Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar perusahaan swasta diberikan ruang lebih banyak dalam mengemban proyek infrastruktur di Indonesia.
Permintaan ini karena dia mendapat banyak keluhan dari perusahaan swasta perihal pengembangan proyek yang sebagian besar dikerjakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Banyak yang mengeluh ke saya, kontraktor lokal, provinsi, Pak kok semuanya diambil BUMN', ini saya sudah perintahkan, nggak sekali dua kali," ujar dia di Jakarta, Rabu (6/11/2019).
Baca Juga
Advertisement
Dalam 5 tahun ke depan, Jokowi berharap swasta mendapat peran besar dalam mempercepat pembangunan infrastruktur nasional. Namun ternyata, realisasi pembiayaan swasta terhadap berbagai proyek infrastruktur masih jauh dari target.
Sebut saja, investasi ruas tol yang ditargetkan bisa menyentuh angka Rp 500 triliun, dalam 5 tahun terakhir hanya mencapai Rp 142 triliun saja, atau 28 persen dari total target.
"Realisasi PPP di PUPR 5 tahun ini masih rendah, di angka 28 persen dari total target," ujar Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementrian PUPR Eko D Heripoerwanto.
Tak hanya itu, hal yang sama juga terjadi pada proyek sistem pengadaan air minum (SPAM) yang realisasinya hanya 19 persen saja dari target, atau sekitar Rp 3,8 triliun dari Rp 20,5 triliun.
Proyek Konstruksi Didominasi BUMN, Pengusaha Swasta Protes
Pelaku usaha swasta memprotes pelaksanaan proyek pembangunan yang dijalankan selama ini. Sebab, perusahaan pelat merah alias BUMN masih mendominasi.
"Ada satu masalah yang jadi fundamental di konstruksi, problemnya adalah pekerjaan konstruksi itu dikuasai BUMN, tidak dicapai pengusaha-pengusaha swasta," kata Wakil Ketua Umum V Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) La Ode Saiful Akbar, dalam diskusi, di Gedung BEI, Jakarta, Senin (4/11).
Berdasarkan peraturan, lanjut dia, BUMN memang telah diinstruksikan untuk menggarap proyek-proyek dengan nilai di atas Rp 100 miliar. Dengan demikian, swasta diharapkan bisa ambil bagian.
Sayangnya, proyek konstruksi dengan nilai di bawah Rp 100 miliar pun masih dikuasai oleh anak usaha BUMN. "Benar, realisasinya di atas Rp 100 miliar, tapi itu induk, tapi anak usaha dan cicit, itu Rp 100 miliar ke bawah, akhirnya pengusaha nasional enggak dapat apa-apa," ungkap dia.
Selain itu, proyek-proyek konstruksi yang melibatkan BUMN dengan kolaborasi swasta sebagai sub kontraktor pun menurutnya masih ada kendala. Salah satunya terkait keterlambatan pembiayaan.
"Pembayaran BUMN paling cepat 3 bulan syukur-syukur, kadang 6 bulan," imbuhnya.
Advertisement