Liputan6.com, Ankara - Seorang pejabat tinggi Turki mengatakan, Ankara akan mengirim simpatisan asing ISIS yang telah ditangkap untuk kembali ke negara asal mereka.
Rencana itu datang ketika Turki mengeluh tentang tidak adanya tindakan dari negara-negara, terkhusus Eropa, dalam berurusan dengan hampir 10.000 tahanan internasional yang berkaitan dengan ISIS, yang saat ini ditahan di Suriah bagian utara.
Baca Juga
Advertisement
Menteri Dalam Negeri Turki, Suleyman Soylu mengatakan pada Sabtu 2 November 2019 bahwa "kami tidak dapat menerima bahwa Eropa mengabaikan masalah ini," demikian seperti dikutip dari The Independent, Senin (4/11/2019).
"Eropa tidak bertanggungjawab," kata Soylu yang kemudian mengatakan bahwa Turki "akan mengirim anggota Daesh (akronim ISIS dalam aksara Arab) yang ditangkap kembali ke negara mereka," jelasnya.
Diperkirakan 2.500 dari tahanan ISIS di wilayah tersebut diduga berasal dari negara-negara Eropa dan bagian lain dunia, dan juga diyakini sangat berbahaya. Sejumlah tahanan yang tidak diketahui melarikan diri selama invasi Turki baru-baru ini ke Suriah timur laut, menyusul keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menarik pasukan AS keluar dari wilayah tersebut.
Simak video pilihan berikut:
Guantanamo Tak Sudi Menampung Simpatisan ISIS
Presiden AS Donald Trump sebelumnya telah meminta negara-negara Eropa untuk mengambil kembali tahanan ISIS yang datang dari negara mereka ke Suriah, ujarnya di Gedung Putih medio September lalu.
Dia menambahkan, "Jika mereka tidak mengambilnya kembali, kita mungkin akan menempatkan mereka di perbatasan, dan kemudian mereka harus menangkap mereka lagi."
Presiden AS juga mengatakan, dia menolak untuk menampung para tahanan ISIS di Teluk Guantanamo, sebuah penjara militer di Kuba.
"Ada yang menyarankan kepada kami untuk menempatkan mereka (para simpatisan ISIS yang ditahan) di pusat detensi Guantanamo ... dan buat apa kami menghabiskan miliaran dan miliaran dolar untuk mereka," tambah Trump dalam sebuah pidati kampanye di Kentucky baru-baru ini.
"Tidak bisa, kalian (negara asing asal para simpatisan ISIS tersebut) haru mengambilnya," tegas Trump.
Advertisement
Bukan Perkara Mudah
Para ahli mengatakan, menentukan asal negara para tahanan ISIS adalah hal yang sulit dilakukan di wilayah yang dilanda perang. Eropa kekurangan staf diplomatik dan perjanjian ekstradisi untuk menangani masalah ini.
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengatakan, berurusan dengan tahanan ISIS "tentu tidak semudah yang mereka pikirkan di Amerika" dalam sebuah pernyataan kepada wartawan awal tahun ini, menurut NPR.
Maas menambahkan: "Warga negara Jerman memiliki hak untuk kembali, tetapi kami memiliki sedikit kemampuan di Suriah saat ini untuk memeriksa apakah warga negara Jerman benar-benar terpengaruh."
Senada, diplomat Indonesia, Arrmanatha Nasir mengatakan saat masih menjabat sebagai juru bicara Kementerian Luar Negeri RI awal tahun ini bahwa instabilitas di tempat yang dikatakan sebagai wilayah tahanan ISIS "menyulitkan pemerintah dalam melakukan verifikasi status kewarganegaraan mereka," jelasnya ketika ditanya mengenai nasib sejumlah orang Indonesia yang dilaporkan turut berada di kamp-kamp tersebut pada Juli 2019.
Instabilitas yang dimaksud merujuk pada konflik bersenjata antara multi-pihak: Kurdi Suriah, Turki, pasukan pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad dan kelompok oposisi Suriah.
Ia juga menambahkan, butuh ada verifikasi berjenjang hingga keputusan bulat pemerintah RI terkait penanganan hukum hingga program deradikalisasi yang akan diberikan kepada mereka, jelasnya.
Langkah Terbaru Indonesia: Bekerjasama dengan Pihak Ketiga
Sementara itu, pada Oktober 2019, pelaksana tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah mengatakan, pemerintah belum mendapat informasi jelas tentang jumlah orang Indonesia simpatisan ISIS yang berada di Suriah karena proses verifikasi masih terus dilakukan.
"Selama ini, Indonesia terus bekerja sama dengan pihak ketiga yang memiliki akses ke dalam. Maka dari itu masih sulit sekali untuk mengonfirmasi kebenarannya," kata Faizasyah.
Ia menambahkan, nantinya Indonesia memerlukan upaya khusus di bawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk bisa memastikan status para WNI di Suriah. Hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama karena warga negara yang meninggalkan Indonesia tanpa melapor ke perwakilan manapun, tidak terdeteksi.
Soal kabar bahwa Turki akan turut membantu memulangkan para WNI, Faizasyah menjelaskan, "Saya belum dengar soal itu. Yang saya tahu, pada waktu lalu ada yang dibantu pulang oleh pemerintah dengan kerja sama dengan negara setempat seperti Irak dan lainnya," ujar Faizasyah.
Indonesia terus melakukan komunikasi dengan pemerintah Irak, Turki, dan Suriah. Namun, akan tetap sulit bagi pemerintah untuk bisa masuk ke wilayah konflik, walaupun sudah sedikit mereda.
Kemlu RI menyatakan akan terus melakukan komunikasi dengan pemerintah berdaulat, melakukan proses lainnya bersama pihak ketiga seperti Palang Merah Internasional (ICRC) atau badan netral lain yang bisa membantu.
Selain itu, pemerintah juga belum dapat memastikan tentang Foreign Terrorist Fighters (FTF) asal Indonesia lantaran ternyata banyak negara lain yang memiliki kekhawatiran yang sama. Proses verifikasi nasional masih sangat sulit dilakukan karena kondisi dan wilayah yang tidak memungkinkan.
Merujuk data terakhir dari Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko pada Mei 2018, militan ISIS asal Indonesia yang masih ada di Suriah berjumlah 590 orang. Moeldoko juga mencatat bahwa WNI yang meninggal sebanyak 103 orang, 86 orang pulang ke Indonesia, 539 orang dideportasi sebelum sampai, dan satu orang berhasil dicegah sebelum pergi.
Angka berbeda disajikan oleh International Centre for the Study of Radicalisation (ICSR) yang berbasis di London. Dalam riset bertajuk From Daesh to ‘Diaspora’: Tracing the Women and Minors of Islamic State yang rilis pada Juli 2018, ICSR mencatat: ada kurang lebih 800 WNI yang tergabung dengan ISIS, dengan sekitar 183 - 300 orang telah kembali ke Indonesia.
Masing-masing data masih sulit diverifikasi secara akurat.
Sementara itu, muncul laporan bahwa beberapa orang Indonesia tewas akibat kekerasan yang terjadi di dalam kamp-kamp penahanan simpatisan ISIS di Suriah. Sedangkan laporan lain mengkhawatirkan bahwa pengabaian terhadap orang-orang di kamp tersebut bisa memicu bertumbuhnya gelombang teroris lone wolf, sleeper cells, hingga kelompok baru.
Advertisement