Pelaku Industri Kesehatan Bakal Dapat Manfaat Revolusi Industri 4.0

Indonesia saat ini memasuki era awal revolusi industri 4.0 yang menekankan perubahan berbagai sektor karena teknologi digital. Dampak dari kondisi itu tidak dapat dihindari dalam bidang sektor kesehatan.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 13 Nov 2019, 00:00 WIB
Wakil Rektor I Universitas Airlangga, Prof. Djoko Santoso. (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Surabaya - Indonesia saat ini memasuki era awal revolusi industri 4.0 yang menekankan perubahan berbagai sektor  karena teknologi digital. Dampak dari kondisi itu tidak dapat dihindari dalam bidang sektor kesehatan.

Wakil Rektor I Universitas Airlangga, Prof. Djoko Santoso memberikan pendapatnya mengenai dampak perubahan itu dalam acara Seminar Nasional Revolusi Industri Kesehatan 4.0, Selasa (12/11/2019). 

Djoko menuturkan, pentingnya manajemen beban penyakit dan kebutuhan layanan teknologi kesehatan. Beban penyakit yang ada di Indonesia dibilang cukup banyak dengan beberapa kasus. Salah satunya kejadian luar biasa (KLB) difteri yang terjadi pada 2017 berjumlah 561 kasus dengan jumlah korban meninggal 32 orang.

"Kasus seperti ini (difteri, Red) jika tidak ada penanganan maka akan menjadi beban yang terus berlanjut," ujar dia.

Djoko juga menambahkan masalah BPJS dengan lima penyakit katastropik masih jauh dengan kata sejahtera. Penyakit jantung misalnya meningkat dari 4,1 juta ke 5,1 juta pada 2016 dengan beban biaya Rp 40 juta setiap orang per tahun.

Anggaran biaya cuci darah juga mengalami kenaikan pada 2017 dari Rp 3,9 triliun menjadi Rp 4,6 triliun. Dengan beban biaya tersebut, anggaran BPJS tidak selalu mampu menutupi. Pada 2017 anggaran BPJS mengalami defisit hingga Rp 9,8 triliun dan naik menjadi Rp 16,5 triliun pada 2018.

"Pada era revolusi industri 4.0, pelaku industri kesehatan akan sangat mendapatkan manfaat yang besar," ujar dia.

Djoko menuturkan, revolusi industri 4.0 dapat memudahkan pasien mengakses info kesehatan via ponsel pintarnya. Salah satunya melalui inhaler digital untuk pasien penyakit paru obstruktif menahun yang dapat digunakan untuk memantau data inhalasi secara real-time.

Tidak hanya itu, banyak aplikasi kesehatan buatan yang membantu para pelaku industri kesehatan untuk mendiagnosis paasien. IBM Watson Project adalah alat lain yang mampu menunjang data klinis individu pasien, riset, dan sosial. Kecanggihan IBM juga mampu memperkirakan kadar gula darah pasien dengan hanya streaming data dari insulin pump.

Teknologi genomic yang baru di revolusi industri 4.0 setidaknya mampu dihadapi dan dikembangkan oleh para pelaku industri kesehatan. Namun, perlu diketahui kode etik dokter tetap harus dijunjung dan menjunjung intuisi seorang dokter.

Majunya dunia kesehatan melalui digitalisasi membuat perawat harus mampu beradaptasi. Djoko menegaskan, perawat harus lebih inovatif untuk merespons bisnis yang cepat berubah.

Djoko menyimpulkan, ada kebijakan publik harus mengatur tidak adanya kesenjangan digital. Peran implementasi kaidah bioetika menjadi sangat penting untuk menjaga bidang kesehatan tetap berada dijalan yang seharusnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Kolaborasi Dibutuhkan di Sektor Kesehatan

Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar Seminar Nasional bertajuk “Revolusi Industri Kesehatan 4.0” pada Selasa (12/11/2019). (Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Selain itu, Djoko menuturkan, revolusi industi 4.0 akan berdampak baik bagi dunia kesehatan. Dia menuturkan, industri 4.0 akan melaju secara pesat dan eksponensial. 

"Diperkirakan bahwa sektor kesehatan akan mendapatkan manfaat yang besar dari fusi antara sistem fisik, digital, dan biologis di era industri 4.0,” tutur dia.

Djoko menuturkan, kolaborasi sangat dibutuhkan dalam sektor kesehatan. Penyedia layanan perawatan kesehatan harus bisa jauh lebih inovatif untuk merespon bisnis yang cepat berubah. "Meskipun demikian, sejauh apapun lesatan inovasi, jangan pernah lupakan fokus utama kita pada manusia," tegasnya. 

Sementara itu, Dr. drh. Didik Budijanto, M.Kes. menyampaikan, ada tiga kebijakan satu data kesehatan. Antara lain adalah standarisasi, interoperabilitas, dan akuntabilitas.

Lebih lanjut, dr. Slamet, MHP menyampaikan, ada beberapa tantangan pelayanan kesehatan. Di antaranya adalah cakupan kesehatan universal, keselamatan dan kualitas pelayanan serta aksesibilitas, ketersediaan, dan kesetaraan pelayanan.

"Teknologi ke depan akan terus berkembang, bahkan semakin maju dengan kecepatan yang tinggi sehingga hal tersebut harus dimanfaatkan seluas-luasnya," tutur dia.

Universitas Airlangga (UNAIR) menggelar Seminar Nasional bertajuk “Revolusi Industri Kesehatan 4.0” pada Selasa, 12 November 2019. Bertempat di Aula Garuda Mukti Lantai 5 Kampus C UNAIR, UNAIR mengundang tujuh pakar dari berbagai instansi terkemuka di Indonesia.

Dalam kegiatan tersebut, seminar nasional dibagi menjadi tiga sesi. Hadir sebagai pembicara pada sesi pertama di antaranya adalah Wakil Rektor I UNAIR Prof. Dr. Djoko Santoso, Ph. D., Sp.Pd.K-Gh. Finasim, Kepala Pusat Data dan Informasi Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI Dr. drh. Didik Budijanto, M.Kes., serta Staff Ahli Menteri Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi dr. Slamet, MHP.

Pada sesi kedua, hadir sebagai pembicara Dr. Dhany Arifianto, ST, MEng serta Dr. dr. Rahyussalim, SpOT(K). Adapun pada sesi ketiga, seminar diisi oleh CEO Prosehat Gregorius Bomantoro serta Ketua PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) Dr. dr. Lia G. Partakusuma, Sp.PK, MM, MARS.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya