Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pihaknya masih menghitung anggaran untuk menutup kebutuhan biaya BPJS Kesehatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Seperti diketahui, pemerintah akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan mulai 1 Januari mendatang.
"Kan kita membahas akan sesuai dengan perpres. Untuk membayar yang ASN, untuk yang PBI, dan yang untuk daerah. Itu nanti itu yang akan kita hitung. Jumlahnya masing-masing nanti akan dihitungnya," ujar Sri Mulyani di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (11/11).
Advertisement
Mengutip Perpres Nomor 75 Tahun 2019, pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan bagi seluruh kategori peserta. Baik Penerima Bantuan Iuran (PBI), Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri, serta Peserta Penerima Upah (PPU) badan usaha swasta maupun PPU pemerintah.
Walau iuran PPU pemerintah dan perangkatnya naik, tetap akan ada penambahan anggaran dari negara untuk membantu menutup kebutuhan itu. Negara nantinya akan membayar iuran bagi pejabat pemerintah, pimpinan dan anggota DPRD, PNS, prajurit TNI, anggota Polri, serta kepala desa dan perangkat desa.
Adapun besarnya iuran BPJS Kesehatan untuk PPU pemerintah yakni 5 persen dari total gaji. Dari jumlah tersebut, 4 persen dibayarkan negara, sisanya 1 persen dipotong dari gaji. Angka tersebut naik jika dibandingkan dengan tahun-tahun lalu yaitu 3 persen dibayar pemerintah dan sisanya 2 persen dibayar oleh peserta.
Dengan aturan baru tersebut maka, negara yang tadinya mengeluarkan anggaran sekitar Rp240.000 per orang per bulan, meningkat menjadi Rp480.000 per orang per bulan. Perhitungan tersebut belum sepenuhnya dibayarkan sebab masih menunggu pembahasan oleh Kementerian Keuangan. "(Kapan dibayarkan? Segera saja," jelas Sri Mulyani.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pengusaha: Momentum Kenaikan BPJS Kesehatan Tak Tepat
Kenaikan biaya BPJS Kesehatan sebanyak 100 persen kurang mendapat respons positif dari pengusaha. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani berkata kenaikan premi ini bisa membuat pihak pengusaha cemas.
Shinta berkata pihak pengusaha memahami mengapa iuran BPJS harus naik, akan tetapi ia menilai momentum kenaikan iuran juga tidak tepat, pasalnya bisnis sedang mengalami perlambatan. Kenaikan iuran BPJS kesehatan juga terjadi di tengah ancaman krisis global antara tahun 2020-2021 yang diprediksi para ekonom internasional.
"Momentumnya tidak tepat. Pelaku usaha saat ini sedang dihadapkan pada kondisi yang sulit. Pasar kita sedang melemah di dalam dan di luar negeri dan dalam waktu satu sampai dua tahun ke depan semua analis ekonomi memproyeksikan adanya krisis global karena indikator-indikator krisis sudah semakin jelas, termasuk di Indonesia ada pelemahan dan stagnasi pertumbuhan ekonomi domestik," jelasnya Liputan6.com, Senin (4/11/2019).
Hal lain yang disorot Shinta adalah adanya upah minimum pada tahun 2020. Naiknya upah dan iuran BPJS Kesehatan pada tahun yang sama pun dikhawatirkan memberi dampak ke pengusaha yang selama ini masih terkekang beban-beban regulasi.
Biaya tenaga kerja pun dikhawatirkan semakin mahal karena naiknya iuran BPJS Kesehatan. Itu dinilai belum proporsional dengan kenaikan produkvitas maupun skill tenaga kerja yang masih stagnan.
"Kami harap pemerintah mengatur momentum kenaikan BPJS agar tidak dilakukan pada masa-masa pasar dan pertumbuhan ekonomi kita melemah karena ini hanya memperburuk beban kinerja perusahaan," ujar Shinta.
Advertisement
Tak Ada Lagi Kenaikan
Wanita yang juga aktif di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) ini pun berharap agar tidak ada lagi kenaikan BPJS hingga 100 persen. Pemerintah pun diminta bisa memperbaiki model bisnis BPJS agar ada keseimbangan antara manfaat, beban iuran, serta adanya mekanisme menjaga BPJS Kesehatan dari defisit.
"Pelaku usaha berharap BPJS tidak lagi naik sampai 100 persen dan memiliki periode review yang lebih jelas serta mekanisme review yang lebih transparan," tegasnya.