Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) membeberkan evaluasi terhadap operator penerbangan Lion Air terkait kecelakaan pesawat JT-610.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara (Dirjen Hubud) Polana B. Pramesti menyatakan, ada beberapa poin yang ditekankan dalam evaluasi ini.
Advertisement
"Pertama, waktu pengkinian dan sinkronisasi manual (SOP) di Lion Air. Lalu, mengadakan training simulator terhadap pilot sebelum mengoperasikan pesawat. Kemudian, memastikan hazard report yang disampaikan personil penerbangan benar-benar diakses langsung pejabat yang bertanggung jawab," ungkap Polana dalam konferensi pers di Tangerang, Jumat (01/11/2019).
Kemudian, Ditjen Hubud juga akan melakukan kegiatan surveillance (pengawasan) pada area training dan kegiatan operasional di lingkup airworthiness dan flight operations.
Ditjen Hubud memberi waktu hingga 3 bulan bagi Lion Air untuk dapat mengimplementasikan rekomendasi yang diberikan, atau hingga Januari 2020.
"Dalam waktu 3 bulan operator penerbangan harus mengimplementasikan rekomendasi yang diberikan," tutur Polana.
Seperti yang diketahui, 29 Oktober 2019 kemarin Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengumumkan hasil investigasi terkait jatuhnya pesawat Lion Air JT-610. Ditjen Hubud pun telah menerima hasil tersebut.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Suasana Mencekam Kokpit Lion Air JT 610 Sebelum Jatuh
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis hasil investigasi kecelakaan Boeing 737 Max registrasi PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610 milik Lion Air yang jatuh di Laut Jawa. KNKT menemukan ada sembilan faktor (contributing factors) yang menyebabkan menjadi penyebab kecelakaan pada pesawat nahas tersebut.
Kepala Subkomite Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo mengatakan, lewat investigasi tersebut, juga terungkap pula suasana kokpit dan upaya pilot serta co-pilot di pada detik-detik sebelum jatuhnya pesawat.
Dia menggambarkan bahwa saat itu, pilot dan co-pilot kesulitan dalam mengendalikan pesawat. Hal tersebut, turut berkontribusi sebagai penyebab kecelakaan.
Kesulitan koordinasi dan pengendalian pesawat disebabkan oleh situasi sulit, dengan rangkaian peringatan berulang aktifasi MCAS, dan padatnya komunikasi dengan ATC.
"Mengapa tidak bisa dikelola dengan baik, karena situasinya memang sulit saat itu," kata dia, di Kantor KNKT, Jakarta, Jumat (25/10).
Situasi tersebut, lanjut dia kemudian berdampak pada komunikasi antara pilot dan co-pilot. Hal tersebut berimbas pada kerja sama keduanya dan beban kerja yang tidak bisa dikelola dengan baik.
"Kapten saat terbang tiba-tiba terjadi masalah, memberikan instruksi membaca buku prosedur. Co-pilot cari di buku panduan," ungkap dia.
Alhasil, pengendalian pesawat dilakukan seorang diri. Padahal, posisi pesawat belum sepenuhnya stabil. Di sisi lain, co-pilot masih membaca buku panduan untuk mencari solusi atas persoalan yang dihadapi. "Bukan panik. Mereka melakukan tugas masing-masing, tidak bekerja sama. Itu yang kita lihat," urai dia.
"Jadi di sini saya juga yakin akan jadi bahan pelatihan pilot-pilot seluruh dunia bahwa dalam kondisi seperti ini harusnya seperti apa. Bahwa ternyata tunda dulu, yakinkan pesawat bisa diterbangkan baru ke yang lain," tandasnya.
Advertisement