Liputan6.com, Yogyakarta - Tiga dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta mengadakan pelatihan komunikasi empati bagi guru-guru SMP Muhammadiyah se-Bantul. Pelatihan yang menjadi bagian dari kegiatan pengabdian masyarakat itu diikuti oleh 16 guru Bimbingan dan Konseling (BK).
Sebelum memutuskan untuk menggelar pelatihan komunikasi empati, Alfi Purnama Sari, Siti Mulyani, dan Erlina Listyanti Widuri memperoleh informasi tentang hasil Focus Group Discussion (FGD) siswa-siswa di tiga SMP Muhammadiyah di Bantul.
Menurut siswa berdasarkan hasil FGD, guru sering marah-marah tanpa alasan yang jelas kepada siswanya, guru juga seringkali menegur meskipun siswanya tidak melakukan kesalahan, membanding-bandingkan siswa dengan siswa yang lainnya, serta memarahi siswa yang mendapat nilai jelek sehingga membuat siswa merasa down.
“Data itu menunjukkan ada permasalahan yang berkaitan dengan komunikasi antara guru dan siswa dan secara spesifik guru belum melakukan komunikasi empati kepada siswa-siswanya,” ujar Alfi Purnamasari, Kamis (14/11/2019).
Baca Juga
Advertisement
Padahal komunikasi empati penting untuk membangun kedekatan guru dan siswa. Cara paling sederhana yang bisa dilakukan guru adalah dengan menjaga kontak mata dan sejajar saat berkomunikasi, menjadi pendengar aktif, serta mengatur nada, ekspresi, dan intonasi saat berbicara.
Mereka bertiga memutuskan untuk memberikan guru-guru SMP Muhammadiyah di Bantul pelatihan komunikasi empatik yang bertujuan supaya guru lebih memahami, merasakan, dan mengalami, dan mengenal dampak komunikasi satu arah sehingga bisa membina pola komunikasi yang baik di dalam kehidupannya. Para dosen Fakultas Psikologi itu berharap melalui pelatihan ini, proses belajar mengajar menjadi lebih efektif dan menyenangkan bagi siswa.
Pelatihan pun dilakukan secara bertahap. Pertama, FGD untuk guru-guru Bimbingan Konseling (BK) yang bertugas di SMP atau MTs Muhammadiyah di Bantul. Tujuannya, untuk menggali permasalahan yang muncul pada saat guru berinteraksi dengan siswa-siswanya.
Hasil FGD menunjukkan persoalan yang terjadi di lingkungan sekolah, seperti, guru mata pelajaran yang tidak menerapkan komunikasi empati sehingga menimbulkan persoanal dengan guru BK karena perbedaan cara menangani siswa.
“Hasil temuan dari hasil FGD tersebut digunakan sebagai acuan dalam membuat modul pelatihan komunikasi empati,” kata Alfi.
Setelah itu, pelatihan komunikasi empati yang terdiri dari memahami komunikasi empati, strategi komunikasi terapeutik, dan role play dalam penanganan kasus siswa. Pelatihan ini juga tidak hanya sekali, melainkan berkelanjutan selama beberapa bulan untuk melihat dampak dari materi yang sudah diberikan.
Dalam pertemuan terakhir, sejumlah peserta mengungkapkan hasil penerapan materi kepada murid di sekolah masing-masing. Ia menuturkan, setelah mengikuti pelatihan guru menjadi lebih mampu untuk memahami siswa serta mengetahui cara-cara pendekatan yang efektif kepada siswa, serta lebih mendengarkan siswa saat berkomunikasi.