KSPI: Penghapusan UMK Bakal Rugikan Buruh

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) akan meninjau skema pengupahan terhadap buruh di kabupaten/kota.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 15 Nov 2019, 11:15 WIB
Aksi massa buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (1/6). Mereka menuntut kenaikan upah minimum DKI sebesar Rp 650 ribu. (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak wacana Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang akan meninjau skema pengupahan terhadap buruh di kabupaten/kota.

Sebab, asosiasi menilai, tidak tertutup kemungkinan nantinya Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dihapus dan hanya mengacu pada Upah Minimum Provinsi (UMP).

Sebagaimana disampaikan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, akan memungkinkan bila nanti skema pengupahan hanya mengacu pada UMP, termasuk untuk kabupaten/kota.

"Iya ada kemungkinan me-review UMP itu hanya satu. Jadi, tidak melihat UMK, provinsi maupun kabupaten/kota," kata dia beberapa waktu lalu.

Menanggapi pernyataan Menaker, Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan wacana tersebut ngawur, bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan secara sistematis akan memiskinkan kaum buruh.

"Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan diatur bahwa upah minimum terdiri atas upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota," seru dia dalam keterangan tertulis, Jumat (15/11/2019).

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa upah minimum berdasarkan wilayah kabupaten/kota sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun yang lalu. Oleh karena itu, tidak masuk akal apabila UMK hendak dihapuskan lantaran akan memicu perusahaan berlomba-lomba membayar upah buruh hanya sesuai UMP.

Dia mencontohkan UMP Jawa Barat pada 2019 adalah sebesar Rp 1,668,372. Sementara itu, UMK Jawa Barat tahun 2019 yang tertinggi ada di Kabupaten Karawang, yakni Rp 4.234.010. Sedangkan yang terendah terdapat di Kabupaten Pangandaran, sebesar Rp 1.714.673.

"Jika UMK ditiadakan, maka buruh di Karawang yang selama ini upahnya 4,2 juta hanya mendapatkan upah 1,6 juta," jelas Iqbal.

Said Iqbal heran dengan sikap pemerintah yang dinilainya selalu membuat kebijakan yang kontroversial, seperti wacana revisi UU Ketenagakerjaan dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

"Apa yang bisa dikatakan untuk kebijakan semacam ini kalau bukan ngawur dan secara sistematis memiskinkan kaum buruh," tegasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Kadin Khawatir Investor Cabut ke Luar Negeri Akibat UMP Naik Terus

Ribuan buruh berjalan menuju Istana Negara, Jakarta, Kamis (29/9). Dalam aksinya mereka menolak Tax Amnesty serta menaikan upah minumum provinsi (UMP) sebesar Rp650 ribu per bulan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani mengkhawatirkan perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia merelokasi bisnis ke negara lain. Hal tersebut merupakan imbas dari kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 8,51 persen pada 2020.

Rosan menjelaskan, kenaikan UMP bakal memancing perusahaan merelokasi pabriknya dari provinsi yang upahnya tinggi ke provinsi yang upahnya masih cenderung rendah.

"Ini kalau dilihat dari pertumbuhannya yang sangat tinggi, industri makin lama akan makin pindah. Kemana? Salah satunya ke Jawa Tengah," kata dia, di Jakarta, Selasa (5/11/2019).

Hal tersebut tentu belum terlalu menjadi persoalan. Namun, perlu dikhawatirkan jika pelaku usaha kemudian memutuskan angkat kaki dari Indonesia.

"Tapi kalau pindahnya ke luar? Kan akan jadi non-produktif UMR ini. Kalau naiknya tinggi, tapi tidak ada investasi masuk, kemudian yang ada malah relokasi, kan jadi rugi," imbuhnya.

Menurut dia memang mesti dicari keselarasan. Misalnya kenaikan UMP untuk setiap daerah tidak sama persentasenya.

"Kalau kenaikan makin tinggi, selalu sama di semua daerah, kan gap-nya makin lama makn tinggi. Sedangkan dari segi produktivitas tidak terkejar. Itu juga yang kita berikan masukan ke pemerintah," ungkapnya.

Pihaknya sudah memberikan masukan ke pemerintah agar kenaikan UMP dilihat dulu per daerah. Kemudian perlu juga dilihat industri apa yang sudah berkembang di daerah itu apa, dan bagaimana segi penyerapan tenaga kerjanya.

"Jadi jangan disamaratakan dulu. Karena yang 1 daerah sudah Rp 4 juta terus satu lagi masih Rp 1,7 juta, naiknya sama kan akan terus ada gap. Akibatnya pasti pindah ke yang (upahnya) lebih rendah. Yang kita khawatirkan pindahnya enggak ke sesama provinsi, tapi ke negara lain," ucap Rosan. 

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya