Liputan6.com, Jakarta - Pelaku usaha swasta memprotes pelaksanaan proyek pembangunan yang dijalankan selama ini. Sebab, perusahaan pelat merah alias BUMN masih mendominasi.
"Ada satu masalah yang jadi fundamental di konstruksi, problemnya adalah pekerjaan konstruksi itu dikuasai BUMN, tidak dicapai pengusaha-pengusaha swasta," kata Wakil Ketua Umum V Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) La Ode Saiful Akbar, dalam diskusi, di Gedung BEI, Jakarta, Senin (4/11).
Advertisement
Berdasarkan peraturan, lanjut dia, BUMN memang telah diinstruksikan untuk menggarap proyek-proyek dengan nilai di atas Rp 100 miliar. Dengan demikian, swasta diharapkan bisa ambil bagian.
Sayangnya, proyek konstruksi dengan nilai di bawah Rp 100 miliar pun masih dikuasai oleh anak usaha BUMN. "Benar, realisasinya di atas Rp 100 miliar, tapi itu induk, tapi anak usaha dan cicit, itu Rp 100 miliar ke bawah, akhirnya pengusaha nasional enggak dapat apa-apa," ungkap dia.
Selain itu, proyek-proyek konstruksi yang melibatkan BUMN dengan kolaborasi swasta sebagai sub kontraktor pun menurutnya masih ada kendala. Salah satunya terkait keterlambatan pembiayaan.
"Pembayaran BUMN paling cepat 3 bulan syukur-syukur, kadang 6 bulan," imbuhnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
NPL Naik
Hal ini menjadi alasan naiknya tingkat kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) oleh pengusaha swasta. "Kita pengusaha swasta yang meminjam ke bank, pembayaran jadi lambat, berdampak lah pada NPL," ujarnya.
Karena itulah, tingkat NPL sektor jasa konstruksi tinggi meskipun realisasi penyaluran kredit di sektor jasa konstruksi paling tinggi, yakni tumbuh sekitar 26,2 persen atau setara Rp356 triliun.
Hingga kini, NPL sektor konstruksi menurut Gapensi selama 3 bulan terakhir mengalami kenaikan dari 2,5 persen menjadi 2,6 persen.
Reporter: Wilfridus Setu Embu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement