Liputan6.com, Aceh - Usia Umar 19 tahun saat Belanda pertama kali memuntahkan meriam ke daratan Aceh. Perang yang dilakoninya kelak memiliki skenario yang berbeda dari kebanyakan pejuang Aceh.
Umar kecil dikenal bengal. Ia kerap ditemukan sedang beradu jotos dengan segerombol bocah di sudut kampung.
Mardanas Safwan dalam Teuku Umar (2007) menggambarkan Umar sebagai bocah cerdik yang memuja pertarungan. Anak ini suka menyelesaikan masalah dengan tinjunya.
Karena unggul di antara anak-anak sepantarnya, Umar pun dipilih menjadi pemimpin kelompok. Jiwa kepemimpinannya ditempa dari sini.
"Ia tidak gentar menghadapi keroyokan teman-teman, dan, bahkan, ia sendiri berani menghadapi mereka itu," tulis Safwan.
Baca Juga
Advertisement
Orang-orang terkadang mendapati Umar sedang bersantai di puncak pohon yang tinggi atau berenang membelah sungai berarus deras. Ia juga bisa berhari-hari tidak pulang karena ikut nelayan melaut tanpa sepengetahuan orangtuanya.
"Keberanian yang kelewat batas ini hanya pada mulanya saja mencemaskan orangtuanya. Kemudian mereka terpaksa membiarkan Umar, karena dilarang pun tidak dihiraukan," lanjut Safwan.
Bocah tengil itu lepas dari pingitan orangtuanya sejak umur sepuluh tahun. Ia bersama teman-temannya memutuskan melanglang buana dari satu tempat ke tempat lain—satu rimba ke rimba lain.
"Umar tidak bersedia mengikuti pendidikan seperti anak-anak lainnya, karena pengalaman hidup adalah sekolah bagi Umar, dan pengalaman adalah guru yang paling berharga baginya dalam hidup," mengutip Safwan.
Sifat Umar yang pembangkang lagi bangor mulai berubah ketika usianya menginjak remaja. Perubahan terlihat dari sikapnya yang mulai menghargai orang lain serta bergaul dengan siapa pun tanpa membedakan-bedakan kasta.
Menurut Safwan, silsilah Umar tersambung ke Datuk Makhudum Sati, seorang perantau dari Ranah Minang. Leluhurnya itu sosok yang yang dimusuhi kemudian dikagumi, khususnya, oleh Sultan Aceh.
Pada masa itu, banyak suku Minangkabau merantau dan membentuk koloni di Aceh. Agama menjadi salah satu faktor mengapa orang-orang dari Sumatera Barat mudah diterima di Aceh.
Makhudum Sati dan rombongan membentuk sebuah perkampungan yang teratur di Woyla. Daerah itu awalnya tidak terlalu hidup, tetapi, disulap menjadi kawasan pertanian serta perniagaan olehnya.
Lambat laun, tempat itu pun bersulih rupa menjadi sebuah perkampungan yang makmur, dikenal dengan nama Rantau Dua Belas atau Rawa. Kabar ini pun sampai ke telinga sultan.
Sultan pun mengirimkan utusan. Makhudum Sati diharuskan membayar upeti karena Rantau Dua Belas masih berada di dalam wilayah kekuasaannya.
Saat peti upeti dibuka di depan para petinggi istana, sultan tersingahak dan berang bukan kepalang. Isi peti berukir emas itu ternyata besi dan senjata tua serta baju bekas.
Sejak awal Makhudum Sati memang tidak berniat untuk memberi upeti kepada Sultan. Merasa kehormatannya diinjak-injak, Sultan pun memerintahkan panglima sagi untuk menyerang perkampungan itu.
Di satu pihak, Makhudum Sati dan pengikutnya telah bersiap-siap menanti serangan para laskar. Pertempuran pun pecah di Rantau Dua Belas.
Karena kalah jumlah, Makhudum Sati dan pengikutnya terdesak. Namun, ia bertahan dan tetap mengambil ancang-ancang meski terperosok dengan tubuh penuh luka dalam genangan darah para pengikutnya yang tewas.
Melihat kegigihannya, para laskar menghentikan serangan. Mereka mundur selangkah dengan rasa takjub bercampur ngeri melihat orang yang bercucuran darah itu tetap tegak kendati ditikam bertubi-tubi.
Panglima sagi akhirnya memutuskan untuk membawa Makhudum Sati ke hadapan Sultan. Ia kemudian diberi satu syarat jika ingin diampuni.
Dirinya mesti meminum tuangan besi yang telah dilebur—tak lain merupakan upeti yang pernah diberinya pada Sultan dulu. Tes tersebut ternyata berhasil dilewati, dirinya pun diangkat sebagai penjaga keamanan istana lantas memperoleh kuasa sebagai hulubalang secara turun-temurun.
Kisah Makhudum Sati yang sakti mandraguna ditulis Tengku Lam Rukan dalam hikayat Pocut Muhammad. Namun, terdapat pula narasi yang menceritakan kisah berbeda.
Di antara keturunan Makhudum Sati, ada yang menjadi hulubalang karena suatu jasa. Ia bergelar Teuku Nan Renceh, mempunyai dua putera bernama Nanta Setia dan Ahmad Mahmud.
Ahmad Mahmud menikahi adik perempuan Raja Meulaboh lantas memperoleh beberapa keturunan, salah satunya Umar. Melihat sifat Umar, tidak heran jika dirinya merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati.
Kehidupan Cinta dan Akhir Hayat
Umar mempersunting putri seorang hulubalang pada umur 20 tahun, dan mendapat gelar 'Teuku' setelah menikahi anak seorang panglima sagi. Namun, namanya jarang ditemukan tidak disandingkan dengan Cut Nyak Dhien, istri ketiga, sekaligus tandemnya.
Cut Nyak Dhien sebenarnya anak dari Nanta Setia, saudara kandung Ahmad Mahmud, ayah dari Teuku Umar. Namun, Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien belum pernah bertemu sama sekali di waktu kecil.
"Mereka hanya mengenal nama masing-masing," terang Safwan dalam bukunya.
Safwan menggambarkan pertemuan keduanya berlangsung dalam situasi di mana Cut Nyak Dhien tengah berkabung. Teuku Ibrahim Lamnga, suami Cut Nyak Dhien, tewas dalam sebuah petempuran di Gle Tarum.
Sejumlah narasi menyebut Cut Nyak Dhien dipersunting oleh Teuku Ibrahim Lamnga saat dirinya berusia 12 tahun. Berarti, Cut Nyak Dhien sudah menjalani bahtera perkawinan lebih dahulu ketimbang Teuku Umar.
Teuku Ibrahim Lamnga merupakan pejuang yang kesohor di mata rakyat Aceh. Kematiannya saat itu cukup memilukan bagi orang-orang karena mereka telah kehilangan sosok pejuang.
"Pertemuannya dengan Teuku Umar memberikan harapan, di mana Cut Nyak Dien mempunyai perasaan kagum terhadap Teuku Umar yang berbadan tinggi semampai," jelas Safwan.
Dari mata Teuku Umar terpancar tekad perjuangan yang begitu kuat, sehingga Cut Nyak Dhien menaruh harapan kepada sepupunya tersebut. Sepak terjang Teuku Umar di kancah peperangan pun sudah mulai diakui saat itu.
Lama kelamaan, harapan Cut Nyak Dhien berubah menjadi perasaan yang lain. Jauh di dalam hatinya, ia mulai menaruh hati terhadap Teuku Umar.
Sosok Cut Nyak Dhien digambarkan sebagai perempuan tegas berparas jelita. Namun, jiwa 'perang sabil' yang melekat pada diri Cut Nyak Dhien-lah yang bikin Teuku Umar tersengsem.
"Cahaya harapan menembus gelap bagi kehidupan Cut Nyak Dhien dan hatinya semakin tidak tergoyahkan dalam perjuangan untuk melawan tentara Belanda," demikian yang ditulis Safwan.
Pernikahan Teuku Umar dengan Cut Nyak Dhien digelar di Montasik, dihadiri pembesar serta rakyat dari pelbagai penjuru. Duet sejoli pejuang ini telah memberi secercah harapan bagi perjuangan di Aceh.
Tidak ada tempat berbulan madu yang lebih indah kecuali palagan. Malam-malam berkasih keduanya berlangsung di antara desingan peluru dan dentuman meriam.
Seiring berjalannya waktu, Teuku Umar masuk dalam daftar pejuang yang paling diincar Belanda. Saking bencinya, Belanda bahkan memorakporandakan setiap kampung yang pernah dilewati Teuku Umar.
Setelah melewati pelbagai pertempuran, Teuku Umar syahid dalam sebuah gempuran. Ia sempat mengutarakan niatnya menyesap segelas kopi di kedai Meulaboh esok hari, atau dirinya syahid di gelanggang perang.
Cut Gambang menangis sejadi-jadinya sewaktu mendapat kabar yang menimpa ayahnya. Cut Nyak Dhien yang melihat itu berang lalu menampar anaknya.
"Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid!" ucap Cut Nyak Dhien.
Cut Nyak Dhien sempat melanjutkan estafet perjuangan Teuku Umar. Ia ditangkap tujuh tahun setelah kematian suaminya.
Cut Nyak Dhien meninggal dalam pengasingan di Jawa Barat. Kisah cinta keduanya lebih dari sekadar dua makam yang terpisah ribuan kilometer.
Begitulah Umar, sempat dilabeli pengkhianat lalu dielu-elukan. Seperti dulu, saat Umar kecil baru saja menghajar seorang bocah yang menantangnya di sudut kampung.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement