Sebutan Sunset pada Industri Tekstil Nasional Rugikan Pengusaha

Per tahun 2018, ekspor tekstil dan apparel Vietnam dan Bangladesh jauh mengalahkan Indonesia.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 30 Okt 2019, 20:14 WIB
Pengunjung memilih pakaian yang dijajakan pedangang di Pasar Tanah Abang, Jakarta. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) Suharno Rusdi mengaku heran dengan narasi yang menyebut jika tekstil sudah masuk kategori industri sunset (meredup). Pandangan demikian dinilai merugikan industri tekstil karena membuat pemerintah dan investor jadi ikutan enggan memperkuat tekstil.

Menurut dia, sebutan jika industri tekstil sudah redup karena ekonom melihat industri tekstil di negara maju. Padahal, industri tekstil di negara seperti Jepang masih hidup, namun mereka membuka pabriknya di luar negeri.

Selain itu, terbukti bahwa negara-negara lain mulai menggenjot tekstil mereka bahkan mulai mengalahkan Indonesia.

"Vietnam itu sunshine. Bangladesh sunrise. China enjoy. Kita kemakan oleh definisi kita," ujar Suharno di diskusi tekstil INDEF, Rabu (30/10/2019) di Jakarta.

"Ini menjadikan investor-investor asing enggan masuk ke sini. Itu sangat berpengaruh sekali," ujarnya.

Tercatat, per tahun 2018 ekspor tekstil dan apparel Vietnam dan Bangladesh jauh mengalahkan Indonesia. Ekspor Indonesia hanya USD 13,2 miliar, sementara Vietnam mencapai USD 39,8 miliar dan Bangladesh USD 67,1 miliar.

Suharno juga berharap pemerintah tidak mengabaikan institusi pendidikan tinggi tekstil. Pasalnya, jumlah pendidikan tinggi tekstil di Indonesia masih kalah banyak dibanding negara-negara lain. Inovasi tekstil di negara lain juga semakin terus maju.

"Amerika saja perguruan tingginya masih ada 100 lebih. Nanti kan tidak hanya baju biasa, ada baju anti peluru, anti radiasi segala macam, sekarang orang renang saja pakai baju enggak tenggelam," tegas Suharno.

Ia pun berharap ada rebranding industri tekstil agar tidak lagi disebut industri sunset, melainkan industri potensial yang punya potensi besar bagi perekonomian negara.

Saran lain yang Suharno sebut untuk memperbaiki industri tekstil adalah restrukturisasi demi menghadapi revolusi industri 4.0, klasterisasi industri agar mendukung green industry dan efisiensi logistik.

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS


Fokus Safeguard Tekstil Jangan di Hulu dan Hilir, Tapi di Tengah

Pengunjung memilih busana muslim di skybridge Tanah Abang, Jakarta.(Liputan6.com/Herman Zakharia)

Pemerintah berencana melakukan safeguard impor tekstil demi mengatasi serbuan produk luar negeri. Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, telah menegaskan aturan safeguard hanya tinggal menunggu tanda tangan Menteri Keuangan.

Merespons kebijakan tersebut, Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) Suharno Rusdi menyebut fokus safeguard paling dibutuhkan bukan di hulu atau hilir, melainkan di tengah-tengah (midstream). Sebab, hilir Indonesia masih bisa ekspor, sementara dari segi bahan baku masih terkait kuat dengan impor cotton dari Amerika Serikat (AS).

"Saya kira yang paling mendesak itu industri kainMidstream. Terpuruk sekali sekarang, kan?" jelas Suharno di diskusi tekstil INDEF, Rabu (30/10/2019).

"Garmen kan sudah bisa ekspor. Kainnya ditolong dulu dong supaya kain kita bisa bersaing," lanjutnya.

Peneliti Indef Esther Sri Astuti juga mendukung penahanan impor, tetapi ia menjelaskan bahwa industri hulu Indonesia masih perlu impor.

"Impor itu direm, jangan terlalu banyak impor, tetapi industri hulunya kan kita masih perlu. Kemudian jangan impor produk yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri, itu kan susah nantinya industri tekstil dalam negeri," ujar Esther.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya