Sikap PWNU soal Imbauan MUI Jatim Tak Ucapkan Salam Lintas Agama

Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) Jawa Timur (Jatim) menyampaikan pernyataan sikap tidak melarang dan tidak menyuruh seorang pejabat untuk mengucapkan salam lintas agama.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 12 Nov 2019, 22:00 WIB
Pengurus wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Surabaya - Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PWNU) Jawa Timur (Jatim) menyampaikan pernyataan sikap tidak melarang dan tidak menyuruh seorang pejabat untuk mengucapkan salam lintas agama. 

Khatib Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Syafrudin Syarif menyampaikan, setelah mengadakan rapat yang cukup mendalam, Bahtsul Masail atau pembahasan permasalahan ini dengan nilai - nilai fiqih yang dimulai dari pukul 10.00 WIB tadi, menghasilkan keputusan sebagai berikut. 

"Keputusan Bahtsul Masail pengurus wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur tentang hukum salam lintas agama, Islam agama rahmatan, Islam sebagai agama rahmatan selalu menebarkan pesan - pesan kedamaian di tengah manusia, pesan kedamaian dalam wujud menebarkan salam secara verbal," tuturnya di Kantor PWNU Jatim, Selasa (12/11/2019). 

Dia menjelaskan, salam secara verbal juga telah menjadi tradisi agama Tauhid sejak Nabi Adam yang terus diwarisi hingga sekarang ini. "Salam secara verbal merupakan tradisi Nabi Adam dan keturunannya dari para nabi dan para wali Nabi Ibrahim," kata dia. 

"Nabi Ibrahim mengucapkan salam kepada ayahnya yang masih belum bertauhid, Nabi Muhammad pernah mengucapkan salam kepada penyembah berhala dan golongan Yahudi yang sedang berkumpul bersama kaum muslimin," ia menambahkan. 

Dia menjabarkan, sebagian generasi sahabat dan setelahnya juga mengucapkan salam, karena itu menjadi sangat wajar tradisi. "Menebarkan salam sebagai pesan kedamaian menjadi tradisi universal manusia lintas adat budaya dan agama dengan berbagai model cara dan berbagai dinamika zamannya," ujarnya. 

Dia mengungkap, berkaitan hal itu yang belakangan menjadi polemik praktik mengucapkan salam dari berbagai tradisi agama yang dilakukan oleh para pejabat, seiring kemajemukan masyarakat tidak terhindarkan diskusi di ruang publik pun semakin ramai merespons hal tersebut 

"Dalam kondisi demikian, pengurus wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur terpanggil hadir untuk mengkajinya secara ilmiah dalam perspektif fiqih Islam sebagai bagian hikmahnya kepada masyarakat bangsa dan negara," tutur dia. 

Dia menuturkan, hukum salam lintas agama atau mengucapkan salam dari berbagai tradisi agama yang dilakukan oleh pejabat muslim dalam acara yang dihadiri oleh lintas agama, jawabnya adalah bagi pejabat muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. 

"Atau diikuti dengan ucapan salam nasional seperti selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua dan sebagainya," ucapnya. 

Lebih lanjut ia menuturkan, dalam kondisi dan situasi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Selanjutnya

Dia menuturkan, pendapat ini mempunyai referensi yang cukup panjang dan banyak sekali antara lain dari kitab Mahmudiyah. "Dalam penjelasannya karena kemaslahatan diperbolehkan salam kepada orang kafir ketika dibutuhkan," ucapnya. 

Begitu juga di dalam kitab Asybah Wan Nadhoir, diperbolehkan seorang muslim kepada muslim memakai tanda- tanda orang kafir, itu diperbolehkan kalau ada kemaslahatan untuk orang muslim. 

"Jadi ini referensinya ditulis supaya kita semuanya tahu bahwa pembahasan ini tidak hanya dengan memakai akal pikiran saja tetapi dengan pendapat para ulama ulama terdahulu," ujar dia. 

Dia menegaskan, karena salam lintas agama ini sudah menjadi polemik di masyarakat, PWNU Jawa Timur mengadakan kajian secara fiqhiyah dan itulah jawabannya, kalau ada maslahat, kemudian ada hajat, maka silahkan untuk mengucapkan salam lintas agama. 

"Salam lintas agama bagi kami tidak melarang dan tidak menyuruh, hanya kalau tidak ada hal yang diperlukan sebaiknya tidak usah mengucapkan salam lintas agama tapi kalau ada maslahat, ya silahkan," ucapnya. 


MUI Jatim Pejabat Tak Ucapkan Salam Agama Lain

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur (Jatim) mengeluarkan surat edaran berisi imbauan agar para pejabat dan siapapun tidak mengucapkan salam atau kalimat pembuka dari semua agama saat acara resmi.

Hal ini karena kalimat dan salam dari agama dianggap berkaitan dengan masalah keyakinan atau akidah agama tertentu. Imbauan itu dikeluarkan dalam surat edaran yang ditandatangani oleh Ketua MUI Jatim KH.Abdusshomad Buchori dan Sekretaris Umum Ainul Yaqin.

Pada surat itu, MUI Jatim mengeluarkan delapan poin tausiah atau rekomendasi yang merujuk pada hasil rapat kerja nasional (rakernas) MUI 2019 di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Oktober 2019.

Ketua MUI Jatim KH.Abdusshomad Buchori membenarkan surat itu memang resmi dikeluarkan oleh pihaknya.

“Ini (hasil) pertemuan MUI di NTB ada rakernas rekomendasinya, itu tidak boleh salam sederat itu semua agama yang dibacakan oleh pejabat,” ujar Abdusshomad, saat dihubungi Merdeka.com, Senin, 11 November 2019.

Ia menuturkan, dalam Islam, salam merupakan doa, sehingga hal itu tidak terpisahkan dari ibadah. Selain itu, salam pembuka dalam agama Islam dianggapnya bukan bagian dari sekadar basa-basi.

“Salam, Assalamualaikum itu doa, salam itu termasuk doa dan doa itu ibadah.Sehingga kalau saya menyebut Assalamulaikum itu doa semoga Allah SWT memberi keselamatan kepada kamu sekalian dan itu salam umat Islam,” ujar dia.

Ia menambahkan, berarti kurang lebih sama soal penyebutan salam dari agama yang lain, tentu memiliki arti tersendiri dan merupakan doa kepada Tuhannya masing-masing.

Ia kembali menegaskan, jika si pengucap salam ini beragama Islam maka dimintanya untuk mengucapkan Assalaamu’alaikum.  Begitu juga jika si pengucap salam ini beragama lain, ucapkanlah salam dengan cara agama lain  pula.

“Misalnya pejabat, seorang gubernur, seorang presiden, wakil presiden, para menteri, kalau dia agamanya Muslim ya Asslamualaikum. Tapi mungkin kalau Gubernur Bali ya dia pakai salam Hindu,” tutur dia.

Bagaimana dengan persoalan toleransi?

Abdusshomad juga tak setuju jika pengucapan salam seluruh agama sekaligus itu disebut sebagai bentuk toleransi dan upaya menghargai perbedaan. Ia menuturkan, salam tak semestinya dicampuradukkan, jika dilakukan hal itu justru merusak ajaran agama tertentu.

"Enggak. Prinsipnya kita setuju soal perbedaan, saling menghormati, maupun menghargai. Tapi bukan berarti, menyebutkan salam semua, itu malah merusak ajaran agama tertentu,” ujar dia.

 

Reporter: Erwin Yohannes

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya