Liputan6.com, Seoul - Dua nelayan Korea Utara yang dicurigai membunuh 16 anggota awak untuk kemudian melarikan diri ke Korea Selatan, telah dideportasi ke negara asalnya.
Mereka melintasi perbatasan laut pada Sabtu 2 November 2019 dan kemudian ditahan oleh pihak berwenang di Korea Selatan.
Korea Selatan biasanya memberikan suaka kepada para pembelot tetapi mengatakan bahwa dalam kasus ini, kedua orang itu merupakan ancaman bagi keamanan nasional.
Mereka diperlakukan sebagai penjahat, bukan pembelot. Oleh karenanya, Seoul mendeportasi mereka kembali ke Korut, demikian seperti dilansir BBC, Kamis (8/11/2019).
Baca Juga
Advertisement
Setelah melewati perbatasan dengan kapal penangkap cumi-cumi mereka, perlu waktu dua hari bagi angkatan laut Korea Selatan untuk menangkap mereka.
Menurut kantor berita Yonhap, mengutip para pejabat, keduanya mengaku bahwa mereka dan seorang pria lain membunuh kapten kapal pada akhir Oktober 2019 karena perlakuannya yang keras.
Mereka kemudian membunuh anggota kru yang memprotes lainnya, satu per satu. Mayat-mayat itu dibuang ke laut.
Tiga tersangka pada awalnya kembali ke Korea Utara. Tetapi ketika salah satu dari mereka ditangkap oleh polisi setempat di sebuah pelabuhan, dua lainnya memutuskan untuk melarikan diri dengan kapal mereka ke Korea Selatan.
Kementerian Unifikasi Korea di Seoul mengatakan kepada BBC bahwa "ketika kami tidak bisa mempercayai niat mereka untuk membelot" Negeri Ginseng memutuskan untuk tidak membiarkan "kriminal" tetap tinggal.
Kedua lelaki berusia 20-an itu diserahkan ke Utara di desa perbatasan Panmunjom di zona demiliterisasi, katanya.
Ini adalah deportasi pertama Korea Selatan ke Korea Utara melalui Panmunjom.
Deportasi bisa dilakukan, namun, kedua negara secara formal tidak memiliki perjanjian keimigrasian maupun ekstradisi tahanan.
Simak video pilihan berikut:
Sekilas Fenomena Pembelot ke Korea Utara
Membelotnya warga Korea Utara ke Korea Selatan adalah hal yang kerap ditemui, dengan warga negara mencoba melarikan diri dari kediktatoran tertutup ke negara demokratis yang lebih kaya.
Pembelotan semacam itu sangat berbahaya. Dalam beberapa kasus tentara telah menyeberangi perbatasan dengan berjalan kaki, seringkali di bawah hujan peluru.
Ada 1.127 pembelotan dari Utara ke Selatan pada 2017, menurut data dari Seoul
Pembelot biasanya diinterogasi oleh otoritas intelijen Korea Selatan, dan menghabiskan waktu di fasilitas yang dikelola pemerintah untuk pendidikan ulang, sebelum kembali berintegrasi dengan masyarakat.
Sebagian besar warga Korea Utara yang melarikan diri melakukannya melalui Tiongkok, yang memiliki perbatasan lebih panjang dengan Korea Utara.
Area itu lebih mudah untuk diseberangi daripada Zona Demiliterisasi (DMZ) yang dilindungi sangat ketat antara kedua Korea.
Tiongkok menganggap para pembelot sebagai migran ilegal, bukan pengungsi, dan seringkali memulangkan mereka secara paksa ke Korut.
Advertisement