Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghidupkan kembali jabatan wakil panglima TNI setelah 20 tahun dihapus dari struktur organisasi TNI. Keputusan ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 Tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia. Perpres ini telah ditetapkan 18 Oktober 2019, dan sudah diundang-undangkan.
Aturan tentang wakil panglima TNI tertuang dalam Pasal 13 ayat 1 huruf a yang berbunyi; Markas Besar TNI meliputi: 1. Panglima; dan 2. Wakil Panglima.
Advertisement
Usulan dihidupkannya wakil panglima TNI ini pernah datang dari Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Saat itu dia menjabat sebagai Panglima TNI.
Moeldoko mengusulkan jabatan Wakil Panglima kepada Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengisi kekosongan pimpinan ketika sedang melakukan kunjungan kerja luar negeri. Kemudian, di era Presiden Jokowi, Moeldoko juga ikut andil dalam usulan tersebut.
"Saya pikir begitu (ikut usul). Ada beberapa usulan saya, pertama saat panglima, ada pangkogas, satuan khusus tugas operasi. Sudah direalisasi," kata Moeldoko.
Moeldoko menjamin bahwa tidak akan ada dualisme di TNI, meski posisi wakil panglima dihidupkan kembali. Sebabnya, para prajurit TNI, termasuk wakil panglima, dituntut untuk loyal terhadap atasan.
"Enggak, di tentara enggak ada dualisme. Kalau enggak beres, tetap yang salah di bawah. Apalagi kalau tentara dikatakan insubordinasi, pidana. Dikatakan tidak loyal, mati kariernya. Tentara itu paling gampang," kata Moeldoko.
Meski ada posisi wakil, Moeldoko menyatakan panglima TNI tetap sebagai pemimpin tertinggi. Dia menegaskan bahwa keputusan Jokowi menghidupkan kembali wakil panglima TNI bukan untuk mengakomodir perwira tinggi.
"Enggak, sekali lagi bahwa apa yang terjadi sekarang itu sudah melalui kajian waktu zaman saya panglima. Jadi bukan kebutuhan praktis," jelas dia.
Kemudian, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto memiliki wewenang menunjuk Wakil Panglima TNI. Mekanisme penunjukan jabatan wakil panglima itu akan diatur lewat Peraturan Panglima TNI.
"Panglima bisa action, itu kan di bawah kendali Panglima TNI langsung, diangkat oleh panglima," ucap Moeldoko.
Sementara, Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman menjelaskan, posisi wakil untuk menjalankan tugas khusus atau prioritas yang diberikan Jokowi.
"Posisi terkait dengan wakil menteri, wakil panglima, jelas kriterianya dari bapak, selalu untuk menangani tugas khusus atau tugas prioritas," ujar Fadjroel di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid mengatakan saat ini organisasi TNI memang membutuhkan jabatan wakil panglima.
"Pada dasarnya, posisi Wakil Panglima TNI merupakan kebutuhan untuk mengantisipasi perkembangan lingkungan strategis yang dinamis maka diperlukan dukungan organisasi yang dapat mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi TNI," ucap Meutya saat dihubungi, Kamis (7/11/2019).
Dia menuturkan, dengan tiga matra TNI, yang memiliki kekuatan personel yang begitu besar, maka wajar Panglima butuh orang yang bisa membantu perannya.
Anggota Komisi I DPR Bobby Adhtiyo Rizaldi mengatakan bahwa dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI hanya mengenal jabatan panglima, namun, kata dia, jabatan wakil panglima TNI ini tak dilarang. Meski begitu, Bobby mengatakan, TNI dan Polri memiliki sifat koersif sehingga perlu garis komando yang jelas dan tidak boleh ada dualisme.
Sebenarnya, kata dia, tugas wakil panglima TNI sudah tertuang dalam pasal 15 Perpres Nomor 66 Tahun 2019, yaitu
(1) Wakil Panglima merupakan koordinator pembinaan kekuatan TNI guna mewujudkan interoperabilitas/Tri Matra Terpadu, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada panglima.
(2) Wakil Panglima mempunyai tugas:
a. membantu pelaksanaan tugas harian Panglima;
b. memberikan saran kepada Panglima terkait pelaksanaan kebijakan pertahanan negara, pengembangan Postur TNI, pengembangan doktrin, strategi militer dan Pembinaan Kekuatan TNI serta Penggunaan Kekuatan TNI;
c. melaksanakan tugas Panglima apabila Panglima berhalangan sementara dan/atau berhalangan tetap; dan
d. melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh Panglima.
"Saya menilai sudah cukup dijelaskan, sehingga tidak ada celah untuk kekhawatiran mengenai dualisme kepemimpinan," ujar Bobby kepada Liputan6.com.
Sementara, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta menilai menghidupkan kembali posisi wakil panglima TNI justru membuat jabatan politik menjadi gemuk.
Sukamta menyebut, keputusan itu bertolak belakang dengan keinginan Jokowi merampingkan birokrasi, salah satunya penghapusan jabatan eselon III dan IV.
Dia membandingkan jabatan wakil panglima TNI dengan posisi wakil menteri di kabinet Indonesia Maju yang banyak dimunculkan Jokowi.
"Kesannya beliau akan merampingkan birokrasi. Tidak sesuai dengan semangat debirokratisasi," kata Sukamta.
Selain itu, Sukamta juga menyoroti Perpres yang dikeluarkan Jokowi yang disebut bertentangan dengan Undang-undang (UU) TNI. Menurutnya, pada UU TNI tidak ada jabatan wakil panglima.
"Saya tidak tahu apakah Presiden menggunakan rujukan lain atau apa, karena dalam tata aturan perundangan, Perpres tidak boleh bertentangan dengan UU," ujar Sukamta.
Saksikan video terkait di bawah ini:
Wakil Panglima TNI Punya Peran Strategis?
Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati menilai dalam sejarah TNI jabatan Wakil Panglima TNI terbukti cukup efektif mengendalikan operasional ketiga matra baik satuan tempur TNI AD, TNI AL maupun TNI AU.
"Bahkan dalam situasi krisis peran Wakil Panglima TNI sangat signifikan membantu Panglima TNI pada tataran politis dan strategis," kata perempuan yang karib disapa Nuning ini kepada Liputan6.com, Kamis (7/11/2019).
Nuning mengatakan, beberapa negara di dunia juga menganut struktur organisasi militer yang sama pada jabatan wakil panglima. Bahkan dengan kompleksitas peperangan modern di masa mendatang, kata dia, jabatan wakil panglima TNI dinilai sangat strategis. Wakil panglima TNI, kata dia bertanggung jawab atas pembinaan kekuatan ketiga matra sekaligus interoperabilitas semua kekuatan.
"Pembinaan utamanya standarisasi kemampuan peperangan yang terintegrasi agar TNI ke depan lebih efektif dan lebih efisien. Standarisasi juga pada pembinaan alutsista agar siap siaga 24 jam untuk dikerahkan. Penggelaran alutsista TNI memang menjadi perhatian utama di dalam implementasi Network Warfare Centric sebagaimana kebijakan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto," ujar dia.
Jika dikaitkan implementasi ASEAN Political-Security Community (APSC) untuk seluruh negara anggota ASEAN, kata dia, maka wakil panglima TNI juga melaksanakan pembinaan kekuatan TNI memenuhi standar kualifikasi kerjasama internasional. Kemampuan operasional dan diplomasi TNI dalam berbagai operasi militer di bawah bendera ASEAN dan PBB juga menjadi tanggung jawab wakil panglima TNI.
"Kemampuan pada tataran internasional ini juga sejalan dengan kebijakan Kementerian Luar Negeri untuk meningkatkan kepemimpinan Indonesia di ASEAN. Banyak kalangan pakar militer dunia menilai pentingnya kemampuan TNI untuk memimpin angkatan bersenjata di kawasan dalam operasi perdamaian dunia," kata dia.
Sementara, Pengamat militer Mufti Makarim mengatakan, keberadaan wakil panglima TNI tidak akan menimbulkan dualisme kepemimpinan selama Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa memilih dan nemempatkan posisi wakil panglima TNI sehingga tidak menganggu posisi panglima TNI.
"Saya kira selama political will-nya adalah membangun postur TNI mudah-mudahan kekhawatiran (dualisme) tidak terjadi. Apakah presiden bisa memilih, memahami, posisi di mana dia (wakil panglima) ditempatkan sehingga tidak mengganggu posisi panglima," ujar Deputi Direktur Lokataru Foundation itu kepada Liputan6.com.
Menurut Mufti, jabatan wakil panglima TNI ini dibutuhkan agar panglima TNI lebih fokus pada aspek strategis dan kebijakan politik. Sementara wakil panglima fokus pada pembinaan TNI.
"Dia (wakil panglima) menjadi kekuatan baru selain teritorial matra AU, AL, AD untuk menggelar sinergi tidak hanya dikerjakan oleh panglima karena butuh backup dari sisi pembuatan kebijakan dan pengawasan," kata dia.
Mufti menilai, jabatan wakil panglima TNI kemungkinan akan diisi dari pejabat tinggi Angkatan Darat (AD). "Kalau panglima TNI bukan AD, wakil panglima kemungkinan dari AD, karena AD matra terbesar," ujar dia.
Peluang Tiga Kepala Staf
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) memiliki peluang menjadi Wakil Panglima TNI.
Hal itu disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko berdasarkan Perpres Nomor 66 Tahun 2019 yang menyebutkan Wakil Panglima TNI harus diisi oleh perwira tinggi berpangkat bintang empat.
"Ya saya pikir para kepala staf punya kans untuk itu," kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Adapun saat ini KSAD dijabat Jenderal Andika Perkasa dan KSAL dijabat oleh Laksamana Siwi Sukma Aji. Sementara KSAU saat ini dijabat oleh Marsekal Yuyu Sutisna.
Moeldoko enggan menyebut siapa sosok yang akan mengisi kursi Wakil Panglima TNI. Saat ditanya apakah Andika Perkasa yang akan dipilih, dia meminta agar hal itu ditanyakan langsung kepada Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
Advertisement
Dihidupkan Kembali Setelah 20 Tahun
Jabatan wakil panglima TNI sebenarnya sudah dihapus Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tahun 2000.
Dihapusnya jabatan wakil panglima TNI punya sejarah panjang. Saat itu, setelah dilantik sebagai presiden, kebijakan-kebijakan yang dilakukan Gus Dur kerap berbenturan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dikutip dari buku 'Mengawali Integrasi Mengusung Reformasi: Pengabdian Alumni Akabri Pertama 1970' terbitan Kata Hasta Pustaka tahun 2012 yang disusun oleh Sudradjat, Gus Dur dinilai tidak memiliki kecocokan dengan Panglima TNI yang saat itu masih dijabat oleh Jenderal Wiranto.
Gus Dur menganggap, Wiranto sebagai sisa produk pemerintahan Orde Baru. Meski begitu, Gus Dur sempat menyetujui usulannya untuk memasukkan perwira AD sebagai Menteri Pertambangan dan Energi guna menengahi perebutan jabatan itu dari kalangan partai politik. Dipilihlah Letjen Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Mentamben.
Gus Dur akhirnya memilih Laksamana TNI Widodo AS, menggantikan Wiranto yang memasuki masa pensiun. Gus Dur berharap Widodo loyal, namun setelah menduduki jabatan tertinggi dalam angkatan bersenjata Indonesia, Widodo malah membuat gertakan terhadap Gus Dur. Dia mendesak Gus Dur untuk mengganti beberapa jenderal di posisi kunci.
Hal itu diketahui dari bocornya 'Dokumen Bulak Rante'. Dalam dokumen itu, Widodo AS bersama sejumlah petinggi TNI lainnya, yakni Agus Wirahadikusumah, Rahman Toleng, Bondan Gunawan dan beberapa aktivis lainnya menggelar pertemuan di kediamannya, kompleks perumahan perwira Bulak Rante, Jakarta Timur. Dia meminta presiden menggeser atau memecat Panglima Kostrad.
Gus Dur yang baru pulang dari lawatannya di Amerika Serikat kesal mendapati kondisi tersebut. Dia pun langsung menawarkan kompromi sekaligus melakukan mutasi besar-besaran di tubuh TNI. Mutasi jabatan ini terjadi hingga dua kali, yakni pada September dan Oktober 2000.
Gus Dur yang tak mau mengalah di tengah gertakan perwira TNI ini memutuskan untuk menghapus jabatan Wakil Panglima TNI yang saat itu dijabat oleh Jenderal TNI Fachrul Rozi. Rencana ini sebenarnya dimaksudkan untuk sekaligus mengganti Panglima dan Kapolri yang dianggapnya berseberangan.
Fachrul mengetahui rencana tersebut, namun dia enggan mencari-cari dukungan dari pihak lain, termasuk menolak masukan Widodo AS untuk menemui Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang dinilai tak setuju dengan rencana presiden itu.
"Biar saja Bapak Panglima. Kalau presiden tidak ada trust (kepercayaan) kepada saya, buat apa saya di jabatan tersebut," tegas Fachrul kepada Widodo AS. Alhasil, melalui Keppres tertanggal 20 September Fachrul resmi dicopot dan jabatannya dihapus saat itu juga.
Meski dipecat secara sepihak, Fachrul mengaku menerima keputusan itu dengan besar hati. "Bagaimana pun saya jadi bintang empat, itu sudah tinggi. Enggak ada lagi bintang setelah itu."
Ternyata, setelah menghapus jabatan tersebut, Gus Dur masih mencla mencle. Gus Dur lantas memanggil Sekjen Dephankam Johny Lumitang dan akan menunjuknya menjadi Wakil Panglima TNI. Dengan tegas Johny menolak jabatan tersebut mengingat adanya perang dingin yang terjadi antara TNI dengan presiden. Apalagi jabatan itu sudah dihapus Gus Dur, masak dihidupkan lagi dengan motif politik.
Maka Johny mengaku rela membuang kesempatan menjadi jenderal bintang empat demi meredakan konflik.
"Saya menolak jabatan wakil panglima TNI, kalau gara-gara saya TNI pecah," tegasnya.
Sejak itu, tidak ada lagi jabatan wakil panglima TNI sampai 20 tahun ke depan. Namun kini, Presiden Jokowi kembali menghidupkan kembali jabatan wakil panglima TNI.