SKCK, Horor Mantan Narapidana Melanjutkan Hidup

Surat Keterangan Catatan Kepolisian atau SKCK saat ini menjadi prasyarat warga untuk bekerja di sebuah instansi. Polisi masuk terlalu dalam pada hak warga untuk mendapatkan kesetaraan, padahal napi tersebut telah menjalani hukuman fisik.

oleh Nanda Perdana PutraAdy AnugrahadiMuhammad Radityo PriyasmoroYopi Makdori diperbarui 15 Nov 2019, 12:30 WIB
Ilustrasi penjara (AFP)

Liputan6.com, Jakarta Rizky pagi-pagi sekali berdandan rapih. Kain jilbabnya dilipat menyesuaikan bentuk kepala dan tren masa kini. Perempuan 29 tahun itu menjadi satu dari sekian banyak pemohon Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) di Polres Jakarta Timur, Senin 4 November 2019.

Katanya, dia bermaksud ikut formasi CPNS 2019 di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Malu-malu Rizky mengutarakan niatnya saat diajak berbincang.

"Masih honorer saya," kata Rizky. Dia guru di salah satu sekolah tingkat SMA di Ibu Kota.

Selembar SKCK memang menjadi salah satu persyaratan melamar CPNS. Lebih dari itu, perusahaan di luar instansi pemerintahan pun turut mensyaratkan hal yang sama. Meski tidak semua.

Kalau punya masalah pelanggaran pidana, akan terekam dalam cetakan SKCK. Database kepolisian mencatat setiap detail kasus demi kasus, berikut siapa yang terlibat.

Rizky bebas pelanggaran pidana. Namun bagaimana dengan mereka yang pernah tersandung kasus pidana?

Liputan6.com mencoba berbincang dengan salah seorang mantan narapidana berinisial AJ. Pria yang kini berusia 26 tahun itu merupakan mantan tahanan kasus kenakalan remaja pada 2017 lalu.

Pengadilan Bogor Kota memutus hukuman 8 bulan penjara ke depan untuk AJ. Itu pun setelah mendapat keringanan berdasarkan pertimbangan hakim. Saat itu, dia pengangguran.

"Sudah kerja sebelum kena kasus," ujar AJ.

AJ merupakan mantan pegawai sebuah perusahaan susu di kawasan Cibubur, Jakarta Timur. Setelah habis kontrak, dia sibuk kerja serabutan hingga tersandung kasus pelanggaran Pasal 170.

Bebas dari penjara jadi awal baru bagi AJ. Tidak berdiam diri, dia langsung cari kerja. 10 lebih perusahaan yang diincarnya meminta SKCK sebagai kelengkapan berkas administrasi.

AJ lantas was-was. Apalagi mendengar cerita banyak orang padanya soal SKCK bergaris merah tanda mantan narapidana. Dia takut catatan tindak pidananya memupuskan harapan bekerja di sebuah perusahaan.

Meski begitu, pada Juli 2018, AJ tetap bergegas ke Polres Bogor Kota.

"Awalnya kurang percaya diri karena di SKCK ada kolom 'Apakah anda pernah masuk dalam penjara?'. Saya akhirnya tulis tidak pernah. Alhamdulilah tidak ketahuan. Jadi SKCK saya tidak ada garis merahnya," kata AJ.

AJ merasa tidak mungkin kebohongannya saat mengisi SKCK bisa lolos dari database kepolisian. Yang dipikirkan hanya dua hal, polisi yang mencetak memberikan keringanan atau memang langsung kehendak Tuhan. Pedomannya, niat kerja halal pasti ada jalan.

Saat ini AJ tengah sibuk bekerja di toko kebutuhan hewan peliharaan atau pet shop di Cikaret, Bogor. Beberapa teman lainnya sesama mantan narapidana juga bekerja di berbagai profesi. Seperti petugas keamanan, juga petugas kebersihan kantor. Mereka pakai SKCK.

AJ sebenarnya kurang setuju pemberlakuan SKCK sebagai syarat penerimaan pegawai. Saat narapidana selesai menjalani masa hukuman, maka persoalan bisa dianggap selesai. Jangan sampai keberadaan SKCK malah jadi menyudutkan para mantan tahanan yang mau kembali ke jalan yang benar.

"Kasian juga kalau ada anak-anak sekolah yang terkena kasus. Kasian buat masa depannya kalau ada kolom itu di SKCK," ungkapnya.

 

 


SKCK di Era 4.0

Biaya administrasi untuk membuat SKCK di mobil keliling itu adalah Rp 10 ribu. (Liputan6.com/Arie Nugraha)

Pro kontra selembar SKCK yang dinilai bersinggungan dengan pelanggaran HAM maupun upaya menjaga keamanan masyarakat turut menjadi sorotan Ombudsman RI.

Melalui sambungan telepon, Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala menjelaskan kepada Liputan6.com bahwa dilematis SKCK antara pelanggaran HAM dan faktor keamanan masyarakat benar adanya.

"Ya saya setuju ini antara dilema hak asasi dan security. Jadi SKCK itu memang seyogyanya kalau itu dikembalikan ke ide awalnya adalah sebenarnya semacam track record tertulis kan. Tentang yang bersangkutan jadi memang harus apa adanya, sesuai dengan parameter yang ditetapkan oleh keamanan setempat, gitu," terang Adrianus, Sabtu 9 November 2019.

"Nah apakah lalu kemudian parameter itu pasti begitu? Ya kan belum tentu, tapi paling tidak itulah yang ditetapkan," sambungnya.

Adrianus kemudian menyoroti sistem penerbitan SKCK di Indonesia yang terbilang masih kuno. Dalam pengisian formulir SKCK misalnya, pemohon masih dapat berbohong dengan menuliskan hal-hal yang baik saja.

Padahal yang seharusnya adalah, database secara digital mencetak berikut ada tidaknya catatan kriminal pemohon. Di era industri 4.0, sistem seyogyanya lebih terintegrasi dalam satu big data.

Layaknya konsep e-KTP dengan satu Single Identification Number (SIN), semua terbuka. Mulai data kependudukan, data pajak, data imigrasi, data keuangan, hingga catatan kejahatan. Namun yang terjadi hingga sekarang, SKCK tidak mengakses ke sana dan hanya mengandalkan pengakuan si pemohon.

Lebih jauh lagi, sistem kuno ini menampilkan pengajuan dan penerbitan SKCK seakan hanya sebagai pemenuhan syarat formal saja.

"Jadi saya setuju (SKCK berbenturan dengan HAM), tapi di pihak lain SKCK Indonesia ini memang masih kuno dan tradisional. Sehingga tadi, kita masih bisa ngibul dalam tanda kutip, dan yang kedua dalam praktik itu hanya lebih dalam formalitas saja ketimbang sesuatu yang dilihat oleh mengejar SDM, dalam rangka penerima pegawai," jelasnya.

Atas dasar itu, menjadi wajar jika pihak perusahaan mengesampingkan isi dari SKCK meski tetap mencantumkannya sebagai persyaratan dokumen para pelamar kerja. Sebab tidak jaminan pemohon SKCK jujur atas catatan kriminalnya.

"Untuk sementara menurut saya, kekhawatiran orang tadi seperti yang dikatakan (melanggar HAM) bisa ditepis lah," ujar Adrianus.

Namun dibanding pelanggaran HAM, pakar kriminolog ini lebih menyoroti kepada kebebasan mengambil jalan hidup. Layaknya di negara maju dan bebas seperti Amerika Serikat misalnya, menjadi penjahat sekalipun adalah pilihan. Dan memilih jalan itu artinya siap memiliki catatan hitam.

Adrianus mencontohkan, misalnya kita mencuri di toko yang umumnya lebih karena keisengan dibandingkan mencari uang. Saat ditangkap dan masuk catatan kejahatan, itu akan terekam sampai mati. Sementara, rasanya tidak adil jug kejahatan sepele seperti itu tercatat.

"Nah itu gimana lihatnya? ya itu bisa dilihat sebagai hak asasi, tapi juga sebagai satu bentuk yang 'Its your choice' tadi. Indonesia kayanya akan menuju ke sana gitu, di mana segala-galanya data kita itu kita lah yang membuatnya. nah begitu kemudian kita memilih perbuatan jahat, maka ya kemudian menjadi profil kita. Dan kemudian dengan profiling itu, kita kemudian tereleminasi terkait dengan pekerjan-pekerjaan tertentu, profesi-profesi tertentu, ya 'its your choice'," katanya.

Artinya, pakar kepolisian itu menilai, penerbitan SKCK dari pihak kepolisian terhadap seseorang atas permintaan suatu lembaga, juga menjadi salah satu tanggung jawab negara. Minimal sebagai pemberitahuan atau pay attention terhadap perusahaan tentang profil si pelamar kerja tersebut.

"Ini mau dilihat sebagai apa? Kalau mau dilihat sebagai sesuatu yang membatasi seperti membuat kita susah kerja, bisa. Tapi juga bisa dianggap menjadi sesuatu yang mengamankan orang dari orang-orang yang tidak memiliki kapabilitas, bisa juga kan gitu," Adrianus menandaskan.


Apa Kata Ombudsman dan Kriminolog?

SKCK Melanggar HAM?

Perbincangan bersama AJ ini membawa pada pro dan kontra penerbitan SKCK sebagai persyaratan berkas lamaran kerja. Antara menyenggol Hak Asasi Manusia (HAM) atau keamanan masyarakat itu sendiri.

Liputan6.com kemudian tukar pikiran bersama Kepala Urusan Kegiatan Masyarakat Bidang Pelayanan Masyarakat Badan Intelejen Keamanan Polri, Kompol Wahono.

Wahono mengatakan, SKCK dulu bernama Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB). Kalau bicara SKKB, seseorang yang telah terlibat dalam suatu perkara pidana atau pelanggaran norma sosial, secara otomatis tidak dapat menerbitkan SKKB.

Masalah seperti ini mungkin saja bisa dibawa ke pelanggaran HAM. Tapi SKKB sudah tidak lagi, sekarang berubah menjadi SKCK.

Berikut percakapan Liputan6.com bersama Kompol Wahono, Selasa 5 November 2019.

Apa itu SKCK?

Kalau kita bicara SKCK, dulu itu namanya SKKB. Dulu kalo kita bicara SKKB kalau seorang sudah pernah terlibat suatu perkara pidana atau pelanggaran norma sosial, otomatis dia tidak akan bisa diterbitkan SKKB.

Tapi itu kalau kita bicara HAM, itu artinya kalau orang nggak dapat haknya, artinya melanggar HAM. Lalu SKKB dirubah menjadi Surat Keterangan Catatan Kepolisian, melalui Kep 816 tahun 2003 Perkapolri, dimana SKCK adalah surat keterangan resmi diterbitkan Polri kepada pemohon yang dipersyaratkan kepada lembaga atau badan hukum.

Misalnya, sampean mau daftar kerja di SCTV, dari pihak SCTV harus ada SKCK, itu kan artinya dipersyaratkan lembaga. Nah baru Polri keluarkan SKCK.

Bedanya dengan SKKB?

Kalau SKCK semua WNI bahkan WNA, berhak mendapat SKCK. Hanya yang membedakan catatannya. Kalau orang pernah terlibat sebuah prkara pidana atau norma hukum, otomatis catatannya akan dicantumkan dalam SKCK.

Misal pernah terlibat pidana dimaksud Pasal 363, itu dicantumkan dan melekat dan karena sudah tercatat di database kami, itu tak bisa diubah.

Artinya itu tidak bisa dimanipulasi?

Ya karena kalau seorang yang belum ada criminal record, ya memang tak ada. Misal sampean bilang tidak ada tapi tahunya ada, itu tidak bisa dibohongi. Tak bisa memungkiri, meski ada kecenderungan bohong saat mengisi form permohonan SKCK, tapi di database kami ada tertera, terdektsi dengan database.

Kalau saat pencantuman ternyata dia nggak terima ada catatan kriminalnya, itu gimana?

Kalau pencantuman catatan kriminal ada dasarnya. Kalau seorang dicantumkan hal itu misal sebagai tersangka kasus tertentu dan dalam management penyidikan ada SPDP, artinya sejak itu dia tercatat yang bersangkutan pernah terlibat perkara pidana dengan ditetapkan sebagai tersangka itu.

Tapi kasus lain bila yang bersangkutan ternyata SP3, gimana? apakah masih tetap ada crime record di SKCK itu?

Ya nanti kalau memang tercatat sudah SP3 ya nggak apa-apa, silahkan saja nanti kami minta mana SP3-nya. kalau kasusnya sudah selesai kasusnya misal, tapi tetap criminal record masih ada.

Jadi gini yang harus dipahami, SKCK itu sifatnya tak pernah dihapus karena itu kan catatan, karena UU Nomor 2 Tahun 2002 mengamanatkan kepada kepolisian untuk menyelenggarakan pusat data kriminal dan sampai meninggal tak akan pernah dihapus.

Nah kalau perkara yang bersangkutan dicantumkan sehingga itu berpengaruh kepada peniliaian lembaga atau badan yang ingin dilamar yang bersangkutan, itu menjadi pertimbangan badan atau lembaga itu sendiri untuk si yang bersangkutan.

Adakah yang mereka gagal dan tidak bisa mengikuti seleksi yang mewajibkan SKCK dikarenakan ada crime record-nya, itu gimana polisi menyikapinya? Bagaimana saat hal itu menjadi preseden kalau Polri telah menghilangkan hak mereka untuk melamar atau mengikuti suatu giat karena terjegal SKCK?

Jadi itu tergantung yang mensyaratkan, mau tidaknya menerima pelamar yang pernah memiliki catatan kriminal. Artinya semua orang berhak memiliki SKCK. Kalau masalah penilaian ya kembali lagi ke lembaga. Misal yang nersangkutan memang punya catatan kriminal tapi kasusnya apa, misal kasus kecil tapi kompetensi yang bersangkutan layak untuk diterima bekerja atau sebagainya, ya itu jadi kewenangan si lembaganya sendiri.

Jadi SKCK tidak membatasi HAM seseorang. Jadi konsepnya diubah dari SKKB ke SKCK, dengan diselaraskan dengan Undang-Undang HAM, semua orang berhak dapat SKCK dengan catatan berbeda. Tiap individunya.

Jadi kalau mungkin si lembaga melihat walau pelamarnya memiliki catatan kriminal tapi dinilai layak, ya monggo. Tidak dibatasi oleh polisi yang menerbitkan SKCK.

Dasar hukum SKCK?

Ada peraturan terbaru Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2014, tentang tata cara SKCK. Itu aturan yang mengatur kewenangan Polri soal SKCK.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya