Polemik Cadar di Lingkungan Pemerintahan

Menag menyebut, wacana mempertimbangkan melarang penggunaan cadar karena faktor keamanan.

oleh Putu Merta Surya PutraMuhammad Radityo PriyasmoroFachrur RozieLizsa Egeham diperbarui 02 Nov 2019, 00:05 WIB
Ilustrasi Cadar (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Wacana larangan penggunaan niqab atau cadar di lingkungan instansi pemerintahan mengemuka. Wacana yang dilontarkan Menteri Agama Fachrul Razi ini pun menuai polemik.

Namun demikian, menurut Fachrul Razi, saat ini belum ada larangan bagi wanita yang telah menggunakan cadar.

"Kalau orang mau pakai, silakan," kata Fachrul Razi saat ditemui di kantor Kemenko PMK, Jakarta Pusat, Kamis 31 Oktober 2019.

Mantan Wakil Panglima TNI itu menyebut pemakaian cadar atau tidak bukan menjadi tolak ukur ketakwaan seseorang. 

"Jadi cadar itu bukan ukuran ketakwaan orang, bukan berarti kalau sudah pakai cadar takwanya tinggi. Sudah dekat dengan Tuhan, cadar tidak ada dasar hukumnya di Alquran maupun hadits dalam pandangan kami," kata dia.

Dia menyebut, wacana mempertimbangkan melarang penggunaan cadar karena faktor keamanan. Dia mencontohkan bagi orang yang masuk lingkup instansi pemerintahan diwajibkan melepas jaket dan helm. Begitu pula apabila diberlakukan bagi orang memakai cadar. Menurut dia, agar wajah mereka dapat terlihat jelas.

"Jadi betul dari sisi keamanan, kalau ada orang bertamu ke saya enggak tunjukin muka, ya enggak mau saya," kata dia.

Dia menegaskan, hanya sebatas memberikan rekomendasi. Pihaknya tidak memiliki kewenangan melarang penggunaan cadar.

"Saya enggak berhak dong, masa Menteri Agama mengeluarkan larangan. Enggak ada. Menteri Agama, paling-paling merekomendasi," ujar Fachrul di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis 31 Oktober 2019.

Dia mengatakan, kalaupun ada instansi yang mengeluarkan aturan itu dengan alasan keamanan, maka dipersilakan.

"Eggak, saya enggak pernah bilang mengkaji. Kalau seandainya orang mengeluarkan aturan untuk dalam kaitan keamanan ya silakan saja. Pasti bukan Kemenag itu yang melarang," jelas Fachrul.

Dia juga membantah telah melarang penggunaan celana panjang yang berada di atas mata kaki atau celana cingkrang. Dia berdalih, hanya memberikan rekomendasi.

Sejumlah pihak bereaksi terhadap wacana cadar tersebut. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai, seharusnya negara tidak perlu mengatur urusan pribadi.

"Kalau saya menggarisbawahi, itu ruang privat. Kalau ruang privat itu paling enak jangan terlalu diintervensi oleh negara. Karena negara bagaimanapun mengatur di ruang publik," kata Mardani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 31 Oktober 2019.

Namun, Mardani mengaku tidak terlalu mengetahui hukum menggunakan cadar. Oleh karena itu, dia menyarankan Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat fatwa terkait cadar tersebut.

"Kalau dia (cadar) tak wajib ya enggak masalah. Tapi kalau dia ada dasarnya saya agak khawatir ini masuk di ruang privat. Karena itu harus hati-hati masuk ke ruang privat," ujar Mardani.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi juga meminta pemerintah mengkaji lebih dalam soal wacana larangan orang bercadar masuk instansi pemerintah. Sebab, kata dia, wacana larangan itu berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).

"Kebijakan ini berpotensi melanggar HAM, meski dari perspektif keamanan bisa saja dibenarkan," kata Baidowi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (1/11/2019).

Baidowi mengatakan, Menteri Agama perlu memperjelas larangan cadar itu berlaku untuk ASN Kementerian Agama (Kemenag) atau keseluruhan instansi pemerintah. Pasalnya, kata Baidowi, melarang seluruh ASN menggunakan cadar bukan domain Kemenag.

Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Yaqut Cholil Qoumas pun menyarankan, lebih baik Menag fokus masalah lain yang lebih subtansial.

Dia mengatakan, kalau memang yang dipermasalahkan adalah terkait radikalisme, penggunaan cadar tak bisa dikaitkan dengan hal tersebut. Yaqut meminta Fachrul mempelajari lebih jauh arti dari radikalisme.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Respons Pemerintah

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan arahan ketika memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (3/10/2019). Topik Sidang Kabinet Paripurna tersebut yakni Evaluasi Pelaksanaan RPJMN 2014-2019 dan Persiapan Implementasi APBN 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Presiden Joko Widodo atau Jokowi berpendapat, penggunaan cadar dan celana cingkrang merupakan pilihan masing-masing.

"Kalau saya ya, yang namanya cara berpakaian itu kan sebetulnya pilihan pribadi-pribadi, pilihan personal atau kebebasan pribadi setiap orang," kata Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Jumat (1/11/2019).

Namun, apabila di instusi tertentu memiliki ketentuan yang melarang penggunaan cadar dan celana cingkrang, Jokowi meminta untuk mematuhi aturan tersebut.

"Di sebuah institusi, kalau memang itu ada ketentuan cara berpakaian, ya tentu saja harus dipatuhi," ujar Jokowi soal cadar.

Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadji Effendy menyarankan Menteri Agama Fachrul Razi berkonsultasi dengan MUI soal wacana pelarangan penggunaan cadar di lingkungan pemerintahan.

"Nanti pasti Pak Menag akan minta fatwa dari MUI, misalnya untuk penetapan (pelarangan cadar) itu," ucap Muhadjir saat ditemui di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Kamis (31/10/2019).

Menurut pandangannya, setiap orang di lingkungan pemerintahan harus berseragam sesuai ketentuan. Dengan catatan khusus, sepanjang hal terkait dapat dimaklumi.

Namun, Muhadjir secara pribadi menyatakan dukungan terhadap wacana pelarangan cadar di lingkup pemerintah. Sebab, hal tersebut terkait dengan etika bertutur yang baik saat berkomunikasi.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo mengatakan, belum ada aturan soal penggunaan cadar.

"Setahu saya kok enggak ada aturan undang-undang ya yang di Kemenpan loh, tapi yang lain silakan cek saja," ucap Tjahjo usai rapat di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (31/10/2019).

Menurut dia, masing-masing instansi pasti ada aturannya. Untuk di Kemenpan RB tidak ada hal semacam itu.


Apa Kata MUI dan Muhammadiyah?

Ilustrasi Cadar (iStockPhoto)

Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengatakan, Menag harus berdiskusi dengan semua pihak sebelum memutuskan ada pelarangan cadar.

"Menteri Agama sebaiknya dan sehendaknya mengundang ulama-ulama dan tokoh-tokoh ormas Islam untuk mendiskusikannya. Saya rasa Menteri Agama juga belum melarang sampai saat ini, tapi mengkaji. Menteri mengkaji bagaimana kalau seandainya memakai cadar dan celana cingkrang ini dilarang, dikaji kan, jadi belum ada keputusannya," kata Anwar di kantornya, Jakarta, Jumat (1/11/2019).

Dia mengusulkan, seharusnya, Menteri Agama tidak melarang penggunaan cadar di instansi pemerintahan. Terlebih, ini akan menimbulkan kontroversi.

"Enggak usah ada larangan. Kalau nanti dilarang, masyarakat akan menuntut," ujar Anwar.

Dia pun menuturkan, seharusnya, penggunaan cadar disikapi dengan toleransi saja. Dia meminta masyarakat tidak reaktif.

Sementara itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, ada dua hal yang harus dilihat secara seksama terkait wacana pelarangan pemakaian cadar di kantor pemerintah.

Yang pertama, soal alasan kode etik kepegawaian. Kalau mereka adalah pegawai, maka siapapun harus mematuhi kode etik pegawai. Bahkan dalam konteks pembinaan, kepatuhan kepada kode etik berbusana adalah bagian dari penilaian kinerja dan loyalitas kepada institusi.

"Hal ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang bercadar, tapi juga mereka yang berpakaian tidak sopan yang tidak sesuai dengan norma agama, susila, dan budaya bangsa Indonesia," kata Abdul saat dikonfirmasi, Kamis (31/10/2019).

Kedua, dalam ajaran Islam terdapat kewajiban menutup aurat baik bagi laki-laki atau perempuan. Di kalangan ulama terdapat ikhtilaf mengenai cadar sebagai salah satu busana menutup aurat. Sebagian besar ulama berpendapat bercadar bukanlah wajib. Perempuan boleh menampakkan muka dan telapak tangan.

"Muhammadiyah berpendapat bahwa bercadar tidak wajib. Yang perlu diluruskan adalah pemahaman mereka yang bercadar sebagai teroris atau radikal. Itu penilaian yang sangat dangkal dan berlebihan," jelas Abdul. 

Sementara itu, Komisi VIII DPR akan menggelar rapat kerja dengan Menteri Agama Fachrul Razi pada Kamis, 7 November 2019. Dalam rapat itu juga akan dibahas mengenai larangan orang bercadar masuk instansi pemerintahan.

"Insyaallah kami akan mengundang Pak Menag pada Kamis depan. Isu-isu seperti ini tentu akan menjadi agenda kami untuk mengonfirmasi langsung kepada Pak Menteri, dasar pemikirannya melontarkan hal-hal yang menurut saya tidak produktif," kata Ketua Komisi VIII Yandri Susanto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/10/2019).

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya