Moskow - Suhu mendekati beku sudah menghampiri Siberia, Rusia. Seorang petani bernama Witalij Kwascha berniat memperluas huniannya. Ia pun mulai menggali lubang untuk membangun fondasi rumah.
Penggalian mesti segera dilakukan, karena musim dingin kian dekat dan tanah akan menjadi keras. Namun ketika mengeruk tanah dengan sekop, ia terkejut dengan apa yang ia temukan. Kwascha melihat tengkorak, tulang lengan, tulang kaki, dan tulang rusuk -- kerangka manusia.
Advertisement
Semakin terus mengeduk, semakin banyak pula ia menemukan tulang-belulang manusia dari dalam tanah yang ia kumpulkan ke dalam karung terigu. Ada lebih dari sepuluh karung di kebunnya, penemuannya setara dengan sisa-sisa tengkorak lebih dari 60 orang.
"Pertama saya menggali satu tengkorak, lalu yang lain, dan akhirnya tidak berhenti," kata lelaki berusia tiga puluh tahunan ini, seperti dikutip dari DW Indonesia, Selasa (5/11/2019).
Besar kemungkinan, temuan Kwascha ini adalah sebuah kuburan massal dari tahun 1930-an, kata para ahli dari Komite Investigasi Negara.
Kwascha tinggal bersama keluarganya di Blagoweshchensk, daerah perbatasan Rusia dengan China. Seperti di tempat lain di Negeri Beruang Merah, pada masa pemerintahan Joseph Stalin banyak terjadi penembakan massal terhadap mereka yang dianggap sebagai pembangkang rezim.
Upacara Mengenang Korban
Sementara itu, di Moskow yang berjarak sekitar 8.000 kilometer dari Blagoweshchensk, orang-orang memperingati para korban kediktatoran Stalin. Mereka berdiri di tengah hujan lebat untuk membaca nama-nama kerabat di depan dua buah mikrofon. Secara singkat menceritakan kisah ayah, paman, kakek dan paman buyut mereka.
Ini adalah kisah-kisah keluarga yang dianiaya antara tahun 1936 hingga 1938 oleh Joseph Stalin karena diduga menentang rezim. Hanya dalam dua tahun, sekitar 1,5 juta warga Soviet ditangkap, dan lebih dari setengahnya terbunuh.
"Kakek saya ditangkap dan disiksa, digantung di kakinya dan giginya dicabuti," suara seorang perempuan tua bergema dari pengeras suara. "Kakek saya, Vladimir Bukovsky, berusia tujuh puluh enam tahun, kini beristirahat dengan tenang," lanjut yang lain pelan.
"Ini adalah kisah mengerikan yang tidak boleh kita lupakan," ujar Natalia Petrova dari Memorial, sebuah asosiasi yang memperjuangkan hak asasi manusia. Aksi mengenang korban dengan tajuk "Kembalinya Sebuah Nama" diluncurkan dua belas tahun lalu. Sejak itu, aksi ini berlangsung setiap tahun pada akhir Oktober.
Dengan enggan, orang-orang kembali mengingat kenyataan masa lalu yang membuat mereka merasa tidak nyaman. Orang-orang yang mencoba mengingat peristiwa itu pun mendapatkan intimidasi.
Ini juga yang dialami oleh staf organisasi Memorial, demikian keluh Natalia Petrova. "Tiga tahun lalu, lembaga swadaya kami dinyatakan sebagai 'agen asing' tetapi kami terus bekerja karena banyak orang membutuhkan pekerjaan kami."
Advertisement
Diabaikan Pihak Berwenang?
Bahkan di Blagoweshchensk, Witalij Kwascha melaporkan bahwa pihak berwenang yang dia beritahu tentang temuan kuburan massal ini terkesan enggan berurusan dengan masa lalu. Berkali-kali Kwascha meminta pihak kota untuk tidak meninggalkannya sendirian mengurusi temuannya yang mengerikan itu.
"Selama setahun saya meminta bantuan pihak berwenang. Mereka mengatakan tidak punya uang atau staf untuk membantu. Satu-satunya hal yang mereka lakukan adalah berjanji akan mengambil tulang-belulang ini. Tetapi saya sendiri yang harus menggali."
Dengan bantuan sebuah rumah duka swasta, sebagian kecil dari korban-korban ini akhirnya dapat mendiami tempat peristirahatan terakhir mereka di pemakaman di kota Blagoweschensk.
Namun, Kwascha mengeluhkan bahwa mereka dimakamkan di sana hanya dengan tanda berupa logam kecil dengan nomor terukir, tanpa nama dan tanpa martabat.