Perekrut ISIS Incar Pekerja Migran di Hong Kong dan Singapura, Mayoritas TKI

Laporan CNN menyebut, perekrut ISIS mengincar pekerja migran di Hong Kong dan Singapura, di mana mayoritas adalah TKI.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 11 Nov 2019, 13:01 WIB
Ilustrasi Anggota ISIS (AFP Photo)

Liputan6.com, Singapura - Selama enam hari dalam sepekan, ketiga perempuan ini bekerja sebagai pekerja rumah tangga di rumah-rumah warga Singapura.

Tetapi di waktu luang, mereka mempromosikan ISIS secara daring, menyumbangkan uang kepada militan di luar negeri, dan menjadi radikal hingga setidaknya seorang di antara mereka siap mati sebagai pembom bunuh diri di Suriah, menurut Kementerian Dalam Negeri Singapura.

Para wanita, semuanya warga negara Indonesia, ditangkap pada September 2019 di bawah Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri Singapura karena dicurigai ikut serta dalam kegiatan pendanaan teror dan menghadapi 10 tahun penjara dan denda hingga $ 500.000 dolar Singapura (sekitar Rp 5,1 miliar).

Seorang juru bicara KBRI Singapura dan Kemlu RI mengonfirmasi penangkapan dan mengatakan pihaknya memberikan pendampingan konsuler kepada para wanita, yang tidak memiliki perwakilan hukum karena mereka masih dalam penyelidikan.

"Pendampingan diberikan agar mereka memahami hak, kewajiban, dan proses hukumnya," kata seorang pejabat di Kemlu RI pada Oktober 2019 lalu.

Para wanita itu belum secara resmi didakwa, namun masih dalam tahanan. Di bawah undang-undang keamanan Singapura, mereka dapat ditahan hingga dua tahun sebelum mereka diadili.

Juru bicara pemerintah Singapura mengatakan, "Mereka dinilai menimbulkan ancaman keamanan mengingat dukungan mereka untuk ISIS dan penyelidikan atas kegiatan pendanaan terorisme mereka yang sedang berlangsung."

Kendati demikian, para ahli terorisme mengatakan mereka bukan satu-satunya pekerja rumah tangga yang diyakini telah diradikalisasi online ketika bekerja di kota-kota besar Asia seperti Singapura dan Hong Kong, demikian seperti diwartakan CNN, sebagaimana disadur Liputan6.com pada Senin (11/11/2019).

Ketika ISIS mengalihkan pandangannya ke Asia setelah jatuhnya kekhalifahan di Timur Tengah, para perempuan itu semakin menjadi sasaran, meskipun dengan cara yang kurang terorganisir, para ahli memperingatkan.

"Mereka dimangsa dan dieksploitasi oleh sel-sel militan yang pada dasarnya melihatnya sebagai sapi perah," kata Nava Nuraniyah, seorang peneliti di Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), sebuah think tank di Indonesia kepada CNN.

"Mereka memiliki penghasilan yang stabil, berbicara bahasa Inggris dan biasanya memiliki jaringan internasional yang luas, menjadikan mereka (target) ideal."

Simak video pilihan berikut:


Mayoritas TKI Jadi Target

Ilustrasi ISIS (Liputan6.com/Abdillah)

Perempuan semacam itu mewakili sebagian kecil dari sekitar 250.000 pekerja rumah tangga migran yang tinggal di Singapura dan dari 385.000 yang tinggal di Hong Kong.

"Sebagian besar pekerja asing patuh hukum dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat kita," kata juru bicara Kementerian Dalam Negeri Singapura.

"Namun, masih ada individu yang terus diradikalisasi oleh ideologi kekerasan ISIS," lanjut kementerian itu.

Sebagian besar kasus yang diidentifikasi sejauh ini melibatkan warga negara Indonesia, menurut para ahli terorisme.

CNN berusaha menghubungi tiga wanita Indonesia yang ditahan di Singapura tetapi tidak dapat memberikan komentar.

Antara 2015 dan 2017, IPAC melakukan penyelidikan sendiri terhadap radikalisasi pekerja rumah tangga dan mendapati ada "spektrum radikal" dari setidaknya 50 perempuan Indonesia yang bekerja di luar negeri sebagai pengasuh anak, pembantu rumah tangga atau pengasuh untuk lansia.

Di antara mereka, 43 berbasis di Hong Kong, empat di Singapura dan tiga di Taiwan. Karena sulitnya mendapatkan data dan kesaksian langsung, ini adalah angka terbaru yang tersedia.

Menurut sebuah sumber di Indonesia dengan pengetahuan tentang militan yang diradikalisasi yang dikembalikan ke negara asalnya, setidaknya 20 pekerja rumah tangga yang teradikalisasi dideportasi kembali ke Indonesia, sebuah negara yang memiliki populasi Muslim terbesar di dunia, termasuk tiga yang saat ini sedang menjalani program deradikalisasi yang dijalankan bekerja sama dengan pemerintah.

Untuk segelintir wanita yang menjadi radikal, prosesnya biasanya dimulai dengan peristiwa traumatis, menurut peneliti IPAC, Nuraniyah. Dan radikalisasi bisa sangat cepat.

Laporan IPAC merinci kasus salah satu pekerja rumah tangga Indonesia di Hong Kong yang beralih dari penggemar mode sekuler menjadi pemuja ISIS dalam waktu kurang dari setahun.

"Mereka biasanya telah melalui perceraian, berutang atau menderita goncangan budaya pindah ke tempat yang sangat berbeda dari rumah, yang semuanya merupakan masalah umum yang dihadapi oleh pekerja migran," kata Nuraniyah.

Tinggal jauh dari rumah di lingkungan yang asing, kadang-kadang terkena perlakuan buruk oleh majikan yang tidak bermoral, mereka sangat rentan terhadap indoktrinasi online.

"Mereka kesepian sehingga mereka merasa perlu untuk terlibat dengan komunitas Indonesia, baik secara online atau dalam kehidupan nyata," kata Diovio Alfath, seorang petugas program di Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Ekstremisme Kekerasan atau C-Save, sebuah organisasi Indonesia yang membantu merehabilitasi korban radikalisasi.

"Tetapi karena tidak memiliki jejaring sosial yang biasanya mereka tuju untuk meminta nasihat, mereka tidak siap untuk berurusan dengan pesan radikal yang diumpankan kepada mereka."


Pacar Online

Ilustrasi wanita pengikut ISIS di Singapura. (AFP)

Mereka mungkin sudah memiliki kontak pro-ISIS di teman-teman Facebook mereka dan berpaling padanya atau mencari halaman-halaman militan terkemuka, kata Nuraniyah dari IPAC.

Beberapa direkrut oleh pekerja rumah tangga lain di sebuah pengajian atau pada pertemuan sosial pada hari libur mereka, menurut IPAC.

Seringkali, ini adalah jalan dua arah: pekerja rumah tangga mungkin mengambil langkah pertama dengan menjangkau para militan. Sebagai imbalannya, banyak yang kemudian dengan cepat dibawa ke dalam kelompok-kelompok radikal dan dipersiapkan untuk menjadi militan.

"Saya mulai mendengarkan podcast Salafi saat membersihkan rumah," kata seorang pembantu Indonesia dari Semarang yang bekerja di Singapura kepada IPAC --menurut sebuah transkrip wawancara yang dilihat oleh CNN. Salafi mengacu pada cabang Islam yang ketat dan ortodoks.

"Di Facebook, saya mengikuti orang-orang yang profilnya tampak sangat Islami karena saya membutuhkan teman yang bisa membimbing saya."

Dia mengatakan dia sangat tersentuh oleh akun Instagram yang menampilkan gambar-gambar grafik dari para korban Muslim di Suriah.

Kemudian dia berkenalan secara online dengan seorang tukang daging Indonesia berusia 29 tahun yang tinggal di Batam. Dia mengatakan, pria itu mendorongnya untuk melakukan perjalanan ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS di sana. Tetapi pemerintah Singapura mengetahui tentang rencananya dan mendeportasinya kembali ke Indonesia pada tahun 2017, menurut Nuraniyah.

Titik kritis biasanya datang setelah para wanita menjalin hubungan pribadi dengan militan online yang menjadi "pacar" mereka, katanya. Mereka kemudian diundang untuk bergabung dengan ruang obrolan khusus pada aplikasi terenkripsi --Telegram adalah contoh primer.

"Di sinilah hal-hal nyata terjadi, di mana desain bom dibagikan dan koordinasi aktif terjadi," kata Zachary Abuza, seorang ahli operasi ISIS di Asia Tenggara di National War College di Washington.

Sebagai contoh, katanya, ada beberapa ratus kelompok di Telegram --sebuah aplikasi terenkripsi yang sering digunakan oleh ISIS-- untuk simpatisan gerakan Islam, banyak di antaranya memiliki konten yang disusun khusus untuk wanita, seperti saran tentang masalah feminin dan membesarkan anak.

CNN telah menjangkau Telegram tetapi perusahaan tidak menanggapi permintaan komentar.

Setelah proses radikalisasi selesai, sejumlah kecil pekerja rumah tangga menikahi pacar jihad mereka.

Seorang perempuan Indonesia yang bekerja di Hong Kong kembali ke Banten, di Jawa Barat, pada 2015 untuk menjadi istri kedua Adi Jihadi, seorang militan yang ditangkap pada 2017 karena membeli senjata dan mengikuti pelatihan di Mindanao bersama Isnilon Hapilon, yang telah mendeklarasikan diri sebagai emir ISIS untuk Asia Tenggara.

Adi Jihadi kemudian mengaku mendanai senjata yang digunakan dalam serangan Sarinah-Thamrin 2016 di Jakarta di mana delapan orang tewas dan dihukum karena ini.

Pekerja rumah tangga radikal lainnya mengambil peran yang lebih aktif, menjadi pemodal, perekrut dan koordinator.

"Beberapa pekerja rumah tangga yang datang melalui program kami terlibat dalam memberikan dukungan finansial atau logistik --seperti memberikan penampungan bagi militan dalam perjalanan mereka ke Suriah-- untuk jaringan radikal," kata Diovio Alfath dari Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Ekstremisme Kekerasan atau C-Save.

Seorang wanita berusia 36 tahun dari Jawa Tengah, yang diduga tokoh terkemuka dalam komunitas pro-ISIS di Hong Kong, mengumpulkan dana dari pembantu rumah tangga yang diradikalisasi dan mengirimkannya ke organisasi jihadis di Indonesia, menurut posting media sosial dan wawancara yang dilakukan oleh IPAC.

Perempuan itu juga mengatur tiket pesawat untuk militan Indonesia yang bepergian ke Suriah, seringkali melalui Hong Kong, menurut sumber yang sama.

Pada hari liburnya, dia kadang-kadang menghadiri kelas-kelas oleh Serving Islam Team, sebuah organisasi yang didirikan oleh Wael Ibrahim, seorang bintang pop Mesir yang berubah menjadi sarjana Salafi.

"Dia biasanya datang dengan seorang teman dan sangat tenang selama pelajaran," katanya kepada CNN.

"Tapi setelah itu, dia akan dengan kuat mempertanyakan mengapa kita tidak mendukung ISIS."

Wael Ibrahim akhirnya mengusirnya dari kelasnya. Pada Juli 2017, perempuan itu dideportasi kembali ke Indonesia, di mana dia tinggal, menurut Nuraniyah.

Beberapa pekerja rumah tangga yang teradikalisasi bahkan bepergian ke zona perang.

Dari 50 pekerja rumah tangga yang teradikalisasi yang diidentifikasi oleh IPAC, setidaknya 12 telah berupaya untuk mencapai Suriah melalui Hong Kong, pada Juni 2017. Empat orang berhasil ke Suriah, sisanya dicegat dan dideportasi kembali ke Indonesia, menurut laporan IPAC.

C-Save juga melaporkan kejadian yang sama, di mana pekerja rumah tangga yang berusaha mencapai Suriah.

Dua dari perempuan Indonesia yang ditangkap di Singapura menyembunyikan niat untuk melakukan perjalanan ke Suriah, salah satu dari mereka bahkan mengklaim bahwa ia ingin menjadi pembom bunuh diri untuk ISIS di Suriah, klaim pihak berwenang.


Destinasi Baru

Ilustrasi militan ISIS (AFP)

Soal penangkapan tiga peremuan di Singapura, Kementerian Dalam Negeri negara itu mengatakan bahwa dua di antaranya didorong oleh kontak online mereka untuk bermigrasi ke Filipina selatan.

Para ahli mengatakan ISIS telah memperkuat pijakannya di Asia Tenggara, dan simpatisan ISIS --termasuk pekerja rumah tangga yang teradikalisasi-- baru-baru ini mulai menetapkan pandangan mereka pada Filipina sebagai tujuan.

"Setelah 2017, begitu ISIS mulai kehilangan wilayah di Timur Tengah, pesannya bergeser," kata Zachary Abuza, seorang ahli operasi ISIS di Asia Tenggara di National War College di Washington.

"Kelompok itu mulai mendorong para militan untuk melakukan perjalanan ke Mindanao, di Filipina, dan mendirikan sebuah kekhalifahan di sana."

Beberapa organisasi Islam di Filipina dan Indonesia --termasuk Abu Sayyaf, Maute, dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD)-- telah berjanji setia kepada ISIS.

Beberapa orang ditangkap baru-baru ini di Sabah, sebuah negara bagian Malaysia di pulau Kalimantan, karena membantu simpatisan ISIS dalam perjalanan mereka ke Filipina --kata Ayob Khan Mydin Pitchay, seorang pejabat anti-terorisme Malaysia, memaparkan kepada Malay Mail, September 2019 lalu.

Pada 2017, para militan ISIS merebut kota Marawi di Mindanao, yang mengarah ke pengepungan lima bulan, yang baru tuntas pada bulan Oktober 2017 setelah kematian para pemimpin militan; Omar Maute dan Isnilon Hapilon, yang dianggap sebagai emir ISIS di Asia.

Jatuhnya ISIS di Suriah dan Irak juga menyebabkan peningkatan upaya rekrutmen online yang menargetkan Muslim di Malaysia dan Singapura, menurut Abuza.

"Sejak jatuhnya kekhalifahan, dorongan perekrutan terus berlanjut," tambah Diovio Alfath dari Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Ekstremisme Kekerasan atau C-Save.

"Tetapi mereka menjadi kurang terorganisir. Alih-alih perintah yang datang dari atas, mereka sekarang berasal dari kelompok-kelompok lokal di Indonesia atau bahkan dari individu militan."

Rekrutmen tersebut meluas hingga melatih pekerja rumah tangga untuk melakukan serangan bunuh diri, menurut IPAC.

Seorang mantan pekerja rumah tangga di Taiwan dan Singapura, Dian Yuli Novi yang berusia 27 tahun berencana meledakkan dirinya di luar istana kepresidenan di Jakarta. Pada Agustus 2017, dia dijatuhi hukuman tujuh setengah tahun penjara, menurut Reuters.

Pada Desember 2016, seorang wanita yang diduga menjadi pelaku bom bunuh diri ditangkap di Jawa Tengah. Diduga teradikalisasi di Hong Kong selama waktunya di sana sebagai pekerja rumah tangga, Ika Puspitasari yang berusia 34 tahun telah kembali ke Indonesia untuk menikah dengan pria yang ditemuinya secara online pada 2015, menurut IPAC.

Pihak berwenang mengatakan, dia kemudian mengajukan diri untuk melakukan serangan bom di Bali pada Malam Tahun Baru. Dia dijatuhi hukuman empat tahun enam bulan penjara dan denda pada tahun 2017.


Dimonitor

Ilustrasi ISIS (Liputan6.com/Sangaji)

Rekrutmen pekerja rumah tangga di Hong Kong dan Singapura tidak luput dari perhatian.

"Pemerintah di negara tuan rumah mereka secara aktif memantau pos media sosial dan kelompok diskusi untuk mencari konten terkait terorisme," kata Diovio Alfath dari C-Save.

"Jika mereka menemukan pesan radikal yang diterbitkan oleh seorang pekerja migran, mereka akan bergerak untuk mendeportasinya."

Singapura telah mendeportasi 16 pekerja rumah tangga yang diradikalisasi kembali ke Indonesia sejak 2015 setelah menyelesaikan investigasi dalam kasus mereka, menurut juru bicara Kementerian Dalam Negeri Singapura.

Hong Kong menolak untuk memberikan angka jumlah pembantu rumah tangga yang telah dideportasi, tetapi seorang juru bicara kepolisian mengatakan bahwa "terus mengawasi tren teroris internasional dan terus menilai ancaman teroris ke Hong Kong," dengan bertukar intelijen dengan lembaga penegak hukum lainnya dan melakukan latihan multi-agensi.

Pada 2018, unit anti-terorisme antar-departemen di Hong Kong dibentuk.

Singapura telah bekerja erat dengan organisasi keagamaan lokal dan kelompok rehabilitasi untuk terlibat dengan komunitas pekerja rumah tangga asing melalui acara penjangkauan di masjid-masjid dan kedutaan asing, menurut juru bicara pemerintah.

Acara-acara ini berfungsi untuk mengajarkan mereka tentang nilai-nilai sosial multi-agama Singapura dan untuk memperingatkan mereka tentang kelompok-kelompok ekstremis, tambahnya.

Kementerian Tenaga Kerja Singapura juga menyelenggarakan briefing untuk agen ketenagakerjaan dan telah memasukkan modul anti-terorisme dalam program penyelesaiannya untuk pekerja rumah tangga asing.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya