Liputan6.com, Jakarta Para pengunjuk rasa Irak menyerang konsulat Iran di kota Karbala pada Minggu 3 November 2019 malam waktu setempat. Hal itu sebagai tanda terbaru atas kemarahan yang meningkat atas keterlibatan Iran dalam urusan Irak.
Para pengunjuk rasa memanjat dinding konsulat sembari mengibarkan bendera Irak.
Advertisement
Untuk memecah konsentrasi massa, pasukan keamanan menembakkan peluru karet ke arah demonstran. Sementara, para demonstran melemparkan bom bensin/molotov ke atas dinding konsulat, seperti dilansir wsj.com.
Serangan terhadap konsulat terjadi beberapa hari setelah salah seorang ulama top Irak memperingatkan masyarakat terhadap kekuatan asing. Termasuk pada Iran, untuk tidak ikut campur di Irak.
Ini juga menyusul berminggu-minggu tuduhan oleh para pemrotes dan organisasi hak asasi manusia terhadap milisi yang didukung Iran atas tuduhan kekerasan terhadap pengunjuk rasa.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Inginkan Reformasi
Dikutip dari wsj.com, protes yang dimulai pada Oktober lalu berakar pada keluhan mengenai layanan pemerintah Irak. Namun, hal tersebut berkembang menjadi tuntutan untuk menggulingkan elit-elit politik.
Ribuan pengunjuk rasa memblokir akses ke pelabuhan penting, Umm Qasr selama akhir pekan. Mereka melakukan itu dalam upaya nyata menunjukkan korban ekonomi pada pemerintah.
Mereka juga memblokir jalan-jalan. Serta, menutup kantor-kantor dan berbagai sekolah di Baghdad.
Janji Perdana Menteri Irak, Adel Abdul-Mahdi minggu lalu untuk mengundurkan diri usai penggantinya gagal memadamkan demonstrasi, dilihat sebagai upaya mengulur waktu sementara.
Sementara itu, protes yang berkembang membuat demonstran menyerukan perubahan besar. Bukan sekadar hanya pengunduran diri pemerintah, seperti dilansir aljazeera.com.
Puluhan ribu pengunjuk rasa sudah menduduki di Tahrir Square serta di seluruh bagian Selatan Irak dalam beberapa terakhir.
Mereka menyerukan perombakan sistem politik Irak yang dibentuk usai invasi pimpinan AS tahun 2003 silam.
Sementara itu, para pelajar juga membolos untuk turut mengikuti protes. Para demonstran menyalahkan elit politik atas korupsi yang meluas, pengangguran yang tinggi, dan layanan publik yang buruk.
Advertisement
Sikap Pemerintah dan Penculikan Dokter
Dikutip dari aljazeera.com, sejak protes dimulai kembali pada 25 Oktober usai jeda singkat, terjadi bentrokan hampir terus-menerus pada dua jembatan yang mengarah ke Green Zone yang dijaga ketat. Zona tersebut merupakan markas besar pemerintah dan rumah bagi beberapa kedutaan asing.
Sementara itu, PM Abdul-Mahdi dalam pernyataannya membedakan antara pengunjuk rasa damai, yang katanya telah mengubah demonstrasi menjadi "festival rakyat" untuk menyatukan bangsa.
Serta, "penjahat" yang katanya telah menggunakan para demonstran sebagai "perisai manusia" saat menyerang pasukan keamanan.
Di sisi lain, Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Irak mengatakan seorang aktivis dan dokter yang telah mengambil bagian dalam protes, Siba al-Mahdawi diculik pada Sabtu malam oleh kelompok yang tidak dikenal.
Kemudian, badan semi-resmi meminta pemerintah dan pasukan keamanan untuk mengungkap keberadaan dokter yang diculik tersebut. Dilaporkan, Al-Mahdawi adalah salah satu dari beberapa dokter yang secara sukarela memberikan bantuan medis kepada para pengunjuk rasa.
Presiden Irak, Barham Salih mengatakan pada pekan lalu Abdul-Mahdi bersedia mengundurkan diri dari perdana menteri begitu para pemimpin politik menyetujui penggantian. Dia juga menyerukan undang-undang pemilu yang baru.
Serta, Presiden Irak mengatakan dia akan menyetujui pemilihan umum awal setelah diberlakukan.
Dalam pertemuan dengan para kepala serikat pekerja pada hari Minggu, Barham Salih mengatakan undang-undang pemilu yang baru akan diajukan ke parlemen minggu ini.
Reporter: Hugo Dimas