Liputan6.com, Banyumas - Perang Jawa selama lima tahu pada 1825-1830 Masehi, melahirkan pahlawan-pahlawan yang sejarahnya tercatat dengan tinta emas. Tentu saja, tokoh utama Perang Jawa adalah Pangeran Diponegoro.
Dalam peperangan dan perjuangan melawan kolonial Belanda, sang Pangeran memiliki banyak pengikut. Beberapa di antaranya menjadi orang kepercayaan yang lantas menjadi tangan kanan.
Sebut saja, Ada Kiai Mojo. Kemudian, tercatat pula dalam sejarah, ada Alibasah Sentot Prawirodirjo, Pangeran Mangkubumi dan lain-lain.
Baca Juga
Advertisement
Di antara orang-orang kepercayaan itu, ada satu nama yang kedengaran asing. Padahal, ia adalah tangan kanan Pangeran Diponegoro di kawasan Mancanegara, Banyumas Raya.
Namanya, Kiai Singadipa. Nama lengkapnya adalah Eyang Kiai Ngabehi Singadipa. Kiai merujuk penhormatan dalam agama Islam. Sedangkan Ngabehi adalah elar kebangsaan dalam Budaya Jawa.
Kiai Singadipa adalah panglima atau lurah prajurit Pasukan Diponegoro untuk wilayah Banyumas Raya. Kepiawaiannya dalam mengatur strategi dan teknnik perang tak perlu diragukan.
Dia pun pandai dalam administrasi tata negara. Dan itu, diabadikan dalam namanya, Singadipa. Singa perkasa yang piawai mengurus negara.
Di luar kepiawaiannya berperang dan mengatur negara, ada satu strateginya yang terus dikenang dalam perang Jawa Pangeran Diponegoro yang panjang. Barangkali karena keunikannya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Memperkuat Jaringan Lewat Pernikahan
Sang panglima terkenal dengan strategi perangnya “Umpetan Jeroning Kemben”. Dalam bahasa Indonesia, bisa diartikan “Bersembunyi atau berlindung di balik kain kemben’. Dan kain kemben adalah kain para perempuan.
Kiai Singadipa menikahi perempuan di tempat yang disinggahi saat perang gerilya. Itu sebabnya, Kiai Singadipa memiliki istri yang banyak. Anak dan cucunya juga tersebar tak hanya di sebuah kawasan.
“Maksudnya agar anak keturunannya banyak. Kemudian nantinya menjadi pengikut dan melanjutkan perjuangannya,” kata Guno Purtopo, anggota Ikatan Keluarga Eyang Kiai Ngabehi Singadipa (IKS) dari jalur istrinya.
Salah satu anak keturunan yang masih lestari adalah cucu-cicit di Gumelar, lewat jalur Eyang Singarana. Di luar itu, banyak percabangan keluarga yang lantas membentuk IKS.
Pernikahan dengan perempuan desa yang disinggahi Panglima Pangeran Diponegoro ini adalah cara yang efektif untuk berjuang. Harapannya, kekuatan ikatan keluarga akan memperkuat daya juang masyarakat dan menambah kekuatan di kemudian hari.
Sempat menjabat Wedana Ajibarang, Kiai Singadipa wafat pada 1878 Masehi. Dia dimakamkan di Panembangan, Cilongok, Banyumas.
Hingga saat ini, kebesaran nama sang panglima masih terus dikenang. Tiap hari makamnya ramai dikunjungi peziarah. Tak hanya lokal Banyumas, banyak peziarah yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Beragam motif melatarbelakangi para peziarah. Ada yang terpinspirasi dari kepiawaian Kiai Singadipa bertata negara. Beberapa lainnya, berharap karomah sang panglima menjelang pesta politik.
Advertisement
Dorongan Agar Bergelar Pahlawan Nasional
Jumat, 8 November 2019, masyarakat berencana untuk berziarah di makam yang dikeramatkan ini. Dalam kesempatan itu, masyarakat, baik para keturunan Eyang Singadipa maupun masyarakat umum, akan berziarah, di Desa Panembangan, Kecamatan Cilongok.
Selain ziarah mereka juga akan menggelar acara kumpul sedulur serta pernyataan sikap menuntut pemerintah agar menjadikan tokoh yang memiliki nama resmi Kya Ngabehi Singadipa sebagai pahlawan nasional.
“Acara malam hari ini sebagai awal dari rangkaian agenda temu akbar yang digelar pada 9 November 2019 dengan kegiatan pengajian akbar, pembacaan narasi sejarah perjuangan Eyang Singadipa dan banyak kegiatan sosial," kata perwakilan dari Ikatan Keluarga Besar Singadipa (IKS), Bing Urip, dalam keterangan tertulisnya.
Dia mengemukakan, Narasi perjuangan Kiai Ngabehi Singadipa akan dibacakan oleh Bupati Banyumas, Achmad Husein. Adapun untuk petuah dari sang pahlawan yang dikenal sebagai panglima perangnya Pangeran Diponegoro itu akan dibacakan oleh para sesepuh.
Panitia pelaksana kegiatan, Untung Hidayat mengatakan, kegiatan ini untuk mempererat tali silaturahmi antarketurunan Kiai Ngabehi Singadipa. Di samping itu, temu akbar dilakukan untuk mempertegas identitas sosok Singadipa yang diyakini masyarakat Jawa Tengah dan sekitarnya sebagai tokoh pejuang pada era kolonialisme Hindia Belanda.
Selama ini Kiai Ngabehi Singadipa hampir tak pernah disinggung tentang perannya dalam perjuangan. Hanya makamnya saja yang ramai dikunjungi orang berbagai daerah karena dipercaya tuahnya.
Karenanya, untung berharap IKS dapat menjadi wadah untuk mewujudkan keinginan memunculkan identitas kepahlawanan Singa Dipa.
"Pertemuan ini akan membahas tuntas silsilah sosok Singadipa terlibat dalam membela tanah air,” Untung menjelaskan.