bulan. Kami amankan minyaknya," lanjut Trump.

Keuntungan Ladang Minyak untuk Kurdi Suriah

Sementara itu, Menteri Pertahanan AS Mark Esper mengatakan, upaya 'pengamanan' itu dilakukan demi mencegah ladang minyak jatuh ke tangan pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad yang didukung Rusia.

Di sisi lain, Esper menjelaskan bahwa koalisi AS di Suriah, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang mayoritas Kurdi dan beroposisi dengan rezim Assad, diupayakan mendapatkan keuntungan dari ladang minyak tersebut.

"Kami ingin agar keuntungannya (dari ladang minyak) jatuh ke SDF, untuk membiayai pasukan yang menjaga penjara (simpatisan ISIS) dan untuk pasukan tempur mereka dalam membantu upaya kami (AS) untuk mengalahkan ISIS," kata Esper.

Simak video pilihan berikut:


Berpotensi pada Kejahatan Perang?

Dalam serangan pasukan militer Suriah dilaporkan 14 orang tewas termasuk seorang jurnalis (File / AP / AFP PHOTO)

Namun, langkah AS untuk 'mengamankan' ladang minyak Suriah berpotensi masuk dalam definisi kejahatan perang, ABC News melaporkan.

Menurut hukum perang internasional yang diratifikasi menjadi hukum federal AS, sumber daya alam (termasuk minyak) di sebuah negara adalah milik pemerintah mereka. Merebutnya berarti menjarah --sebuah istilah teknis untuk pencurian selama masa perang yang ilegal menurut hukum tersebut, tulis ABCnews.go.com.

Berdasarkan hal itu, minyak di Suriah otomatis merupakan milik pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad yang saat ini menjabat dan mendapat dukungan dari Rusia.

Jika pasukan atau perusahaan AS mengambil minyak apa pun tanpa izin pemerintah Assad, itu akan dianggap menjarah, menurut para ahli hukum, karena tanah dan sumber dayanya adalah milik presiden Suriah itu --yang tetap merupakan kepala negara de jure, meskipun diguncang perang saudara delapan tahun.

Penjarahan adalah ilegal di bawah hukum internasional, secara eksplisit dilarang oleh Konvensi Jenewa Keempat, yang diratifikasi AS sebagai perjanjian pada tahun 1955. Undang-Undang Kejahatan Perang AS tahun 1996 juga menyebut penjarahan sebagai "pelanggaran berat" dari salah satu Konvensi Jenewa "baik di dalam atau di luar Amerika Serikat."

Kodifikasi ini dibangun di atas banyak larangan hukum dan praktik militer sebelumnya, dari piagam pengadilan Nuremberg yang mendakwa Nazi setelah Perang Dunia II, hingga Konvensi Den Haag 1907 yang pertama kali diusulkan oleh Presiden Theodore Roosevelt, yang berembrio dari Hukum Lieber 1863 (Lieber Code). Disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Abraham Lincoln, Hukum Lieber 1863 mengatur perilaku Union Army Amerika di lapangan selama Perang Saudara Amerika dan melarang "semua penjarahan atau penumpukan sumber daya, bahkan setelah menduduki suatu tempat dengan kekuatan militer."

Pelanggarnya dapat dihukum mati, menurut Hukum Lieber 1863.

Sementara itu, meskipun AS bukan merupakan penandatangan Statuta Roma yang mendirikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada tahun 1998, 122 negara lain dapat mengekstradisi pejabat Amerika jika diminta oleh pengadilan --sesuatu yang masih diperjuangkan pemerintahan Trump demi menghindari investigasi ICC atas dugaan kejahatan perang oleh AS, Taliban dan pasukan lainnya di Afghanistan.

Pasukan demokrasi Suriah dan militer AS melakukan patroli keamanan di Kota Al-Darbasiyah (AFP/Delil Souleiman)

Namun, situasi pelik di mana terjadi perang saudara menahun di Suriah, kehadiran ISIS, dan fakta bahwa wilayah itu menjadi kontestasi proksi internasional, memicu AS untuk mengambil 'inisiatif' terhadap ladang minyak yang bernilai.

Seorang pejabat Kementerian Luar Negeri AS mengatakan, "Sangat penting untuk menjaga hal itu dari tangan ISIS, mengingat sejarah ISIS untuk mengisi bahan bakar dan mendanai kekhalifahannya dengan ladang-ladang minyak itu," ujarnya yang berbicara dalam syarat anonimitas, dikutip dari ABCnews.go.com.

Kebijakan Amerika saat ini adalah menyalurkan keuntungan ladang minyak kepada pasukan Kurdi Suriah SDF --yang notabene merupakan proksi AS untuk melawan ISIS di Suriah, lanjutnya.

"SDF telah mengoperasikan ladang minyak ini selama beberapa waktu dan memiliki pengaturan mereka sendiri dengan berbagai pelaku untuk siapa dijual dan semacamnya," kata pejabat itu.

"Namun kami belum terlalu terlibat dalam hal itu," ujarnya.

ABCnews.go.com melaporkan bahwa sebagian besar minyak itu justru dijual kembali kepada rezim Presiden Assad.

Secara khusus, Trump mengancam akan menggunakan kekuatan militer untuk mempertahankan kendali AS atas ladang-ladang minyak, dengan mengatakan, "Baik kita akan menegosiasikan kesepakatan dengan siapa pun yang mengklaimnya, jika kita pikir itu adil, atau kita akan menghentikannya secara militer dengan sangat cepat."

Namun, pakar hukum perang internasional Emory University School of Law, Laurie Blank mengatakan bahwa bentuk perilaku tersebut merupakan "eksploitasi semasa perang" jelasnya seperti dikutip dari NPR.

Tetapi para ahli mengatakan tidak ada banyak minyak di Suriah saat ini. Faktanya, di saat-saat terbaik, Suriah hanya memproduksi sekitar 380.000 barel minyak berkualitas rendah per hari.

Dan produksi telah turun lebih dari 90% selama perang saudara yang panjang di negara itu. Tahun lalu, Suriah berada di peringkat ke-75 di antara negara-negara di dunia dalam produksi minyak, dengan output harian yang sebanding dengan negara bagian Illinois.

"Minyak Suriah tidak pernah penting bagi pasar dunia karena produksinya sangat kecil," kata pakar energi Daniel Yergin dari IHS Markit. "Tapi itu sangat penting bagi rezim Assad sebelum perang saudara karena itu menghasilkan 25% dari total pendapatan pemerintah," ujarnya seperti dikutip dari NPR.


Tanggapan Rusia: AS Seperti Bandit

Pasukan elite Suriah mendapat pertolongan medis oleh rekannya selama latihan militer yang dipimpin oleh tentara Rusia di sebuah pangkalan militer di Yafour, Suriah, Selasa (24/9/2019). Pasukan elite Suriah mendapat pelatihan pertempuran lapangan. (AP Photo/Alexander Zemlianichenko)

Kementerian Pertahanan Rusia telah mengkritik keputusan Amerika Serikat untuk mengirim kendaraan lapis baja dan pasukan tempur ke Suriah timur untuk melindungi ladang-ladang minyak di sana.

Moskow mengecam langkah itu, menyebut AS sebagai "bandit" dan menegaskan bahwa ladang 'emas hitam' tersebut merupakan milik sekutu yang mereka dukung selama ini, pemerintahan Suriah di bawah Presiden Bashar al-Assad.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Igor Konashenkov mengatakan: "Apa yang dilakukan Washington sekarang, perebutan dan penguasaan ladang minyak di Suriah timur di bawah kendali bersenjatanya, adalah, secara sederhana, menunjukkan sikap mereka sebagai bandit internasional," demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Minggu 27 Oktober.

"Semua deposit hidrokarbon dan mineral lainnya yang terletak di wilayah Suriah bukan milik teroris ISIS, dan bahkan bukan milik 'pembela Amerika dari teroris ISIS,' tetapi secara eksklusif merupakan milik Republik Arab Suriah," tambahnya.

"Penyebab sebenarnya dari tindakan ilegal oleh Amerika Serikat di Suriah ini terletak jauh dari cita-cita yang telah diproklamirkan Washington dan dari slogan-slogan memerangi terorisme," kata pejabat Rusia itu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya