Jejak Kupu-Kupu Malam 'Peunayong' Serambi Makkah

Peunayong digembar-gembor sebagai salah satu kawasan praktik prostitusi di Aceh, di mana faktor penyebab seseorang menjadi PSK di tempat itu sama dengan daerah lainnya.

oleh Rino Abonita diperbarui 01 Nov 2019, 04:00 WIB
Ilustrasi (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Prostitusi sering disebut-sebut sebagai salah satu praktik bisnis tertua di dunia, yang ada dan berkembang seiring zaman. Jejaknya hampir dapat ditelusuri di tiap peradaban, dari Mesir kuno hingga Iberia.

Salah satu narasinya dapat dilihat dalam 'Love For Sale: A World History of Prostitution' yang ditulis Nils Johan Ringdal. Buku tersebut menyinggung adanya praktik prostitusi sebagai dalih persembahan untuk kuil.

Untuk Indonesia, Terence H Hull dkk mengulasnya dalam 'Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan perkembangannya'. Dari praktik pergundikan masa kerajaaan hingga prostitusi yang lebih terorganisasi pada masa kolonial, diulas di dalamnya.

Buku-buku tersebut tentunya tidak menjawab bagaimana prostitusi dengan variannya dapat dihilangkan dari muka bumi. Fakta-fakta yang terungkap di dalamnya hanya menjadi markah liyan bahwa prostitusi tidak pernah jauh dari praktik masyarakat patriarki.

Memberatkan kaum perempuan sebagai biang 'dosa' dari segala praktik 'haram' itu bisa menjadi sebuah kesalahan fatal. Selain mutualisme, kelanggengan prostitusi tidak pernah jauh dari kepentingan bisnis para 'bos besar' di baliknya.

Postitusi adalah perbudakan yang melembaga dan dikontrol. Objek eksploitasinya ialah kaum hawa yang kebetulan terjebak kondisi 'nrima', jika tidak dikatakan terpaksa.

Bahwa menjadi pekerja seks komersial (PSK) karena faktor gaya hidup yang glamor memang ada. Namun, setiap orang lagi-lagi akan dihadapkan pada pelbagai faktor yang lebih kompleks karena alasan tersebut terlalu naif untuk sebuah pembenaran.


Selapis Tentang Peunayong

Ilustrasi (Liputan6.com/Rino Abonita)

"Keluargaku tidak tahu tentang pekerjaanku, yang mereka tahu aku seorang pelayan di kafe, itu tidak masalah bagi mereka."

"Uang yang aku hasilkan aku pakai untuk diriku sendiri, untuk memenuhi kebutuhan dan terkadang untuk membelikan baju lebaran buat adikku."

Pernyataan di atas dituturkan wanita tunasusila berinisial DN, yang beroperasi di kawasan Desa Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh. DN diwawancarai oleh Cut Putri Widya Fonna untuk jurnalnya 'Gaya Hidup PSK di Negeri Syariat Kota Banda Aceh', pada September 2016.

Disebutkan di dalam jurnal tersebut, Peunayong merupakan ladang di mana praktik prostitusi tumbuh subur. Mengingat Aceh kerap dirupakan sebagai selasar kota 'suci' Makkah, hal ini tentu mengejutkan mereka yang beranggapan bahwa Makkah pada abad ini lepas dari praktik serupa.

"Hampir sebagian besar perempuan di sini (Peunayong) adalah PSK, tempat tinggal saya itu, kan, rata-rata kerjanya seperti saya semua," demikian pengakuan PSK berinisial AN.

Wakil Wali Kota Banda Aceh, Illiza sa’addin Djamal pun pernah menyinggung nama Peunayong sebagai salah satu tempat transaksi seksual pada 2013. Dua hari sebelumnya, tim penertiban di Banda Aceh mengamankan 20 orang diduga PSK berumur 18-25 tahun, termasuk seorang muncikari.

Kepala Desa Peunayong, T Sabri Harun tidak menampik jika desanya itu memang kerap dilabeli sebagai kawasan lokalisasi. Citra buruk tersebut tetap menempel kendati desanya terus berbenah.

"Melalui kerja sama semua pihak, sudah terbataslah pergerakan-pergerakan, prostitusinya. Walaupun, tidak secara instan kita menghilangkan keseluruhannya," ujar Sabri, kepada Liputan6.com, Kamis malam (31/10/2019).

Menurut Sabri, stempel 'miring' yang disematkan kepada desanya sudah lama ada. Ia berharap, terutama kepada media, agar membantu mereparasi konotasi negatif tersebut.

Peunayong saat ini telah bersulih rupa menjadi desa keberagaman menurutnya. Kawasan ini dikenal sebagai 'Chinatown'-nya Aceh, karena gerak perniagaan dan kehidupan etnis Tionghoa dari berbagai latar begitu pesat di tempat itu.

"Peunayong kampung pluralis. Kampung kerukunan. Kita sepakat, semua antartokoh agama, semua agama tidak berkeinginan melakukan hal-hal amoral. Kami sudah komitmen. Kiranya jangan memberi cap Peunayong seperti dulu," ujar Sabri.

Pengawasan dan pemantauan tempat-tempat yang disinyalir sebagai tempat praktik prostitusi pun terus dilakukan. Termasuk menyisir berbagai hotel dan penginapan jenis lain yang diduga menjadi tempat transaksi seksual, di mana berbagai operasi itu kerap berakhir di panggung eksekusi alias cambuk.

Khusus Peunayong, pergerakan praktik prostitusi yang dulu sempat digembar-gembor diyakini telah dipersempit. Kepala Satuan Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah, Kota Banda Aceh, Muhammad Hidayat, yang mengatakan itu.

"Kalau tempat khusus Peunayong tidak ada. Warga Peunayong pun sangat proaktif, jika ada gerak-gerik mencurigakan, langsung dilaporkan," ujar Hidayat kepada Liputan6.com, Kamis malam.

Berbagai operasi yang dilakukan di sejumlah kawasan di Banda Aceh, termasuk di Peunayong, hingga hari ini telah berhasil mengungkap berbagai hal. Dari modus yang digunakan, latar para pelaku, germo yang mengambil keuntungan, hingga adanya kalangan pejabat yang menjadi konsumen.

Jika kembali pada aksioma prostitusi tidak pernah berdiri sendiri, tetapi, inheren dengan kondisi sosiologis, maka, merombak sistem secara komprehensif tanpa tebang pilih agaknya lebih baik daripada memberi efek jera. Ekualitas dari sisi kesejahteraan, misalnya, bisa membuat orang sadar bahwa bekerja 'secara normal' akan lebih bermartabat ketimbang menistakan diri.

Seperti yang ditulis Fonna di dalam jurnalnya. Lima PSK yang berhasil diwawancarainya tetap tidak beranjak dari alasan 'faktor ekonomi' sebagai jawaban utama mengapa mereka menjadi kupu-kupu malam.

"Saya hanya lulusan SMP, lagipula saya tidak punya keterampilan apa-apa, sulit kalau mau cari kerja," keluh MW, mengutip jurnal Fonna yang bertengger di antara jurnal ilmiah mahasiswa FISIP Unsyiah Volume 2, Nomor 3, 2017.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya