Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia bereaksi keras atas penyadapan yang diduga dilakukan oleh pemerintah Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ibu Negara Ani Yudhoyono dan beberapa menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan pemerintah Australia belum memberikan penjelasan terkait kabar penyadapan itu. Dia sangat menyayangkan langkah Australia yang belum terbuka membahas isu penting ini.
Advertisement
Karena itu, Marty memutuskan untuk menarik pulang Duta Besar Indonesia untuk Australia, Nadjib Riphat Kesoema. Penarikan Dubes RI dari negara tempatnya bertugas itu terjadi bertepatan dengan hari ini, 18 November, enam tahun lalu.
"Ini atas instruksi Presiden," kata Marty dalam jumpa pers di kantornya, Senin 18 November 2013.
Marty mengaku baru saja menelepon Nadjib untuk memintanya pulang secepat mungkin ke Indonesia. "Saat saya telpon, Beliau sedang di Brisbane, sedang ada acara," kata Marty.
Isu penyadapan, kata dia, merusak prinsip resiprositas dalam hubungan Indonesia dengan Australia. Sebab, penyadapan yang dilakukan Australia telah membuat rakyat dan pemerintah Indonesia tidak diuntungkan, bahkan cenderung membuat tidak nyaman.
"Bahkan penyadapan itu ilegal di hukum Indonesia, Australia, dan internasional," tegas Marty.
Langkah Marty tersebut dibenarkan Presiden SBY. Dalam akun Twitter @SBYudhoyono, Presiden SBY mengaku telah memerintahkan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa untuk memanggil pulang Duta Besar Indonesia di Australia, Nadjib Riphat Kesoema.
"Ini adalah langkah diplomasi yang tegas," demikian kutipan dari akun SBYudhoyono, Selasa 19 November 2013 tengah malam.
SBY juga memerintahkan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan jajaran pemerintah untuk melakukan langkah diplomasi yang efektif. Hal ini dilakukan sambil meminta penjelasan dan klarifikasi dari Australia.
SBY juga menegaskan sejak informasi penyadapan yang dilakukan Amerika dan Australia terhadap banyak negara beredar luas, Indonesia sudah melakukan protes keras.
Khusus untuk penyadapan yang dilakukan Australia, SBY menilai hal tersebut sebagai tindakan yang sangat mencederai kemitraan strategis dengan Indonesia, sebagai sesama negara demokrasi.
"Indonesia juga minta Australia berikan jawaban resmi dan bisa dipahami masyarakat luas atas penyadapan terhadap Indonesia," papar SBY.
Hampir tujuh bulan Nadjib Riphat Kesoema meninggalkan posnya, Presiden SBY memerintahkan dia untuk kembali bertugas di Canberra, Australia. Hal ini menyusul penilaian pemerintah Indonesia yang menganggap hubungan dengan Australia kembali mencair meski dinyatakan belum pulih sepenuhnya.
Keputusan mengembalikan Duta Besar Najib juga menyusul telepon Perdana Menteri Australia Tony Abbott kepada Presiden SBY.
"Sudah diinstruksikan (kembali ke Australia) dalam rentang waktu 1 bulan ini," ujar Staf Khusus Kepresidenan bidang Hubungan Luar Negeri, Teuku Faizasyah, saat dihubungi Senin (12/5/2014).
Faiz menuturkan, hubungan Indonesia-Australia saat ini sudah membaik sehingga Presiden SBY mengizinkan duta besar kembali ke tempat bertugasnya. Salah satu indikator semakin baiknya hubungan itu, kata Faiz, adalah adanya komitmen Australia bernegosiasi dengan Indonesia terkait code of conduct hubungan antara dua negara.
"Bapak Presiden waktu itu menggarisbawahi bahwa harus ada suatu code of conduct, pascainsiden penyadapan. Ini kemudian dalam proses evaluasi, kami mencatat kemajuan dari sisi pembahasan kedua menlu (menteri luar negeri). Saya tidak terlalu tahu apa yang dilaporkan menlu soal teks dalam negosiasi itu," kata Faiz.
Faiz tak menampik keputusan Presiden SBY ini terkait dengan percakapan antara SBY-Abbott melalui telepon pekan lalu. Komunikasi itu dilakukan di sela-sela acara Open Government Partnership yang tak dihadiri Abbott di Bali.
"Di samping Presiden menerima laporan dari Menlu. Telepon itu bisa dilihat sebagai proses menuju normalisasi hubungan. Dengan telepon itu, ada itikad kuat dari pihak Australia untuk menuntaskan persoalan-persoalan itu," pungkas dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Dokumen Edward Snowden
Kabar tentang penyadapan oleh pemerintah Australia terhadap Indonesia pertama kali dimuat di harian Sydney Morning Herald pada 31 Oktober 2013. Harian itu memberitakan tentang keberadaan dan penggunaan fasilitas penyadapan di Kedutaan Australia di Jakarta dan negara-negara lain.
Stasiun pemantauan yang berada di Kepulauan Cocos itu tidak pernah diakui secara terbuka oleh pemerintah Australia, atau dilaporkan di media, meski beroperasi selama lebih dari dua dekade.
Terakhir dari lansiran media berita Australia, penyadapan dilakukan terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 15 hari pada Agustus 2009. Selain Presiden Yudhoyono, penyadapan dilakukan kepada Ibu Negara Ani Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, dan sejumlah menteri.
Kemudian, dalam dokumen yang dibocorkan whistleblower Edward Snowden, mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional (NSA) Amerika Serikat, percakapan Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) telah disadap pemerintah Australia.
Berdasarkan laporan yang dimuat The Guardian dan ABC, Senin 18 November 2013, disebutkan SBY bersama 9 jajaran petinggi negara, termasuk Wakil Presiden Boediono dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menjadi target penyadapan pada 2009.
"Target penyadapan juga termasuk 9 jajaran di lingkaran pemimpin Indonesia, termasuk the first lady, Kristiani Herawati atau lebih dikenal Ani Yudhoyono," tulis The Guardian.
Di dalam dokumen itu tertulis bahwa intelijen elektronik Australia (Defence Signals Directorate/DSD) melacak kegiatan SBY melalui telepon genggamnya, Nokia, selama 15 hari pada Agustus 2009. Ketika itu Australia dipimpin Kevin Rudd dari Partai Buruh.
Dalam salah satu dokumen bocoran Snowden berjudul "3G Impact and Update" yang dilaporkan ABC, tertulis upaya pemetaan intelijen Australia untuk mengikuti peluncuran teknologi 3G di Indonesia dan seluruh Asia Tenggara.
"Sejumlah opsi penyadapan didaftarkan dan sebuah rekomendasi pun dibuat untuk memilih salah satu dari para petinggi dan menerapkannya ke sebuah target. Dalam hal ini para pemimpin Indonesia," lapor ABC.
Dalam halaman lain berjudul "Indonesian President voice events", disebutkan adanya dugaan memata-matai call data records (CDR) atau daftar rekaman panggilan.
"Alat tersebut bisa memonitor siapa yang menelepon dan yang ditelepon (dalam ponsel yang disadap) namun tak mengetahui isi pembicaraannya," tulis ABC.
Dokumen itu muncul di tengah memanasnya hubungan Indonesia dan Australia setelah munculnya isu adanya alat penyadapan di Gedung Kedutaan Besar (Kedubes) Australia di Jakarta.
Advertisement