Rugikan Negara, KPPU Minta Pemerintah Atasi Celah Pengenaan Cukai

Sistem tarif cukai rokok yang berbeda-beda akan menjadi celah bagi perusahaan rokok untuk menghindari kewajiban membayar cukai sesuai golongannya.

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Okt 2019, 10:02 WIB
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.010/2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Beleid yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 18 Oktober ini merupakan perubahan kedua atas PMK 146 Tahun 2017. Sebelumnya, perubahan pertama pada PMK 156 Tahun 2018 dinilai sejumlah pihak membuka celah penghindaran pajak yang berpotensi merugikan penerimaan negara.

Sayangnya, poin penyederhanaan struktur tarif cukai rokok tidak kembali dijalankan. Salah satunya melalui penggabungan rokok mesin Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi tiga miliar batang per tahun.

Padahal kebijakan ini dinilai menjadi kunci untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan pabrikan rokok besar asing dengan membayar tarif cukai murah.

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Saragih menilai, kebijakan kenaikan tarif cukai rokok yang masih menerapkan golongan tarif untuk tiap jenis rokok perlu disederhanakan. Sebab, sistem tarif cukai rokok yang berbeda-beda akan menjadi celah bagi perusahaan rokok untuk menghindari kewajiban membayar cukai sesuai golongannya.

Hitung-hitungan KPPU, tarif cukai rokok yang amat beragam itu berpotensi memberikan ruang bagi perusahaan rokok untuk mencari cara agar produksi tahunan tidak mencapai 3 miliar batang pertahun yang berlaku untuk golongan 1 sehingga upaya itu dilakukan agar perusahaan hanya membayar tarif cukai murah yang berlaku untuk golongan 2.

"Dia akan mencari cara untuk turun golongan karena besaran tarif cukainya sangat berbeda dan besar sekali rentangnya," kata Guntur dikutip dari Antara, Rabu (30/10/2019).

Sebelumnya sejumlah kalangan mengungkapkan fakta bahwa penghapusan penyederhanaan struktur cukai rokok termasuk penghapusan rencana penggabungan batasan produksi rokok mesin SKM dan SPM akan menciptakan persaingan yang tidak sehat antara pabrikan besar dan kecil.

Tidak hanya itu, kecurangan pabrikan rokok besar asing menjadi tak terelakkan, pasalnya mereka membayar tarif cukai murah dengan memproduksi rokok di bawah 3 miliar batang per tahun. Akibatnya, potensi penerimaan negara dari cukai rokok tidak akan optimal. Idealnya regulasi cukai rokok dapat menutup celah kebijakan yang merugikan penerimaan negara.

“Saya mulai dengan melihat struktur tarif cukai rokok. Pemerintah sebetulnya melalui PMK 146 2017 hendak menyederhanakan struktur cukai dari 10 layer menjadi ke depan rencananya 5 layer, yang rencananya akan dilaksanakan 2021. Tetapi sayangnya sebelum kebijakan ini dilaksanakan, karena 2019 nggak naik, kemudian dibatalkan, jadi 2019 masih tetap menggunakan 10 layer cukai,” jelas pegiat anti korupsi Danang Widoyoko.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Petani Tolak Kenaikan Cukai Rokok Sebesar 22 Persen

Petani Tembakau (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Petani tembakau menyatakan penolakannya terhadap kenaikan cukai rokok yang ditetapkan pemerintah sebesar 22 persen.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Agus Parmuji mengatakan, para petani merasa keberatan atas kenaikan cukai rokok yang terlalu tinggi yang diumumkan melalui diterbitkannya PMK 152/2019 tentang tarif cukai tembakau.

"Kenaikan cukai dan HJE yang terlalu tinggi ini berdampak langsung pada keberlangsungan dan kesejahteraan petani tembakau kami," tegas Agus Parmuji.

Sementara itu, Sekretaris APTI Agus Setiawan meminta Presiden Jokowi agar melindungi petani tembakau sehingga hajat hidup terjaga, dan tidak ditabrak oleh berbagai regulasi yang mematikan sektor tembakau.

Terbitnya PMK 152/2019 yang ditandatangani Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 19 Oktober 2019, seakan-akan petani tembakau itu anak kecil yang dilimpekne (alih perhatian) dengan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2019 lalu.

"Kami kecewa dengan Ibu Sri Mulyani. Pasalnya, PMK 152/2019 berakibat buruk terhadap kelangsungan petani tembakauli," cetusnya.

Agus Setiawan menegaskan, tembakau saat ini hanya bisa ditampung oleh pabrikan rokok. Pemerintah tidak memiliki teknologi apapun yang mampu membeli tembakau petani.

"Kami panen tembakau hanya pabrikan rokok yang bisa menampung kami. Belum ada teknologi manapun yang sanggup membeli tembakau," tegasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya