Memahami Sastra Sragen Lewat 'Tembang Tengah Musim'

Nama-nama besar penulis asal Sragen mulai Kho Ping Hoo, Danarto dan lainnya terus disambut regenerasi.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 10 Nov 2019, 13:00 WIB
Sastrawan Sus S Hardjono membacakan puisinya saat launching antologi "Tembang Tengah Musim". (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Sragen - Sastrawan Asmaraman S Kho Ping Hoo masih menjadi penulis cerita silat nomer wahid di Indonesia. Penulis asal Sragen Jawa Tengah ini, bahkan belum tergantikan dalam hal teknik bercerita nafas panjang. Belum lagi menyebut nama Danarto, Tito Setyobudi dan masih banyak lagi lainnya.

Launching antologi puisi "Tembang Tengah Musim" karya Sus S Hardjono menegaskan bahwa Sragen adalah lahan subur untuk dunia kepenulisan. Antologi yang memuat puisi-puisi Sus S Hardjono setebal 280 halaman ini bukan hanya dokumentasi karya Sus. Namun menilik puisinya, bisa dirunut iklim yang mampu membuat Sragen menjadi lahan subur kepenulisan.

Menghadirkan Mutia Sendja, pegiat sastra muda usia sebagai pembedah semakin mengukuhkan Sragen dalam peta sastra. Mutia yang mengaku belajar sastra, desain grafis, dan banyak ketrampilan lain secara otodidak ini mampu menjelaskan perjalanan kreatif Sus S Hardjono, meski hanya melalui karyanya.

"Bu Sus ini termasuk sastrawan produktif. Nyaris semua even sastra yang berskala besar pernah diikuti. Sejak saya belum lahir, malah karyanya sudah lahir dulu," kata Mutia.

Puisi-puisi yang terhimpun dalam "Tembang Tengah Musim" hanyalah sebagian kecil saja. Itu adalah dokumentasi karya sepanjang 2015-2017. Sus mulai menulis sejak tahun 1990-an.

"Jika kita cermati ada lebih 50 buku antologi puisi. Belum lagi karya lain berupa cerpen, novel dan lain-lain," kata Mutia.

Launching antologi "Tembang Tengah Musim" ini ditandai dengan pembacaan puisi-puisi yang termuat di dalamnya. Puisi-puisi ini kemudian dibedah dengan cerdas oleh Mutia Sendja, sastrawan muda usia asal Sragen.

 


Riset Kuat

Mutia Sendja, anak muda dengan kemampuan analisis satra yang bisa menjadi harapan Sragen. (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Sus S Hardjono meyakini bahwa pemilihan Mutia Sendja sebagai pembedah tak salah pilih. Meskipun masih muda, namun ia tergolong tajam menggunakan pisau analisisnya.

"Saya yakin sekaligus berharap dik Mutia ini akan menjadi penerima tongkat estafet pegiat sastra di Sragen. Apalagi saat ini adik kita itu sudah mengelola komunitas," kata Sus.

Secara cerdik, Sus juga menunjukkan kesepiannya dah hidupnya yang jauh dari peradaban kota. Melalui 34 puisi yang mengambuil judul nama-nama kota di dunia, Sus bisa menceritakan suasana batinnya. Namun siapa sangka jika ia sendiri belum pernah ke tempat-tempat itu. "Puncak Bukit Perugia, Dresden, Hamburg, Muenchen, Lyon, Mauseile" adalah judul-judul puisi yang menjebak pembaca.

"Banyak yang bertanya apakah saya pernah mengunjungi tempat-tempat itu," kata Sus.

Tak perlu dijelaskan, namun judul-judul dengan nama tempat itu nyatanya juga disertai riset mumpuni. Ini mengingatkan pada sosok Kho Ping Hoo yang ternyata juga belum pernah mengunjungi tempat-tempat yang dijadikan setting cerita.

"Kalau Kho Ping Hoo mampu secara detail dan ketika di cek secara faktual, semua mendekati nyata. Meskipun beliau belum pernah ke Tiongkok," kata Sus.

Simak video pilihan berikut:

 


Sragen dalam Peta Sastra

Penggurit Yanti S Sastro Prayitno membacakan puisi yang bercerita murninya cinta Rahwana kepada Sinta karya Sus S Hardjono. (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Sejumlah puisi Sus juga bernuansa absurd, seperti gaya Danarto. Puisi-puisi yang bertema motif batik klasik mampu diterjemahkan secara apik dan absurd. Selain itu, ada juga yang memotret kebobrokan pengelola negeri.

Dalam penjelasan di bio data, Sus S Hardjono juga aktif dalam gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK), sebuah gerakan sastra untuk kampanye anti korupsi bersama penyair Sosiawan Leak.

Sus S Hardjono selain sibuk menulis, ia tercatat sebagai guru MAN 1 Sragen. Melalui profesinya ini, ia mencoba mengajak para muridnya bersastra, melibatkan mereka dalam suplemen Kaki Langit di majalah sastra Horison.

"Menulis itu harus jujur dan ikhlas. Jujur kepada diri, ikhlas kepada proses dan hasilnya. Tak usah memiliki ekspektasi apapun," kata Sus saat membuka diskusi sastra dan bedah bukunya.

Apapun maknanya, nyatanya Sragen memiliki gaya bersastra sendiri. Meski berbeda, namun ada gairah pemberontakan yang sama. Akankah "Tembang Tengah Musim" menjadi salah satu pemantik bergairahnya kegiatan sastra di Sragen, sekaligus menjadi penegas bahwa Sragen memiliki kedudukan tersendiri dalam peta sastra Indonesia? Mari kita tunggu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya