Liputan6.com, Banda Aceh - - Ada beberapa analisis mengapa Provinsi Aceh disebut-sebut sebagai selasar dari Makkah atau Serambi Makkah. Pakar sejawaran mengaitkannya dengan historisitas Aceh yang pada masa lalu muncul sebagai laboratorium bagi khazanah Islam di Asia Tenggara.
Ketua Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa), Mizuar Mahdi, menyebut Aceh sebagai episentrum kebudayaan Islam, terutama, pada masa Kerajaan Samudera Pasai sampai Aceh Darusalam. Aceh menjadi kiblat ilmu pengetahuan karena banyak ulama yang berasal dari Timur Tengah serta dari berbagai bangsa yang tinggal di sana.
Baca Juga
Advertisement
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya berbagai makam para ulama, dalam jumlah banyak, yang berasal dari berbagai bangsa di Aceh. Di antaranya, dari Arab Saudi, Irak, dan Turki.
Keberadaan para ulama ini menyebabkan orang-orang sekawasan Asia Tenggara datang ke Aceh untuk menimba ilmu agama. Konon, di Aceh terdapat sebuah universitas bernama Jami'ah Baiturrahman yang memiliki berbagai fakultas.
Penabalan selasar atau serambi kemungkinan besar muncul sebagai gambaran bahwa Aceh, sedikit banyak, hadir sebagai suatu wilayah yang dapat mengisi posisi Mekkah selaku pusat khazanah Islam saat itu. Sebutan tersebut, menurut Mizuar, mulai muncul dalam seratus tahun terakhir.
"Mungkin, karena itu dalam seratus tahun terakhir disebut Serambi Makkah. Tapi, memang, sebelum-sebelumnya, kita tidak mendapat penjelasan yang mengatakan bahwa Aceh itu Serambi Makkah," Mizuar, kepada Liputan6.com, Kamis sore (14/11/2019).
Menurut Mizuar, ketika Ibnu Batutah singgah ke Aceh, tepatnya, Kerajaan Samudera Pasai, ia menyebut kota yang disinggahinya sebagai Madinah (kota) Sumatera. Tidak ada penyebutan Serambi Makkah pada saat itu.
"Sumutrah atau Sumatera. Madinah itu bahasa Arab, maksudnya kota, bukan menyandingkan dengan Madinah. Tapi, memang, pada masa itu, dari Kerajaan Samudera Pasai gerak dakwah itu dilakukan ke berbagai kawasan kepulauan dilanjutkan pada masa Aceh Darusalam," terangnya.
Selain itu, banyak narasi yang menyebutkan bahwa titik penyebaran Islam di Nusantara berawal dari Aceh. Salah satu buktinya adalah alquran 'wangi' yang ditinggalkan Syekh Maulana Malik Ibrahim —kini berada di Kampung Meugo Rayeuk, Kabupaten Aceh Barat— sebelum berdakwah ke Pulau Jawa, dan menjadi angkatan pertama Wali Songo.
Terdapat pula narasi yang menyebutkan bahwa Aceh menjadi tempat transit para jemaah haji Nusantara. Kapal-kapal pengangkut jemaah haji yang akan mengarungi Samudra Hindia disebut-sebut menghabiskan waktu sampai enam bulan di Bandar Aceh Darussalam sebelum bergerak ke Makkah pada masa itu.
Ada pula yang mengatakan bahwa Kerajaan Aceh Darusalam pernah mendapat pengakuan dari Syarif Makkah atas nama Khalifah Islam di Turki. Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara merupakan protektorat Kerajaan Aceh Darusalam pada masa itu.