Liputan6.com, Jakarta - Bung Tomo telah berjuang dengan pena dan senjata untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan salah satu sosok yang mengobarkan semangat pertempuran 10 November 1945.
Semangat itu dikobarkan karena Bung Tomo ingin Indonesia tetap merdeka. Dengan semangat yang dikobarkan Bung Tomo, rakyat Surabaya gagah berani untuk hadapi pasukan Inggris saat pertempuran 10 November 2019.
Melansir dari buku Bung Tomo, Hidup dan Mati Pengobar Semangat Tempur 10 November karya Abdul Waid menyebutkan, bila pada masa penjajahan ia berjuang melawan para penjajah demi kemerdekaan Indonesia. Di masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto, ia membela rakyat dari segala kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.
Baca Juga
Advertisement
Bung Tomo tetap berjuang membela kepentingan rakyat kecil dengan menyoroti segala kebijakan pemerintah. Ia tetap tidak takut, seperti ia berjuang melawan para penjajah.
Bung Tomo sering berseteru dengan Presiden Sukarno dan Soeharto karena perbedaan pendapat. Ia yang pernah menjadi Menteri Urusan Veteran pada Kabinet Burhanudin Harahap sekaligus menjadi anggota DPR RI pada 1950-an sering mengkritisi kebijakan pemerintah Sukarno dan Soeharto. Meski demikian, Sukarno tidak pernah mengambil tindakan frontal terhadap Bung Tomo.
Bahkan ia mengkritik dengan terang-terangan dan diketahui publik seccara luas. Tak hanya kepada pemimpin di Indonesia, ia juga kritis terhadap pemimpin negara lain yang ikut campur tangan terhadap urusan Indonesia. Contohnya ketika menjabat sebagai anggota DPR, Bung Tomo pernah kirim surat kepada Presiden AS Dwight D.Eisenhower yang ikut campur tangan terhadap urusan Indonesia.
Sikap Bung Tomo yang kritis tersebut mendatangkan risiko besar bagi dirinya. Bung Tomo pernah dipenjara pada 11 April 1978. Ia dipenjara tanpa proses peradilan sama sekali karena dituduh terlibat dalam peristiwa unjuk rasa para mahasiswa yang menentang kebijakan orde baru. Ia pun bebas pada 9 April 1979.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Wafat di Makkah dan Dimakamkan di TPU
Menginjak masa tua, Bung Tomo merasa kesepian. Situasi dan kondisi sudah sangat berubah jika dibandingkan dengan masa ketika menjadi pejuang. Ia pun berencana menunaikan ibadah haji. Ia menceritakan kepada istrinya untuk menunaikan ibadah haji. Akan tetapi terkendala ongkos naik haji (ONH) yang mahal. Keinginan pergi ke tanah suci demi mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Bung Tomo bersama keluarga berangkat ke tanah suci untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Akan tetapi, siapa sangka, keberangkatan Bung Tomo ke tanah suci justru menjemput ajalnya di sana. Ia tutup usia di tanah suci Makkah ketika menunaikan ibadah haji pada 7 Oktober 1981. Usia sudah cukup tua dan menderita penyakit yang sudah lama, membuat kesehatannya drop. Bung Tomo tutup usia saat wukuf.
Jenazah Bung Tomo pun dibawa ke Indonesia. Ini sesuai amanatnya sebelumnya meninggal untuk dimakamkan di negerinya sendiri.
Sebelum meninggal, Bung Tomo juga berpesan agar jenazahnya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU), bukan di taman makam pahlawan. TPU yang dipilih adalah TPU Ngagel di Surabaya. Hingga kini, makam Bung Tomo masih dikunjungi banyak orang.
Bung Tomo bukan hanya seorang pejuang yang tidak gentar berperang melawan para penjajah tetapi juga kritis terhadap pemerintahnya sendiri. Namun, hal itu membuat lika-liku mendapatkan gelar pahlawan nasional bagi Bung Tomo. Salah satu alasannya karena perjuangan Bung Tomo hanya bersifat lokal dan bukan nasional. Akan tetapi, hal itu dinilai alasan politis.
Meski demikian, akhirnya Bung Tomo mendapatkan gelar pahlawan nasional di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Penetapan Presiden SBY itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 041/TK/Tahun 2008 pada 6 November 2008 didasarkan pada hasil sidang Badan Pembina Pahlawan Pusat Tahun 2008 dan sidang Dewan Tanda-Tanda Kehormatan RI.
Advertisement