Liputan6.com, Jakarta Pengusaha mengeluhkan proyek-proyek konstruksi yang masih didominasi BUMN. Perusahaan negara diketahui masih ikut menggarap proyek dengan nilai di bawah Rp 100 miliar.
Ini diungkapkan Wakil Ketua Umum V Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi), La Ode Saiful Akbar di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam acara Economic Outlook Perbankan 2020 sore ini.
"Ada satu masalah yang jadi fundamental di konstruksi, problemnya adalah pekerjaan konstruksi itu dikuasai BUMN, tidak dicapai pengusaha-pengusaha swasta,” ujarnya Senin (4/11/2019).
Baca Juga
Advertisement
BUMN masih banyak menggarap proyek-proyek dengan nilai di bawah Rp 100 miliar. Padahal, sesuai aturan BUMN disarankan untuk mengerjakan proyek di atas Rp 100 miliar.
"Oke benar, realisasinya di atas Rp 100 miliar, tapi itu induk, tapi anak usaha dan cicit, itu Rp 100 miliar ke bawah, akhirnya pengusaha nasional enggak dapat apa-apa,” ujarnya.
Laode juga bilang, proyek-proyek konstruksi yang melibatkan BUMN dengan kolaborasi swasta pun masih ada kendala. Salah satunya soal keterlambatan pembiayaan.
“Pembayaran BUMN paling cepat 3 bulan syukur-syukur, kadang 6 bulan,” imbuhnya.
Oleh karena itu, menurutnya tingkat kredit macet (NPL) utamanya pengusaha swasta jadi makin tinggi. Disebabkan pembayaran proyek yang tersendat.
“Kita pengusaha swasta yang meminjam ke bank, pembayaran jadi lambat, berdampaklah pada pendapatan NPL,” pungkasnya.
Asal tahu saja, NPL sektor konstruksi Gapensi selama 3 bulan terakhir mengalami kenaikan dari 2,5 persen menjadi 2,6 persen.
Proyek Konstruksi Didominasi BUMN, Pengusaha Swasta Protes
Pelaku usaha swasta memprotes pelaksanaan proyek pembangunan yang dijalankan selama ini. Sebab, perusahaan pelat merah alias BUMN masih mendominasi.
"Ada satu masalah yang jadi fundamental di konstruksi, problemnya adalah pekerjaan konstruksi itu dikuasai BUMN, tidak dicapai pengusaha-pengusaha swasta," kata Wakil Ketua Umum V Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) La Ode Saiful Akbar, dalam diskusi, di Gedung BEI, Jakarta, Senin (4/11).
Berdasarkan peraturan, lanjut dia, BUMN memang telah diinstruksikan untuk menggarap proyek-proyek dengan nilai di atas Rp 100 miliar. Dengan demikian, swasta diharapkan bisa ambil bagian.
Sayangnya, proyek konstruksi dengan nilai di bawah Rp 100 miliar pun masih dikuasai oleh anak usaha BUMN. "Benar, realisasinya di atas Rp 100 miliar, tapi itu induk, tapi anak usaha dan cicit, itu Rp 100 miliar ke bawah, akhirnya pengusaha nasional enggak dapat apa-apa," ungkap dia.
Selain itu, proyek-proyek konstruksi yang melibatkan BUMN dengan kolaborasi swasta sebagai sub kontraktor pun menurutnya masih ada kendala. Salah satunya terkait keterlambatan pembiayaan.
"Pembayaran BUMN paling cepat 3 bulan syukur-syukur, kadang 6 bulan," imbuhnya.
Advertisement