Liputan6.com, Jakarta - Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di rentang 5-5,1 persen hingga akhir tahun.
Hal tersebut ia katakan dalam acara Economic Outlook Perbankan 2020 di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) pada sore ini.
Advertisement
"Kalau dilihat dari sisi industri dan makro, Indonesia masih aman dengan pertumbuhan ekonomi 5-5,1 persen dibanding pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya 3,5 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tertinggi ketiga di G20," ungkap dia, Senin (4/11/2019).
Fauzi bilang, pergerakan nilai tukar rupiah masih menjadi penopang pertumbuhan Indonesia. Begitu juga dengan pemangkasan suku bunga acuan dari bank sentral AS yakni The Fed.
"Sampai kuartal IV tidak akan berubah banyak karena memang pertumbuhan ekonomi stabil. Yang menjadi support buffer perbankan itu kan prtumbuhan ekonomi ditambah turunnya suku bunga global dan suku bunga rupiah, serta stabilnya kurs," kata dia.
Dia melanjutkan, pihaknya memproyeksi suku bunga acuan The Fed akan tetap rendah di 2020.
"Bahkan pelaku pasar masih memperkirakan bisa turun lagi 25 bps. Kalau kita lihat suku bunga acuan bank sentral Eropa, Tiongkok, Jepang, akan tetap stabil. Sehingga suku bunga global setahun kedepan akan tetap rendah," tegasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2019 Hanya 5 Persen, Ini Sebabnya
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) memprediksi angka pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini hanya mentok di 5 persen.
Bahkan ada kemungkinan bisa di bawah 5 persen. Hal ini karena adanya risiko pelambatan ekonomi global yang tidak diperkirakan di awal tahun ini.
Kepala Kajian Makro LPEM UI, Febrio Kacaribu mengatakan, semula pihaknya memperkirakan pertumbuhan ekonomi masih di kisaran 5-5,2 persen. Namun, pihaknya melihat risiko pelambatan membuat pertumbuhan ekonomi Kuartal III 2019 hanya di 4,9 persen.
"Di 2019 kami melihat risiko pelambatan dibandingkan dengan yang kami expected di awal tahun. Di Awal tahun kami 5-5,2 persen. Kemungkinan besar data yg kita lihat sejauh ini memang menunjukkan ke arah 5,0 persen, itu sudah kita revisi kedua kalinya," kata dia, dalam acara Indonesia Economic Outlook 2020, di UI Salemba, Jakarta, Senin (4/11).
Trade war atau perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China yang tak kunjung mereda turut memperparah kondisi tersebut. Hal ini tidak hanya berdampak pada Indonesia tetapi juga pada perdagangan seluruh negara termasuk negara maju.
Dampak lainnya adalah melemahnya iklim investasi di Indonesia. Dimana ini juga bisa berlangsung hingga tahun depan. Investasi diharapkan bisa mencapai 6 persen terhadap pertumbuhan ekonomi namun hingga kini hanya menetap di 5 persen saja.
"Reformasi yang signifikan untuk meningkatkan iklim investasi dapat menolong aktivitas ekonomi pada tahun 2020," ucapnya.
Advertisement
Manufaktur
Selain itu, kinerja sektor manufaktur Indonesia masih tetap rendah karena berkurangnya permintaan global dan masih terbatasnya peningkatan daya saing industri. Namun, ini juga terjadi pada negara maju seperti China, AS, Eropa dan Jepang.
PDB domestik dilaporkan tumbuh sebesar 5,05 persen (yoy) pada Q2 2019, sedangkan sektor manufaktur, sebagai sektor yang paling dominan, tumbuh sebesar 3,59 persen (yoy). Selain pengeluaran konsumsi domestik dan inflasi yang terkendali, data ekonomi makro tidak menunjukkan gambaran yang baik mengenai kondisi ekonomi Indonesia saat ini dan hingga akhirtahun 2019 nanti.
Kinerja ekspor yang relatif lemah karena ketergantungan yang berlebihan pada ekspor komoditas mentah, khususnya minyak kelapa sawit dan batu bara, serta masih lemahnya sektor manufaktur yang juga masih bergantung pada bahan baku dan barang modal dari luar negeri membuat defisit neraca perdagangan terus terjadi hingga Semester I 2019.