PDB Melemah, Resesi Menghantui 2 Negara Ekonomi Top Dunia Ini

Jerman dan Inggris, dua ekonomi top dunia, diperkirakan akan mengalami resesi, ketika mereka dijadwalkan akan merilis data perekonomiannya pekan ini.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 11 Nov 2019, 12:00 WIB
Ilustrasi ekonomi (foto: Pixabay)

Liputan6.com, Berlin - Jerman dan Inggris, dua ekonomi top dunia, diperkirakan akan mengalami resesi, ketika mereka dijadwalkan akan merilis data perekonomiannya pekan ini.

Ekonom yang disurvei oleh Reuters memprediksi, perekonomian Jerman, peringkat keempat terbesar dunia, menyusut 0,1 persen antara Juli dan September 2019 --menandai dua kuartal berturut-turut pertumbuhan negatif, demikian seperti dikutip dari 9News.com.au, Senin (11/11/2019).

Jerman akan mengungkapkan data ekonominya pada hari Kamis.

Diprediksi, Jerman --yang terdampak perang dagang, serta penurunan permintaan global untuk mobil-- bisa saja lolos dari resesi.

Pada September, mereka mengalami rebound ekspor tak terduga, yang tercatat naik 1,5 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Data Agustus juga direvisi naik.

"Dengan data hari ini, resesi secara teknis belum terjadi," kata Carsten Brzeski, kepala ekonom Jerman ING, mengatakan kepada klien, mencatat bahwa Jerman bisa menghindari kontraksi lain "pada menit terakhir."

Resesi atau tidak, kenyataannya adalah bahwa ekonomi Jerman, yang terbesar di Eropa, sangat lemah --Reuters melaporkan. Hal itu dapat membuat investor tersentak.

"Faktanya tetap bahwa ekonomi Jerman telah mengalami stagnasi de facto selama lebih dari setahun," kata Brzeski. "Ini jelas bukan hal yang menyenangkan," lanjut ekonom Jerman tersebut.

Simak video pilihan berikut ini:


Potensi Resesi Inggris

Bendera Inggris (iStock)

Sementara itu, Inggris akan melaporkan data PDB-nya pada Senin 11 November 2019 waktu setempat. Ekonomi negara itu menyusut untuk pertama kalinya sejak 2012 pada kuartal kedua karena pertumbuhan global dan kekhawatiran Brexit.

Tetapi, ekonom yang disurvei oleh Reuters berpikir negara itu akan menghindari resesi dengan mencatat pertumbuhan 0,4 persen antara Juli dan September 2019.

Pertumbuhan telah membelok tajam pada 2019, karena penimbunan pada awal tahun menjelang tenggat waktu awal Brexit pada 29 Maret lalu mendorong pertumbuhan sebesar 0,6 persen sebelum jatuh kembali karena perusahaan mengekang kembali belanja.

Sektor jasa Inggris yang dominan akan menjadi pendorong utama pertumbuhan, tetapi angka-angka datang beberapa hari setelah peringatan Bank of England tentang dampak memburuknya ekonomi global dan efek ketidakpastian Brexit pada pengeluaran bisnis dan rumah tangga. Kekhawatiran mendorong dua penentu tingkat untuk memilih penurunan suku bunga segera minggu lalu.

Kuartal terakhir juga akan melemah lagi karena efek distorsi dari batas waktu Brexit 31 Oktober 2019, yang kembali didesak mundur menjadi Desember 2019 atau Januari 2020. Ekonom Investec, Victoria Clarke mengharapkan "tidak jauh di atas nol" untuk bulan-bulan terakhir tahun ini, sementara Oxford Economics, Martin Beck mengatakan kenaikan 0,2 persen lebih lambat pada kuartal terakhir akan berarti pertumbuhan 1,3 persen untuk keseluruhan tahun --yang terlemah dalam sejarang Inggris sejak 2009.

Prospek pertumbuhan diperkirakan akan membaik jika kebuntuan Brexit akhirnya dipecahkan setelah pemilu sela parlemen pada Desember 2019 ini, the Telegraph melaporkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya